1. Bangun di Tempat Asing
Raka membuka matanya perlahan. Pandangan pertamanya adalah langit-langit putih polos. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, tapi kepalanya berdenyut hebat.
Ruangan itu sunyi. Terlalu sunyi.
Tak ada jendela. Tak ada suara luar. Hanya dinding putih, lantai putih, dan sebuah pintu baja di sudut ruangan. Di depannya, ada meja kecil dengan selembar kertas dan sebuah pena.
Tangannya gemetar saat mengambil kertas itu. Di atasnya tertulis dengan tinta hitam:
"Tulis siapa dirimu. Kalau kamu salah, kamu akan tetap di sini."
Ia menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Apa maksudnya?
Ia mencoba berdiri, lututnya lemas. Tapi ia memaksa. Ia menatap sekeliling — tak ada kamera, tak ada jam, tak ada tanda kehidupan lain.
Dan ia tidak bisa mengingat namanya sendiri.
---
2. Ujian Dimulai
Setelah beberapa menit panik, Raka menulis satu kata di kertas:
“Raka.”
Tak terjadi apa-apa. Ia menunggu. Detik demi detik berlalu, seperti suara yang berdetak di dalam dadanya sendiri.
Tiba-tiba, lampu padam. Ia terengah-engah dalam gelap.
Suara keras terdengar: “SALAH.”
Lampu menyala kembali. Di pojok ruangan, sekarang ada meja baru. Di atasnya, sepiring makanan dan segelas air.
Ia tidak tahu dari mana itu muncul.
Tangannya gemetar saat memegang gelas. Ia minum, lalu duduk di lantai.
Apa maksud semua ini? Apakah ini eksperimen? Penculikan? Hukuman?
Setiap jam, kertas baru muncul di meja. Pertanyaan berbeda.
"Apa kesalahan terbesarmu?"
"Siapa yang kamu lupakan?"
"Kenapa kamu dibawa ke sini?"
Semua jawabannya tak pernah membuat pintu terbuka. Ia mulai menulis lebih jujur, walau ingatannya masih kabur.
---
3. Bayangan dari Masa Lalu
Hari keempat — atau mungkin kelima — wajah seorang anak kecil mulai muncul dalam mimpinya. Mata besar, senyum manis, dan suara tawa di taman.
Ia merasa mengenal anak itu.
“Siapa kamu?” tanya Raka dalam mimpinya.
Anak itu hanya menjawab: “Aku menunggumu.”
Saat ia terbangun, ada tulisan baru di meja:
"Siapa yang kamu bunuh?"
Raka terdorong mundur dari meja. Jantungnya berdegup kencang. Apa maksudnya? Ia tidak pernah membunuh siapa pun… bukan?
Tapi kenapa dada ini terasa sesak setiap kali melihat wajah anak itu di mimpinya?
---
4. Kenyataan Mulai Retak
Hari berikutnya, suara terdengar dari speaker tersembunyi.
“Kamu tidak terjebak di sini. Kamu DIHADAPKAN.”
Ia berteriak, "Siapa kalian? Kenapa aku di sini?"
Tak ada jawaban.
Ia memukul tembok, mencoba merobek lantai, tapi tak bergeming. Ia duduk kembali, menangis dalam diam. Lalu, di sudut ruangan, muncul sebuah cermin besar. Pantulannya tak seperti biasanya.
Ia melihat dirinya... tapi lebih muda. Di belakangnya berdiri seorang wanita dan anak kecil — wajah mereka kabur.
Kilasan datang.
Sebuah mobil. Hujan. Suara jeritan.
Tangan gemetar di setir. Lampu merah diabaikan. Tubuh kecil terpental ke jalan.
Suara tangis… suara sirene… lalu hitam.
---
5. Kebenaran Ditemukan
Ia terbangun lagi, kali ini dengan tubuh berkeringat.
Ia meraih pena dan menulis:
“Aku membunuh anakku. Aku mabuk waktu itu. Aku lari dari kecelakaan. Aku lari dari istriku. Aku lari dari diriku sendiri.”
Ia menangis saat menulisnya. Kata demi kata seperti memecah dinding tebal di kepalanya.
Saat ia menyelesaikan tulisan itu, pintu baja di sudut ruangan berbunyi klik. Terbuka perlahan.
Di baliknya, bukan lorong. Bukan dunia luar.
Hanya ruangan putih lain. Lebih kecil. Dan sebuah kursi.
Di atas kursi, duduk seorang anak kecil.
Wajahnya adalah wajah yang selalu datang di mimpi. Ia tersenyum.
"Ayah, kamu ingat sekarang," katanya.
Raka bergetar. "Ardan…"
Anak itu mengangguk.
“Aku selalu di sini, menunggu ayah mengingatku.”
“Apakah ini neraka?” tanya Raka pelan.
Anak itu tersenyum samar. “Ini adalah ruang maaf. Tapi tak semua bisa sampai ke sini.”
---
6. Pilihan Terakhir
Anak itu menunjuk pintu di belakangnya. “Kalau ayah ingin menebus semuanya, ayah bisa lewat pintu itu. Tapi setelah itu… tidak bisa kembali.”
“Apa yang ada di sana?”
“Lupa. Tidak ada memori. Tidak ada rasa sakit. Tapi juga tidak ada aku.”
Raka menatap anak itu, menatap pintu. Tangannya gemetar.
“Kalau aku tinggal di sini?”
“Waktumu habis. Kau harus memilih.”
Air mata mengalir. Ia melangkah perlahan, mendekat ke anak itu, lalu berlutut dan memeluknya.
“Maafkan ayah,” bisiknya.
Ardan memeluk balik. “Aku sudah memaafkan. Tapi ayah belum memaafkan diri sendiri.”
Pintu terbuka.
---
7. Kosong yang Damai
Saat Raka melangkah melewatinya, dunia seolah runtuh.
Warna memudar. Suara hilang. Ia tak merasakan tubuhnya lagi.
Dan akhirnya… hanya keheningan.
Tidak ada rasa bersalah. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada ingatan.
Di luar, di dunia nyata, tubuh Raka ditemukan dalam kondisi koma selama lima tahun. Dan hari itu — jantungnya berhenti.
Tak ada catatan, tak ada pesan terakhir.
Hanya seorang mantan istri yang akhirnya menangis lega.
Dan seorang anak kecil yang selalu dikenang… dalam mimpi.