Empat tahun.
Empat tahun loh gaes.
Bukan waktu yang sebentar buat menyukai seseorang dalam diam. Tapi itulah yang Sevi Pitalok alami. Semua orang memanggilnya Sevi, sedangkan Pita, begitu panggilan khusus itu diberikan oleh Herlambang Elang. Sebaliknya Sevi Pitaloka memanggil Herlambang Elang bukan Her atau Mbang seperti kebanyakan orang, melainkan Lang.
Dari awal SMA, Pita sudah memperhatikan Elang. Cowok dari jurusan IPS itu punya aura ‘jangan ganggu gue’, dingin kayak patung es hidup, dan lebih sering manggil orang dengan “woy”, “eh”, “kamu”, atau “cuy”, ketimbang pakai nama asli. Tapi justru karena itu, dia beda. Dan Pita nggak tahu kenapa, tapi dunia selalu terasa lebih... hidup waktu dia ada di sekitar Elang.
Sayangnya, waktu itu Elang punya pacar.
Dan Pita bukan tipe yang mau jadi pelakor.
Jadi dia diaaamm aja.
Sampai kelas dua.
Hubungan doi dan pacarnya kandas, dan saat itulah Pita mulai muncul di orbit Elang secara resmi. Bukan cuma lewat lirikan di kantin atau doa pas hujan biar papasan sama Elang di koridor. Tapi benar-benar hadir.
Awalnya biasa aja.
Ngobrol seperlunya. Bercanda seperlunya.
Tapi entah sejak kapan Elang mulai nunggu Pita pulang. Mulai ikut jalan ke parkiran. Mulai cari alasan buat ngomong.
Lalu suatu hari, Pita jatuh saat latihan pramuka. Kesleo tangan dan kaki. Sakitnya sih bias aja, tapi yang luar biasa adalah reaksi Elang.
Dia panik. Jujurly, lebih heboh dan cerewet dari mama nya sendiri. Setiap hari, Elang yang nganter jemput.
Nggak peduli panas, ujan, atau tugas numpuk. Sampe sebulan penuh nih, dia nebengin Pita kayak dia ojek pribadi, tapi yang gak pernah mau dibayar.
“Lang, serius nih mau anterin terus sampe kaki ku sembuh?” tanya Pita waktu itu.
“Iyalah, kan temen,” jawabnya.
Tapi mata Elang bilang lebih dari itu.
Lalu Valentine datang.
Pita nggak berharap apa-apa. Tapi di parkiran sebelum masuk kelas, Elang ngubrek isi dashboard motornya, entahlah nyari apaan. Nah tiba-tiba...
“Buat kamu,” katanya pelan sambil menyodorkan sebungkus coklat susu tanpa kacang di hadapan Pita.
Dan untuk pertama kalinya… dia panggil:
“Pita.”
Pita kaget. Biasanya cuma “eh” atau “kamu”.
Tapi hari itu beda.
Hari itu manis, bukan cuma dari coklatnya, tapi dari kenyataan bahwa Elang tahu Pita alergi kacang, dan dia ingat.
Pita nahan senyum.
“Ini coklatnya dari warung depan sekolah ya?”
Elang angguk santai. “Yang penting bukan dari cowok lain, kan?”
Lalu, dia langsung jalan cepat ke lobi sekolah, meninggalkan Pita di parkiran yang masih speechless.
JANTUNG PITA DISKOAN
Bersama semua ekspektasi yang akhirnya pelan-pelan tumbuh.
Kelulusan SMA tiba, tapi ga ada perpisahan karena ada pandemi. Meski demikian, satu angktan kompak mengadakan Prom night sendiri.
Semua orang heboh. Tapi Elang? Tipe yang gak suka keramaian, konser, apalagi dansa.
Tapi... dia datang.
Demi siapa?
Demi Pita.
Sayangnya, Tuhan punya humor sendiri.
Pita sakit. Demam tinggi jadi ga bisa hadir.
Dan yap, tentu saja Elang kecewa berat. Tapi gak marah, cuma bilang, “Sayang banget, ya?”
Dan bulan berikutnya, saat mendekati akhir pendaftaran perguruan tinggi, dia mendaftar ke universitas yang sama.
Jurusan mereka beda. Tapi tetap satu kampus.
Mereka makin jarang bareng. Tapi ada satu momen terakhir yang mereka bagi, foto bareng saat ospek.
Satu-satunya foto. Satu-satunya bukti nyata bahwa mereka pernah sedekat itu. Sebelum negara api menyerang -ehh
Lalu waktu pun berlalu. Jadwal kuliah makin beda. Waktu makin sempit.
HP Elang rusak, katanya Eko, sahabat Elang. Seakan semesta beneran pengen mereka lost contact. Sebulan penuh, gak ada kabar sama sekali.
Saat HP itu nyala lagi...
Sudah terlambat, epribadeh...
Obrolan jadi formal, jadi dry text, ga lively lagi.
Pita nyoba ajak ngobrol, tapi Elang sibuk.
Pita ajak ke konser UKM Musik—konser pertamanya.
Elang nolak. “Gue gak suka tempat rame.”
Pita senyum. “Gapapa.”
Seminggu kemudian, ada event jejepangan di GOR kota mereka. Elang suka anime. Pita juga.
Jadi Pita ajak lagi.
Tapi cuma dijawab, “Liat nanti deh.”
Hari itu, akhirnya Pita datang sendiri.
Dia parkir motor... dan tertegun.
Di sebelah motornya, ada motor merahnya Elang. Dua helm tergantung, yang satu helm fullface milik doi, dan satu lagi helm bogo.
Dia masih positive thinking.
“Mungkin itu Revan, temen sekelasnya yang suka anime juga.”
Tapi di dalam GOR...
Langkah Pita terhenti.
Elang berdiri di tengah keramaian.
Tertawa.
Sama seorang cewek.
Mana mesra banget.
Bukan adiknya, Pita tahu betul rupa adiknya Elang. Lalu itu siapa?
Cewek itu nyolek pundaknya, ketawa kecil, ngerapihin kerudungnya.
Dan Elang... senyum.
Senyum yang biasanya buat Pita.
Pita mematung.
Dadanya perih. Tapi gak bisa nangis.
Dia ditarik sama temannya yang ternyata ada di event itu juga.
Lalu, mereka nonton konser band lokal yang cover lagu Jepang di sana.
Ngepas banget, lagunya mellow. Makin galau ga tuh?
Dan malam itu... dia nggak bisa tidur.
Besok paginya, temen kampus bilang,
“Eh, tau gak sih? El pacaran. Sama anak kelasnya. Baru jadian sebulan yang lalu.”
Sevi Pitaloka ngelag bentar, tapi ga lama dia jawab, “Oh, iya? Wah.”
Tapi hatinya jawab, 'Wah... kalah sama yang sekelas. Aku yang menunggunya, orang lain yang bersamanya hahahahanjirr'
Malamnya, dia nangis. Bukan karena cemburu. Tapi karena nyesel.
Karena semua momen yang dia simpan, ternyata bukan sesuatu yang Elang anggap penting.
“Tau gitu, aku confess aja dari dulu,” katanya pelan ke diri sendiri, bukan siapa-siapa.
Karena sekarang, Elang sudah melepas pitanya, dan tak lagi menyebut nama itu.
Dan mungkin... Bagi Elang, Pita cuma tersangkut padanya, bukan takdir yang mengikatnya.
.
.
.
~ TAMAT ~