Langit seperti terbakar.
Awan merah darah menggulung di atas kota yang hancur, menyelimuti sisa-sisa peradaban manusia yang dulunya penuh harapan. Gedung-gedung roboh, jalanan retak, dan udara dipenuhi abu serta bau logam. Yang tersisa hanyalah ketakutan.
Tapi di tengah reruntuhan itu, seseorang berdiri tegak.
Namanya Ravel, Seorang insinyur sipil, atau setidaknya pernah menjadi itu sebelum dunia berubah dalam satu malam.
Asteroid menghantam Bumi lima hari lalu. Kota tempatnya tinggal bukan titik tumbukan, tapi cukup dekat untuk merasakan dampaknya. Gempa bumi, blackout, dan tsunami kecil menghancurkan hampir semua sistem yang menopang kehidupan.
Orang-orang tak lagi berbicara soal masa depan. Yang ada hanya bertahan… atau menunggu ajal.
Ravel memegang peta usang dan sebuah senter kecil. Cahaya dari senter itu menari di dinding terowongan bawah tanah yang kini jadi tempat persembunyian warga. Di bunker komunitas itu, puluhan orang tinggal berdesakan, kehabisan makanan, kehilangan arah.
“Apa yang kau cari, Ravel?” tanya seorang wanita tua, Tasha, salah satu yang tertua di bunker.
“Peluang,” jawabnya pendek. “Tempat baru. Sumber air. Jalur keluar.”
Tasha mendesah. “Yang lain hanya melihat bahaya di luar sana.”
Ravel menoleh pelan. “Itu bedanya. Mereka hanya melihat bahaya. Aku melihat peluang.”
---
Hari keempat sejak asteroid menghantam.
Stok makanan hampir habis. Air bersih tinggal beberapa liter. Ketegangan mencapai titik didih. Beberapa orang mulai menyarankan untuk mengundi siapa yang akan dikeluarkan. Atau dikorbankan.
“Kita tak bisa menampung semuanya!” teriak seorang pria berbadan besar. “Lebih baik beberapa dari kita keluar! Biar mereka yang mati lebih dulu!”
Teriakan itu disambut hening. Hanya gemuruh ketakutan yang mengisi udara.
Lalu Ravel berdiri.
“Aku akan keluar. Tapi bukan untuk mati. Aku tahu ada jalur menuju stasiun bawah tanah di sektor barat. Dulu aku ikut membangunnya. Ada pompa air cadangan di sana.”
Beberapa orang tertawa sinis. “Kau gila. Di luar ada gas, reruntuhan, dan… apa pun itu yang menyerang orang-orang kemarin.”
Ravel menatap mereka satu per satu. “Kalian bisa tetap di sini dan mati pelan-pelan. Atau ikut aku dan mencoba hidup.”
Keheningan lagi. Tapi kali ini… satu tangan terangkat.
“Aku ikut,” kata seorang pemuda, Miko. Bekas luka di pipinya belum sembuh. “Kalau kita tetap di sini, kita pasti mati. Setidaknya kalau mati di luar, kita mati berjuang.”
Tasha tersenyum samar. “Kalau kalian butuh perawat, aku ikut juga.”
Akhirnya mereka bertiga, ditambah dua relawan lain, memulai perjalanan menyusuri reruntuhan kota.
---
Jalanan penuh abu. Udara beracun. Suara-suara aneh terdengar di kejauhan, entah suara bangunan runtuh atau… sesuatu yang lain.
Di tengah reruntuhan, mereka menemukan tubuh—beku, pucat, dengan wajah yang masih menunjukkan ketakutan terakhir. Tapi mereka tak berhenti. Ravel memimpin dengan peta dan kenangan. Tangga-tangga berkarat, lorong-lorong sempit, hingga akhirnya—pintu baja ke stasiun tua.
“Ini dia,” gumam Ravel. “Pompa airnya ada di ruang bawah.”
Mereka membuka paksa pintu. Di dalam, kegelapan menyambut. Tapi juga keheningan yang menenangkan.
Butuh dua jam untuk menyalakan pompa. Dua jam penuh keringat, debu, dan kerja sama tanpa suara.
Dan saat air pertama kali mengalir, semua orang menatap seolah melihat mukjizat.
Miko menangis. Tasha tersenyum. Salah satu relawan, yang sejak awal ketakutan, berlutut dan tertawa kecil.
Ravel hanya menatap aliran air itu, lalu berkata, “Kita kembali. Bawa harapan.”
---
Mereka tiba di bunker menjelang pagi.
Membawa air. Membawa kabar. Membawa pilihan.
Tak perlu kata-kata. Saat ember-ember berisi air bersih masuk ke bunker, orang-orang langsung bangkit. Yang sebelumnya menolak kini ikut membantu. Anak-anak mulai tersenyum. Para ibu memeluk satu sama lain.
Hari itu, bukan hanya bunker yang berpindah. Tapi juga harapan.
Mereka membangun tempat baru di dekat stasiun. Awalnya hanya tenda-tenda. Lalu tembok. Lalu dapur umum. Lalu sekolah darurat. Perlahan, reruntuhan berubah menjadi rumah.
---
Dua tahun berlalu.
Kota tidak pernah kembali seperti dulu. Tapi komunitas kecil itu bertahan. Anak-anak tumbuh. Tanaman kembali tumbuh di ladang buatan. Dan langit, perlahan, menjadi biru kembali.
Di atas menara sederhana yang dibangun dari puing-puing lama, Ravel duduk sendiri. Menatap cakrawala.
Seorang anak kecil menghampirinya, rambutnya kusut, wajahnya kotor tapi penuh rasa ingin tahu.
“Paman Ravel,” katanya. “Guru bilang dulu semua orang takut keluar. Tapi kenapa paman enggak?”
Ravel tersenyum, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama.
“Karena saat krisis melanda, semua orang melihat bahaya. Tapi hanya yang kuat… yang melihat peluang.”
---
✦ Tamat
Pesan Moral
> Dalam hidup, akan selalu ada masa krisis — entah itu bencana, kehilangan, atau ketidakpastian. Yang membedakan mereka yang bertahan bukanlah kekuatan fisik, tapi keberanian untuk melihat peluang di tengah kegelapan. Bahkan dari reruntuhan, kehidupan bisa tumbuh… asal ada satu orang yang mau berdiri lebih dulu.