Di pinggir desa Aravell, ada taman yang tak pernah berubah. Bunga-bunga di sana selalu mekar, tak peduli musim. Salju bisa jatuh di seluruh negeri, tapi di taman itu, bunga lili tetap putih bersinar, dan matahari selalu hangat.
Orang-orang menganggapnya aneh, beberapa bahkan menghindari tempat itu. Tapi tidak bagi Elen, gadis muda yang sejak kecil menyukai kesunyian. Ia datang ke sana setiap sore, duduk di bangku batu, membaca puisi, atau hanya menatap langit.
Taman itu terasa seperti satu-satunya tempat yang benar-benar memahaminya.
Sampai suatu hari, ia tak sendirian lagi.
Seseorang duduk di bangku itu saat ia tiba — seorang pemuda berambut perak, berpakaian jubah kelabu, wajahnya tenang namun sorot matanya asing. Seolah-olah ia berasal dari mimpi yang tak pernah selesai.
"Kamu duduk di bangku favoritku," kata Elen, setengah bercanda.
Pemuda itu menoleh. "Sudah lama tak ada manusia yang bisa melihatku."
Elen mengangkat alis. "Maksudmu?"
"Aku Roh Penjaga taman ini," jawabnya lirih. "Namaku Kael."
Ia tertawa kecil. “Kalau begitu, kamu peri?”
"Lebih tua dari itu. Aku berasal dari dunia lain. Tapi hanya jiwa yang murni bisa melihatku. Dan kamu... berbeda dari yang lain."
Sejak hari itu, Elen dan Kael bertemu setiap sore. Mereka bicara soal dunia, buku, bintang, bahkan kesedihan yang tak pernah bisa dijelaskan. Elen merasa hatinya mulai tumbuh, seperti taman itu — tenang, damai, dan hidup.
Namun waktu adalah musuh abadi cinta yang mustahil.
Suatu malam, Kael terlihat murung. "Taman ini ada di antara dua dunia. Tapi gerbangnya akan tertutup saat bulan purnama ke-13 muncul. Setelah itu, aku harus kembali."
"Tak bisa kamu tetap di sini?" bisik Elen.
Kael menggeleng. "Tubuhmu fana, Elen. Jika kamu ikut denganku, kamu harus tinggalkan segalanya — keluargamu, dunia manusia, kehidupanmu sekarang."
Ia memandangnya dalam-dalam. "Tapi aku tak ingin kehilanganmu."
Bulan purnama ke-13 datang lebih cepat dari yang mereka harapkan. Di malam itu, taman berubah menjadi lautan cahaya. Kael berdiri di tengah lingkaran bunga yang bersinar, tubuhnya perlahan memudar.
Elen berdiri di tepi, matanya berkaca-kaca.
"Aku mencintaimu," kata Kael. "Tapi aku tak akan memaksamu memilih."
Elen menatap langit. Desa, dunia, semua yang ia kenal… atau cinta yang tak pernah dijanjikan abadi?
Dan seperti bunga di taman itu… ia hanya memiliki satu musim untuk memutuskan.
Elen berjalan mendekat. Tapi saat ia hendak menyentuh tangan Kael, ia berhenti. "Aku mencintaimu juga… tapi ini bukan waktuku."
Kael tersenyum sendu. "Maka suatu hari, di kehidupan yang lain... temui aku di bawah pohon lili ini."
Ia menghilang, meninggalkan kelopak yang jatuh perlahan ke tangan Elen.
Dan sejak malam itu, taman tetap seperti biasa — mekar, damai, dan abadi. Tapi bagi Elen, taman itu bukan sekadar tempat. Ia adalah janji, kenangan, dan pintu menuju cinta yang menunggu di dunia lain.