Sore itu, Alika lagi buru-buru banget. Panas dingin, soalnya dia udah telat banget mau ngerjain tugas kelompok di rumah Via. Dia lari-lari di gang sempit belakang rumahnya, motong jalan biar cepet nyampe. Gang itu emang agak gelap karena diapit tembok tinggi sama pohon rambutan yang rimbun. Bau tanah basah campur lumut kecium samar-samar.
Alika udah hapal banget setiap belokan di gang itu, biasanya enggak ada masalah. Dia udah kayak pembalap di sirkuit gang.
Tapi sore ini beda. Pas dia lewatin belokan ketiga, yang harusnya langsung nembus ke jalan raya, dia malah ngerasa aneh. Udaranya tiba-tiba jadi dingin banget, kayak ada AC outdoor 10 PK nyala di sampingnya. Samar-samar, dia denger suara desiran angin kenceng banget, kayak lagi ada badai. Padahal, enggak ada angin sama sekali di sana, bahkan daun pohon rambutan aja anteng. Alika ngerem mendadak, bulu kuduknya langsung berdiri.
"Perasaan gue doang kali ya," batinnya, nyoba nenangin diri. Tapi di dalam hatinya, dia udah mikir, "Jangan-jangan ini gara-gara gue tadi pagi ngejahilin kucing tetangga ya?"
Dia lanjut jalan, tapi langkahnya jadi pelan. Tiap langkah, rasanya kayak ada magnet narik dia ke depan, tapi juga ada yang nahan dia dari belakang. Pas dia keluar dari gang itu, matanya langsung melotot sampai rasanya mau copot. Ini bukan jalan raya! Di depannya sekarang ada jembatan gantung panjang banget, terbuat dari akar-akar pohon yang saling melilit, nyambungin satu "pulau" ke "pulau" lainnya. Di bawah jembatan itu, bukan aspal atau kali Ciliwung, tapi jurang super duper dalam yang dasarnya enggak kelihatan sama sekali. Dan yang lebih bikin melongo, di seberang jurang itu, ada sebuah kota melayang! Iya, melayang di udara, kayak pulau-pulau kecil yang dihubungkan sama jembatan-jembatan akar tadi. Bangunan-bangunannya didominasi warna putih keemasan, atapnya lancip-lancip kayak menara dongeng yang biasa dia lihat di film-film Disney.
Langitnya sendiri warnanya ungu kebiruan, tapi ada semburat oranye dan pink di kejauhan, kayak lukisan abstrak.
Alika langsung garuk-garuk kepala. Ini pasti mimpi! Dia nyubit tangannya kenceng-kenceng. Sakit! Berarti bukan mimpi. Dia nyubit pipinya. Lebih sakit! Ini beneran terjadi.
"Gila, gue di mana ini?!" suaranya keluar tanpa sadar, agak teriak malah.
Tiba-tiba, dari arah jembatan, muncul dua orang. Postur mereka tinggi semampai, pakai jubah panjang warna cokelat tanah yang kayaknya terbuat dari kulit pohon. Rambut mereka warna hijau lumut, dan matanya bersinar biru terang. Gerakan mereka anggun banget, kayak lagi nari balet. Alika langsung ngumpet di balik semak-semak yang aneh, daunnya warna ungu terang dan buahnya berbentuk bintang kecil.
Kedua orang itu ngomongin sesuatu, bahasanya aneh banget, kayak nyanyian tapi ada jedanya. Tapi Alika nangkap beberapa kata yang dia kenal: "portal", "dunia luar", "kekacauan".
Duh, jangan-jangan ini beneran dunia paralel kayak di novel-novel fantasi yang sering dia baca?! Dia inget pernah baca kalau portal itu bisa kebuka karena energi yang enggak stabil.
Salah satu dari mereka nunjuk ke arah Alika ngumpet. "Ada jejak energi asing," katanya, bahasanya jadi lebih jelas. Dia ngomong bahasa Indonesia! Tapi dengan logat yang aneh, kayak diajak ngobrol sama robot yang belajar bahasa manusia.
Alika langsung panik, jantungnya dug-dug serr kayak mau copot.
Dia langsung lari, enggak peduli ke mana kakinya melangkah. Yang penting ngejauh dari dua orang aneh itu. Dia lari terus sampai ke sebuah hutan yang pohonnya tinggi-tinggi banget, batangnya lebar, dan daunnya rimbun nutupin cahaya matahari. Suasana jadi gelap dan serem. Ada suara hewan-hewan aneh, kayak gesekan ranting tapi ritmis.
Alika mulai terengah-engah, tenaganya udah mau habis. Dia nyandar di pohon gede, paru-parunya rasanya mau meledak.
Pas dia lagi ngos-ngosan di bawah pohon gede, tiba-tiba ada suara lembut di belakangnya.
"Kamu tersesat, nona?"
Alika langsung kaget dan muter badan. Di sana, berdiri seorang cowok seumuran dia. Rambutnya putih keperakan, kayak serat kapas, matanya warna ungu lembut, dan dia pakai baju dari bahan kayak sutra warna biru langit. Di tangannya, dia megang tongkat kayu yang ujungnya nyala biru. Dia senyum ramah banget, bikin Alika sedikit tenang, tapi juga masih was-was. Cowok ini enggak ngelihatin dia kayak mau nangkap dia.
"Iya, gue… gue enggak tahu ini di mana," kata Alika jujur, napasnya masih ngos-ngosan.
"Kamu di Aerwynn," jawab cowok itu.
Suaranya adem banget, kayak alunan seruling.
"Namaku Elara. Sepertinya kamu datang dari dunia di balik portal."
Alika langsung melotot. "Portal? Jadi beneran ini dunia lain?!"
Elara ngangguk pelan. "Kami menyebutnya 'Dunia Atas', tempat para Penjaga Elemen tinggal. Dan kamu, sepertinya datang dari 'Dunia Bawah'."
Adaptasi Alika di Aerwynn: Antara Kaget dan Kagum
Dari situlah petualangan Alika di Aerwynn dimulai. Elara akhirnya jadi pemandu sekaligus teman pertamanya di sana. Dia ngajak Alika ke desanya yang tersembunyi, namanya Silvanos, sebuah desa kecil yang rumah-rumahnya dibangun di atas pohon raksasa. Waktu pertama kali Alika lihat, dia cuma bisa bengong. Gimana caranya bangun rumah di atas pohon setinggi itu?.
Alika belajar banyak hal baru yang enggak masuk akal di dunianya. Dia ketemu makhluk-makhluk unik kayak Griffin (burung raksasa berkepala singa) yang biasa dijadiin transportasi umum, terus ada Sylva (makhluk mirip peri kecil dari tanaman) yang suka ngejahilin dia dengan nyembunyiin sendal atau bikin rambutnya kusut pas dia tidur.
. Dia juga tahu kalau orang-orang Aerwynn itu bisa ngendaliin elemen alam: api, air, angin, tanah. Mereka bisa bikin bunga layu jadi mekar lagi cuma dengan sentuhan tangan, atau bikin air di gelas ngambang di udara. Dan mereka terkejut banget pas tahu Alika enggak punya kekuatan apapun.
"Jadi kamu tidak bisa mengendalikan apapun?" tanya seorang tetua desa, namanya Lyra, yang rambutnya dikepang dengan bunga-bunga bercahaya. Matanya penuh rasa ingin tahu, tapi juga sedikit khawatir.
Awalnya, Alika stres banget. Dia kangen rumah, kangen makanan instan, kangen sinyal HP yang stabil, kangen drama Korea. Malam-malam, dia sering nangis diem-diem di pohon tempat dia tidur, mikirin gimana kabar mama papanya. Dia juga ngerasa aneh, kayak ikan yang tiba-tiba dilempar ke darat. Di dunia itu, makanan mereka dari buah-buahan dan sayur-sayuran aneh yang rasanya unik, ada yang manis banget kayak madu tapi ada juga yang pedesnya minta ampun. Pakaiannya juga harus pakai jubah-jubah kayak Elara, bikin dia gerah dan enggak biasa.
Tapi lama-lama, dia mulai terbiasa sama keindahan Aerwynn. Kota-kota melayang yang berkilauan di bawah sinar matahari dua warna, sungai-sungai yang airnya bening banget sampai kelihatan ikan-ikan glowing di dasarnya, langit yang selalu berubah warna dari ungu keemasan pas pagi sampai biru gelap bertabur bintang raksasa pas malam. Dia juga belajar ngomong bahasa mereka, walaupun masih sering belepotan dan bikin Elara ketawa.
Elara sabar banget ngajarin Alika. Dia nunjukkin tempat-tempat indah, kayak air terjun yang airnya berkilauan kayak berlian, atau padang bunga yang bisa nyanyi. Alika mulai punya teman di sana. Enggak cuma Elara, tapi juga beberapa anak seusianya yang penasaran sama "anak dari Dunia Bawah" ini. Mereka ngajarin Alika main permainan mereka, yang semuanya melibatkan sihir dan energi alam, bikin Alika jadi pengen banget punya kekuatan juga.
Misteri Portal dan Ancaman di Aerwynn
Tapi, masalah enggak cuma sampai di situ. Keberadaan Alika di Aerwynn itu ternyata bikin masalah. Ada rumor kalau portal antar-dunia lagi enggak stabil, dan kemunculan Alika adalah salah satu dampaknya. Beberapa Penjaga Elemen senior curiga sama dia, ngira dia mata-mata atau pembawa sial yang bakal bikin keseimbangan alam Aerwynn terganggu. Mereka percaya kalau Alika datang ke Aerwynn karena portalnya terbuka, dan portal yang terbuka itu berarti ada energi aneh yang mengancam kedua dunia.
Suatu hari, Elara nyamperin Alika dengan muka tegang.
"Alika, para tetua menemukan sesuatu. Kekuatan gelap dari dimensi lain mencoba masuk melalui portal yang sama dengan tempat kamu datang."
Alika langsung kaget. "Maksudnya? Ada musuh mau masuk ke sini?"
Elara mengangguk. "Mereka percaya, kehadiranmu di sini bukan kebetulan, tapi ada kaitannya dengan ketidakstabilan portal ini. Mungkin kamu adalah kunci untuk menutupnya, atau sebaliknya, pembuka jalan bagi kekuatan gelap itu."
Alika jadi makin panik. Dia enggak mau jadi penyebab masalah. Dia enggak mau jadi beban. Dia cuma pengen pulang dan makan seblak lagi!
Alika dan Elara akhirnya memutuskan buat nyari tahu kenapa Alika bisa ada di sana dan gimana caranya dia bisa pulang, sekaligus nyelametin Aerwynn dari ancaman. Mereka harus nemuin seorang Penjaga Elemen kuno yang katanya tahu banyak tentang portal dan dimensi lain. Perjalanan mereka enggak mudah. Mereka harus menjelajahi berbagai tempat aneh di Aerwynn yang belum pernah Alika kunjungi, kayak Lembah Kabut Abadi yang penuh ilusi, atau Gunung Api Tidur yang di dalamnya ada kristal-kristal bercahaya.
Mereka ketemu sama banyak karakter unik: ada tukang sihir bijak yang bentuknya kayak pohon berjalan, ada kurcaci penambang yang humornya garing tapi jago bikin alat-alat canggih, dan ada juga makhluk bayangan yang ternyata juga lagi nyari cara buat ngemanfaatin portal itu.
Pertarungan dan Jalan Pulang
Setelah perjalanan panjang yang penuh bahaya dan petualangan gila, mereka akhirnya sampai di Kuil Cahaya Kuno, tempat Penjaga Elemen kuno itu tinggal. Namanya Maestro Orin, seorang lelaki tua yang matanya buta tapi bisa "melihat" energi di sekitarnya.
Maestro Orin menjelaskan bahwa portal antar-dunia terbuka karena keseimbangan energi di kedua dimensi sedang goyah. Di dunia Alika, ada terlalu banyak energi negatif (kebencian, ketamakan), sementara di Aerwynn, ada energi gelap yang mencoba mendominasi. Alika "tertarik" ke Aerwynn karena dia punya energi murni yang sangat jarang, semacam penyeimbang yang tanpa sadar dia miliki.
"Kamu adalah jembatan, Nak," kata Maestro Orin dengan suara bergetar.
"Kekuatan gelap ingin mengambil energimu untuk membuka portal sepenuhnya dan menghancurkan kedua dunia. Kamu harus menutupnya dari dalam."
Alika awalnya takut banget. Dia kan cuma anak SMP biasa, mana bisa jadi pahlawan? Tapi dia ngelihat tatapan percaya di mata Elara dan teman-teman barunya. Dia enggak mau Aerwynn hancur, dan dia juga pengen pulang ke dunianya.
Akhirnya, dengan bantuan Elara dan para Penjaga Elemen, Alika belajar gimana caranya "mengaktifkan" energi murni dalam dirinya.
Ternyata, energi itu bukan sihir, tapi semacam kekuatan batin yang bisa menguatkan elemen-elemen di sekitarnya. Dia belajar fokus, menenangkan pikiran, dan menyalurkan energinya.
Pertarungan terakhir terjadi di dekat portal tempat Alika masuk dulu. Kekuatan gelap sudah berbentuk monster raksasa yang mencoba menerobos. Alika, Elara, dan para Penjaga Elemen bertarung mati-matian. Alika, dengan bimbingan Maestro Orin, fokus menyalurkan energi murninya untuk menutup celah portal. Itu bukan pertarungan fisik, tapi pertarungan energi dan tekad. Alika rasanya mau pingsan, energinya terkuras habis.
Dengan sisa tenaganya, Alika berhasil memfokuskan semua energinya ke portal. Sebuah cahaya putih terang memancar dari tubuhnya, menyelimuti portal, dan secara perlahan, celah itu mulai menutup.
Monster kegelapan menjerit kesakitan dan akhirnya menghilang, kembali ke dimensinya.
Kembali ke Gang Sempit dan Pelajaran yang Didapat
Ketika portal itu akhirnya tertutup rapat, Alika merasakan tarikan yang sama seperti saat dia datang. Gelap. Dingin. Dan dia langsung ngerasa pusing tujuh keliling lagi.
Waktu dia buka mata, yang pertama kali dia lihat adalah tembok gang sempit yang penuh coretan, dan pohon rambutan di atasnya. Bau tanah basah dan lumut langsung nyerbu hidungnya.
Dia ada di gang sempit itu lagi, tepat di belokan ketiga. Hari udah sedikit gelap, dan dia denger suara klakson mobil dari jalan raya.
"Alika! Kamu di mana? Udah telat banget!" Suara Via teriak dari kejauhan.
Alika terduduk di tanah, napasnya tersengal. Dia pegang kepalanya yang masih pusing. Apa yang barusan terjadi? Apakah itu cuma mimpi? Tapi rasanya nyata banget. Dia lihat tangannya, masih ada bekas goresan kecil dari duri tanaman aneh di Aerwynn.
Dia bangkit, melangkah keluar gang dengan perasaan campur aduk. Dia kembali ke dunianya, dunia yang normal, yang enggak ada kota melayang atau harimau bersayap.
Dia akhirnya ketemu Via dan teman-teman, minta maaf karena telat, dan langsung nyerocos cerita tentang pengalamannya di dunia paralel. Tentu saja, teman-temannya cuma ngakak dan bilang dia kebanyakan baca novel fantasi.
Meskipun enggak ada yang percaya, Alika tahu itu nyata. Dia sudah jadi orang yang berbeda. Dia yang dulunya cuma gadis biasa yang kerjaannya rebahan dan ngeluh, sekarang jadi lebih berani, lebih percaya diri, dan lebih menghargai setiap hal kecil di dunianya. Dia tahu, ada banyak hal di luar sana yang enggak bisa dijelasin logika. Dan dia juga tahu, bahwa di suatu tempat nun jauh di sana, ada Elara dan teman-teman barunya yang mungkin sedang merindukan "gadis dari Dunia Bawah" itu.
Setiap kali lewat gang sempit itu, Alika pasti tersenyum. Siapa tahu, suatu hari nanti, portal itu terbuka lagi. Dan dia siap buat petualangan selanjutnya.