Namaku Raya, Usiaku tujuh belas
Dan sejak Mama meninggal tiga tahun lalu, rumah ini bukan lagi tempat yang bisa kusebut pulang.
Papa berubah Dulu ia hangat, suka menyuapiku makan dan menyelimutiku saat tidur Sekarang, suaranya hanya terdengar saat marah Tangannya hanya bergerak saat melempar atau menampar Dan wajahnya... bukan lagi wajah yang kupeluk waktu kecil.
Setiap pagi, aku bangun lebih dulu, masak untuk Papa dan kedua kakakku
Kakakku yang pertama, Rendi, selalu berkata aku beban Yang kedua, Dani, lebih suka mengambil uang jajan yang kusimpan diam-diam Kalau aku melawan, mereka bilang aku kurang ajar Kalau aku diam, mereka bilang aku bodoh.
Suatu malam, aku pulang terlambat karena lembur bantu guru di perpustakaan, Papa langsung berdiri dari kursi Tangannya mengangkat sabuk Aku tidak sempat menjelaskan Yang terdengar hanya suara sabuk menghantam kulit.
"Perempuan jalang! Pulang malam pasti ngelacur!" teriaknya.
Aku menangis Tapi air mataku hanya membuatnya semakin benci, Dia bilang aku mirip Mama Tapi nadanya penuh kebencian.
"Makanya ibumu mati cepet! Nggak bisa ngurus rumah!"
Aku tidur di lantai malam itu
Luka di punggung terasa panas
Tapi hatiku lebih sakit.
Besoknya, aku tetap memasak
Tetap mencuci
Tetap menyapu
Karena kalau tidak, aku bisa tidak makan
Kadang aku diam-diam mengelus foto Mama yang sudah kusimpan di bawah kasur
Foto kecil, sudah lecek, tapi senyumnya menenangkanku.
"Mama, aku kangen..."
bisikku setiap malam
"Tolong jemput aku..."
Suatu hari, aku pingsan di sekolah Kepalaku terbentur Guru memanggil Papa
Tapi yang datang hanya Rendi Ia marah karena katanya aku bikin malu keluarga.
Sore itu, guru wali kelasku menyusul ke rumah Tapi begitu dia pergi, Papa membanting piring.
"Mulai sekarang, nggak usah sekolah! Kamu bikin malu!"
Hari-hariku di rumah makin gelap
Tak ada lagi suara bel masuk kelas
Tak ada buku
Tak ada teman
Hanya suara TV, sabuk, dan makian.
Sampai malam itu...
Aku duduk di halaman, hujan gerimis
Luka di tangan belum sembuh, Perut kosong. Tapi aku lihat kupu-kupu kecil hinggap di jendela dapur.
Entah kenapa, kupu-kupu itu mengingatkanku pada Mama. Dulu Mama bilang, kalau dia meninggal dia mau reinkarnasi jadi kupu-kupu Supaya bisa tetap melihatku dari dekat.
Aku tersenyum pahit
"Mama, kalau Mama beneran di sini, peluk aku sekali aja ya..."
Angin bertiup lembut
Tapi tubuhku terlalu lelah untuk merasa.
Besok paginya, tetangga menemukan aku tergeletak di ayunan kecil di halaman
Kedinginan
Tak bernyawa.
Tanganku menggenggam foto Mama
Dan sebuah surat kecil tertempel di dadaku.
Isi surat itu cuma satu kalimat
"Rumahku sudah tidak ada... tapi aku ingin pulang ke pelukan Mama."
Tetangga menangis
Guru sekolah datang
Bahkan polisi pun bungkam saat tahu aku meninggal karena sakit dan luka dalam yang dibiarkan.
Tapi Papa, Rendi, dan Dani...Mereka hanya menunduk
Tak ada air mata
Tak ada penyesalan.
Rumah itu sekarang kosong Ayunan di halaman tak pernah bergerak lagi Tapi orang-orang bilang, setiap malam Jumat, ada suara perempuan menangis di dekat pintu belakang.
Dan kupu-kupu putih sering hinggap di jendela.