Pagi itu, matahari bahkan belum terlalu tinggi, udara masih dingin, langit pun belum benar-benar biru, tapi suara motor Rey sudah terdengar di depan rumah. Keira keluar dengan alis mengernyit, masih pakai hoodie lusuh dan rambut diikat asal, dia belum siap apa-apa bahkan untuk cuci muka pun belum.
“Kamu ngapain sih pagi-pagi begini?” tanyanya sambil nyipit-nyipitin mata karena silau.
Rey tersenyum kecil. “Mau ngajak kamu jalan aja.”
“Jam tujuh pagi? Hari ini?.” Keira menyilangkan tangan di dada.
“Justru itu, biar hari ini gak jadi biasa aja,” jawab Rey ringan.
Tangannya menunjuk helm yang satu lagi. “Yuk ikut, gak usah nanya mau ke mana.”
Keira menghela napas tapi ia tetap mengangguk dan balik masuk ke dalam rumah untuk ganti baju secepat kilat. Dia gak ngerti kenapa, tapi hatinya terasa aneh pagi ini. Bukan gak enak, tapi ada yang beda. Rey biasanya gak gini, dia gak pernah suka kejutan tapi hari ini semuanya mendadak.
Dan Keira, untuk alasan yang juga dia gak ngerti, milih buat nurut.
Tempat pertama yang mereka datangi adalah taman kota. Bukan taman yang istimewa. Rumputnya juga udah gak terlalu hijau. Tapi itu tempat pertama mereka ketemu secara resmi. Waktu itu Keira lagi baca buku sendirian dan Rey duduk di bangku seberang, pura-pura nelpon sambil nyolong-nyolong lihat.
“Masih inget tempat ini?” tanya Rey sambil duduk di bangku yang sama.
Keira mengangguk pelan. “Kamu duduk di sana,” katanya, menunjuk ke bangku batu yang ada di bawah pohon besar.
“Aku waktu itu lagi baca novel yang akhirnya gak aku selesaiin karena kamu ngajak ngobrol terus.”
Rey ketawa. “Dan kamu kesel banget karena aku spoil ending-nya.”
“Banget.” Keira ikut tertawa, walau tawanya tipis.
“Aku gak pernah maafin kamu soal itu.”
Tapi mereka diam beberapa saat setelahnya. Keira ngelihat Rey lebih lama dari biasanya. Tatapan cowok itu kosong tapi damai. Seolah dia udah tau sesuatu yang Keira belum tau.
“Kenapa sih pagi-pagi ngajak nostalgia?” tanya Keira, kali ini sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Rey.
Rey gak langsung jawab. Dia cuma angkat tangan dan elus rambut Keira pelan. Gerakannya lembut, seperti seseorang yang sedang menghafal detail terakhir dari sesuatu yang bakal pergi.
“Aku cuma mau kamu inget hari ini,” katanya pelan.
Tempat kedua yang mereka kunjungi adalah warung bakso tua di pinggir jalan. Warung itu udah reot, tapi selalu jadi langganan mereka. Tempat di mana obrolan-obrolan receh sering jadi serius. Di sanalah Keira pernah bilang,
“Kalau suatu saat aku ninggalin kamu duluan, kamu harus janji gak nyalahin diri sendiri.”
Dan Rey diem lama banget sebelum akhirnya bilang, “Gak mungkin gak nyalahin diri kalau yang pergi itu kamu”
Waktu itu Keira angap itu lebay tapi sekarang kalimat itu malah terngiang aneh di kepala. Hari ini, Rey gak makan banyak. Padahal biasanya dia lahap. Tangannya juga dingin waktu Keira pegang tanpa sengaja. Rey cuma senyum dan bilang dia lagi kurang enak badan, tapi matanya gak bohong. Tatapan itu mirip kayak seseorang yang udah ngelewatin banyak sakit tapi gak pernah mau bilang.
Keira mulai curiga tapi dia gak berani tanya. Mereka muter-muter kota sampai matahari udah tinggi. Rey ngajak ke tempat-tempat aneh yang bahkan Keira udah lupa mereka pernah ke sana bareng. Waktu di halte tua yang penuh coretan, Rey bilang,
“Dulu kita pernah nunggu bus dua jam di sini, cuma buat nonton konser yang akhirnya batal.”
Keira ketawa. “Dan kamu malah ngaku ke aku kalau kamu suka aku waktu itu.”
Rey ikut ketawa, walau napasnya mulai berat. “Aku takut banget kamu tolak, padahal waktu itu kita udah deket banget.”
“Aku juga takut nerima kamu, tapi akhirnya malah nyesel kenapa gak dari awal.”
Mereka diam lagi. Hari itu penuh dengan kenangan, tapi gak ada rencana. Semuanya terasa kayak penutupan. Tapi Keira masih nolak pikiran itu. Dia masih terus bilang ke dirinya sendiri kalo Rey baik-baik aja, Ini cuma hari Minggu yang kebetulan aja dia niat ngajak jalan.
Sampai akhirnya mereka duduk di bukit kecil yang ngadep langsung ke kota. Matahari udah mulai turun. Cahaya oranye menyelimuti wajah Rey.
Keira lihat dia lama. Wajah itu familiar banget tapi ada sesuatu yang hilang.
“Kalau hari ini hari terakhir kamu, kamu mau ngapain?” Keira tiba-tiba bertanya
Rey diam sebentar, dalu senyum. “Aku lagi ngelakuin itu sekarang.”
Keira tertawa kecil. “Gombal, aku serius Rey.”
Rey menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca, tapi tetap tenang. “Kalau ini hari terakhir aku, aku cuma mau satu hal, bikin kamu bahagia meskipun cuma sehari.”
Keira langsung merasa dadanya sesak. “Kenapa kamu ngomongnya kayak gitu? Kamu lagi sakit ya? Jangan bercanda deh Rey”
Rey menggenggam tangan Keira lama, hangatnya masih ada, tapi ada yang goyah.
“Aku gak sakit Keira, aku cuma mau kamu inget hari ini sebagai hari terbaik kamu, gak harus tau ada apa sekarang.”
Keira gak tahan, dia peluk Rey erat. Untuk pertama kalinya sejak pagi, dia nangis diam-diam dia bahkan gak ngerti kenapa air matanya keluar, tapi hatinya seperti tau sesuatu yang pikirannya belum berani akui.
Malamnya, Rey nganterin Keira pulang. Mereka berdiri lama di depan pagar rumah, gak ada ciuman perpisahan, gak ada drama, hanya pelukan lama yang lebih erat dari biasanya.
“Aku sayang kamu,” bisik Rey.
“Selalu,” jawab Keira.
Itu terakhir kalinya dia lihat Rey.
Pagi berikutnya, suara HP Keira terus berbunyi, dan mau tak mau Keira buka dengan rasa kantuk. Tapi begitu dia baca isi chat dari ibunya Rey, napasnya seolah berhenti.
“Keira Rey meninggal tadi malam, dia tidur dan gak bangun lagi. Maaf baru ngabarin pagi ini, dia minta gak ada yang tau dulu sampai hari ini selesai.”
HP Keira jatuh, suara dari luar rumah, dari kehidupan, semuanya lenyap.
Rey meninggal?
Enggak, enggak mungkin, dia sehat kemarin, dia ngajak jalan, dia ketawa, dia bilang “aku sayang kamu” tapi kenyataan gak peduli sama yang Keira pikir. Hari ini, dunia Keira serasa terhenti.
Beberapa hari kemudian, Keira datang ke kamar Rey. Ibunya ngasih satu kotak kecil yang katanya Rey titip khusus buat Keira. Di dalamnya cuma ada satu surat dan satu foto polaroid mereka berdua di taman, tempat pertama yang mereka kunjungi. Tangannya gemetar waktu ngebuka surat itu.
Keira,
Maaf aku gak bisa bilang langsung. Aku tau aku gak punya waktu lama lagi sejak dua bulan lalu, tapi aku gak pernah siap buat ngeliat kamu nangis sebelum waktunya. Aku gak mau hari terakhir kita dipenuhi sedih.
Makanya aku ajak kamu ke semua tempat itu. Aku mau kamu bahagia meski cuma sehari. Aku sayang kamu dari awal sampai akhir dan aku akan tetap sayang kamu bahkan ketika kamu gak bisa liat aku lagi.
Jangan nangis lama-lama ya, hidup kamu masih panjang, kamu harus lewatin ini semua, tapi sesekali ingat hari itu hari di mana kita ketawa bareng meski kamu gak tau itu hari terakhir aku.
– Rey.
Surat itu basah oleh air mata Keira, tangannya gemetar, jantungnya serasa ditusuk. Rey tau, dia tau dan dia diam-diam nyiapin semuanya. Hari itu adalah hari terakhir Rey yang Keira gak tau dan mungkin itu yang paling nyakitin. Sekarang, Keira sering duduk sendirian di taman itu. Buku yang dulu dia baca masih sama. Tapi kali ini dia tau akhir ceritanya. Akhir yang menyisakan rindu panjang tanpa bisa diulang.