Namaku Arka. Mahasiswa semester enam jurusan Psikologi di sebuah universitas negeri ternama. Aku cukup dikenal sebagai mahasiswa yang biasa-biasa saja — tidak terlalu pintar, tidak bodoh, tidak terkenal, tapi juga tidak dilupakan.
Hingga hari itu.
Hari ketika aku masuk ke kelas yang seharusnya tidak ada.
Hari Selasa, jam 13.00, aku baru saja keluar dari kelas Filsafat Manusia. Karena ada waktu luang, aku memutuskan untuk masuk ke perpustakaan. Tapi saat melewati lorong kampus yang sunyi, mataku tertarik ke satu pintu berwarna abu kusam bertuliskan:
"Kelas 13 – Kajian Diri & Simulasi Realita"
Aneh. Tidak pernah dengar ada mata kuliah seperti itu. Kelas 13? Gedung ini cuma punya 12 ruang.
Penasaran, aku membuka pintu itu.
Ruangan itu gelap, hanya diterangi lampu kuning pucat. Di dalamnya, ada beberapa mahasiswa duduk rapi. Tapi wajah mereka tidak jelas. Seperti... kabur.
Seorang pria paruh baya dengan jas panjang berdiri di depan. Dia tersenyum, dan berkata:
"Selamat datang, Arka. Kamu sudah siap mengakses kesadaran lapis kedua?"
Aku diam. Tidak tahu harus menjawab apa.
---
Sejak saat itu, aku rutin "masuk" ke Kelas 13. Di kelas itu, kami mempelajari teori-teori aneh: dunia sebagai simulasi, perbedaan realita dan ilusi, hingga bagaimana cara “mengakses versi dirimu yang lain”.
Suatu hari, dosen itu — kami memanggilnya Dr. K — bertanya,
"Jika kamu bertemu dengan dirimu di dunia lain, siapa yang akan menghilang lebih dulu?"
Semua orang diam. Tapi aku malah mulai berpikir serius.
---
Tiga minggu kemudian, sesuatu mulai berubah.
Teman-temanku mulai berkata aku berubah. Kata mereka, aku jadi lebih tenang... tapi juga lebih dingin. Ibuku menelepon dan bilang, "Kamu bukan Arka yang biasa, Nak."
Yang paling aneh, saat aku bertanya pada dosen wali tentang Kelas 13, dia hanya tertawa.
"Arka, kampus ini gak pernah punya kelas itu. Kamu becanda, ya?"
Aku diam. Tapi hari itu, saat aku kembali ke lorong tempat Kelas 13, pintunya... hilang. Hanya ada tembok kosong.
Aku panik.
Aku mulai mencari mahasiswa lain yang pernah kulihat di kelas itu. Tapi tak ada yang tahu. Nama-nama yang kuingat tidak pernah terdaftar di kampus. Tidak ada foto, tidak ada data.
Seolah mereka tidak pernah ada.
---
Sampai aku menemukan sebuah buku catatan kecil di dalam tasku — yang aku tak pernah merasa membeli atau menulisnya. Di sana tertulis dengan tulisan tanganku sendiri:
> "Jika kamu membaca ini, berarti versi aslimu telah ditukar."
> "Kamu bukan Arka dari dunia ini. Kamu adalah cadangan. Yang asli sudah pergi, atau... digantikan."
> "Jangan percaya siapa pun, bahkan dirimu sendiri."
Tanganku gemetar. Aku membaca terus...
> "Dr. K tidak nyata. Dia adalah mekanisme sistem yang menjaga kestabilan simulasi realita. Kamu sudah menembusnya, dan sekarang kamu harus memilih: kembali ke dunia lamamu atau bertahan di sini dan lupa semuanya."
---
Hari ini, aku duduk di taman kampus. Aku melihat ke sekeliling.
Semuanya tampak... terlalu sempurna. Burung-burung selalu berkicau jam yang sama. Langit selalu biru. Semua orang tersenyum seperti aktor.
Mungkin aku sedang mimpi.
Atau... mungkin kamu yang sedang baca cerita ini, juga sedang di dalam sistem yang sama.
Coba ingat baik-baik:
Kapan terakhir kali kamu melihat bulan di siang hari?
Atau mengganti baju tidur kamu sendiri di mimpimu?
Mungkin, kamu juga bukan kamu yang asli.
---
Sudah seminggu sejak aku menemukan buku catatan kecil itu. Setiap malam aku membacanya, berusaha memahami apa yang terjadi. Setiap kalimat terasa seperti kode rahasia.
Salah satu halaman tertulis besar dengan tinta merah:
> "Jika kau ingin tahu kebenaran, temui dirimu sendiri."
> "Cari cermin. Tatap selama tiga detik. Tapi jangan lebih."
Awalnya aku pikir itu cuma metafora. Tapi satu malam, aku memutuskan mencobanya.
Aku berdiri di depan cermin di kamar kosku. Pukul 02.00 pagi. Sunyi. Hanya suara detak jam dinding.
Aku tatap mataku sendiri. Satu detik…
Dua detik…
Di detik ketiga, mataku—di dalam cermin—berkedip lebih lambat dari aku.
Tubuhku mundur spontan. Jantungku berdetak kencang. Tapi aku tidak bisa berpaling. Wajah di cermin tetap menatap… tapi bukan aku.
Dia tersenyum.
Lalu perlahan mengangkat tangannya, seolah ingin meraih keluar. Tapi anehnya, aku tidak bergerak. Hanya dia yang bergerak.
Kemudian, entah kenapa, wajahku di cermin berubah sedikit. Rambut lebih rapi. Kulit lebih cerah. Lebih... bahagia?
Dia berkata, tanpa suara, hanya gerakan bibir:
"Aku yang seharusnya hidup."
Lampu kamar tiba-tiba mati.
Aku jatuh terduduk di lantai. Napasku memburu. Saat lampu menyala kembali… bayangan itu sudah normal lagi.
Tapi di bawah cermin, ada secarik kertas kecil yang sebelumnya tidak ada.
Aku buka. Tulisannya tangan sendiri, lagi-lagi.
> "Kamu sedang menggantikan hidup seseorang. Tapi dia ingin kembali."
"Kamu sudah mencicipi realita yang bukan milikmu."
"Dan sistem tidak suka itu."
---
Sejak kejadian itu, aku mulai bermimpi aneh. Dalam mimpi, aku hidup sebagai Arka yang lain. Lebih sukses. Kaya. Dikelilingi banyak teman. Tapi... semuanya terasa hampa. Semua tertawa, tapi tidak ada yang benar-benar melihatku.
Di mimpi itu, aku duduk di kelas Kelas 13, tapi Dr. K tidak ada. Yang berdiri di depan... adalah aku sendiri.
Aku (versi mimpi) berkata:
"Hidup bukan tentang menjadi nyata. Tapi tentang siapa yang paling diinginkan oleh sistem."
"Kamu terpilih karena dia menyerah."
"Tapi dia sudah bangkit. Dia ingin kembali."
Saat aku terbangun, tanganku berdarah. Di telapak tangan ada goresan aneh:
13 / 2
---
Hari ini, aku pergi ke ruang konseling kampus. Ceritanya, aku ingin bicara soal stres.
Tapi saat duduk di dalam ruangan, aku terdiam. Karena di meja konselor, ada foto tua tergantung di dinding.
Foto itu menampilkan kelompok mahasiswa, dan... salah satunya adalah aku. Dengan jaket angkatan... tahun 1999.
Padahal sekarang tahun 2025.
Aku minta izin untuk melihat lebih dekat.
Nama-nama mereka tertulis di bawah foto. Salah satunya:
> Arka Dharmawan — Hilang saat program eksperimen Kelas 13, 2001.
---
Mataku berkunang. Aku keluar ruangan dengan tubuh gemetar.
Siapa aku sebenarnya?
Apakah aku bagian dari eksperimen lama yang lupa? Atau aku hanya salinan dari seseorang yang lebih dulu ada?
Malam ini, aku kembali ke cermin.
Tapi kali ini, aku yang dalam cermin sudah menungguku lebih dulu.
Dia berkata,
"Satu dari kita harus menghilang. Dan kamu sudah menikmati hidupku terlalu lama."
---
Jam menunjukkan pukul 01.13 dini hari.
Aku duduk di lantai, tepat di depan cermin. Tangan kiriku menggenggam buku catatan kecil itu erat. Keringat dingin mengucur dari pelipis. Cermin di hadapanku sudah tidak memantulkan gerakanku dengan benar.
Setiap aku berkedip, dia di dalam cermin—versi lain dari diriku—menatap lurus, tanpa ekspresi.
Dan malam ini, dia berbicara.
Tapi bukan dari mulutnya, melainkan dari dalam kepalaku sendiri.
> "Kamu pikir kamu yang terpilih?"
"Bukan kamu yang masuk ke hidupku. Tapi aku yang membiarkanmu masuk."
"Sekarang waktunya aku kembali."
Aku melompat mundur. Tubuhku menabrak kursi. Tapi suaranya tetap terdengar... dari dalam kepalaku sendiri.
Aku membuka catatan kecil itu. Halaman terakhir sudah tidak kosong lagi. Tulisan dengan tinta merah muncul sendiri, huruf demi huruf:
> "Pertukaran hanya bisa dilakukan jika kedua pihak menyetujui."
"Jika kamu melawan, sistem akan memaksamu memilih."
"Realita ini hanya untuk satu Arka."
---
Hari itu, aku memutuskan kembali ke kampus. Aku mencari arsip lama—tentang program eksperimen psikologi, tahun 1999—yang disebut "Kelas 13."
Dibantu petugas perpustakaan yang setengah ragu, aku menemukan map lusuh berdebu. Di dalamnya: artikel koran lama, laporan internal kampus, dan satu foto hitam putih.
Di tengah foto itu, berdiri aku.
Tapi wajahku... lebih dewasa. Mata lebih tajam. Ada bekas luka kecil di bawah pelipis.
Keterangan di bawahnya:
> Nama: Arka Dharmawan. Mahasiswa teladan. Relawan eksperimen K13.
Status: Hilang. Diduga mengalami ‘pembelahan kepribadian’ akibat program.
Dadaku sesak. Jadi... aku ini siapa?
Aku bukan mahasiswa tahun 2025. Aku adalah...
Atau...
Apakah aku justru realita yang tercipta dari Arka yang lama?
Aku versi pengganti, dibentuk oleh sistem untuk menggantikan dia?
---
Saat keluar dari kampus, langit berubah mendung pekat.
Aku melihat pantulan wajahku di kaca mobil yang terparkir. Kali ini, aku bukan lagi diriku.
Aku adalah dia.
Rambutku berubah sedikit. Luka di bawah pelipis kiri muncul. Dan aku mulai mengingat sesuatu... yang bukan bagian dari hidupku.
Aku ingat duduk di laboratorium. Tahun 2001. Dikelilingi monitor dan suara mesin. Aku ingat seseorang berkata:
> "Simulasinya akan menggantikan realita. Kita bisa memilih versi terbaik dari diri kita untuk hidup di dunia nyata."
Aku adalah bagian dari eksperimen. Dan aku... tidak pernah keluar dari simulasi itu.
Sampai sekarang.
---
Malamnya, di depan cermin, Arka dari "sana" kembali muncul.
Kali ini, dia tidak tersenyum.
"Pertukaran sudah dimulai."
"Kamu boleh bertahan, tapi akan hidup dalam dunia yang bukan milikmu. Semua akan terasa hampa."
"Atau kamu serahkan tempatmu... dan kembali ke realita lamamu yang hancur."
Aku terdiam.
Lalu berkata pelan, "Apa yang akan kau lakukan jika kembali?"
Dia menjawab,
"Menebus kesalahan. Membangun ulang. Membuat hidup ini layak dijalani."
Aku menutup mata.
Dan saat membukanya kembali, aku sudah berada di kamar yang berbeda.
Cermin sudah tidak ada.
Dan di meja kecil, hanya ada kartu mahasiswa—namanya Arka Dharmawan. Tahun angkatan: 1998.
---
Sudah tiga hari sejak aku "kembali" ke dunia ini. Dunia milik Arka Dharmawan, angkatan 1998. Semuanya terasa asing, tapi tubuhku... ingat.
Aku tahu jalan ke ruang kelas. Aku tahu nama dosen-dosen lama yang bahkan belum lahir saat aku—versi sebelumnya—kuliah.
Lebih aneh lagi: semua orang mengenaliku. Mereka menyapaku dengan ramah, seolah tak pernah ada yang hilang.
"Arka! Akhirnya balik juga, bro! Kami kira lo udah drop out."
"Masih inget mata kuliah simulasi waktu itu? Dosenya udah pensiun, loh!"
Aku hanya tersenyum kaku.
Di dalam hati, aku bertanya:
Apakah mereka benar-benar nyata? Atau ini bagian dari sistem juga?
Apakah aku hidup... atau masih dalam simulasi lapis yang lebih dalam?
---
Sampai suatu sore, aku kembali ke kampus tua yang sudah tidak dipakai. Gedung itu akan dibongkar. Dan di lantai tiga, aku menemukan pintu tua berkarat.
Tertulis samar:
"Kelas 13"
Tanpa sadar, aku menempelkan tangan ke gagang pintu.
Dan saat kubuka, ruangan itu kosong. Berdebu. Tapi ada satu cermin besar di tengah ruangan.
Cermin yang tak memantulkan apa pun.
Kosong. Gelap.
Aku mendekat perlahan. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
Dan kemudian, untuk terakhir kalinya… aku melihat diriku yang lama.
Arka tahun 2025. Wajah lelah. Tatapan kosong. Dia berdiri diam di sisi lain cermin.
Tapi dia tidak mencoba masuk. Tidak tersenyum. Hanya... melihat.
Aku angkat tangan, mencoba menyentuh bayangannya.
Tapi yang terjadi selanjutnya… membuat seluruh tubuhku membeku:
> Bayangan itu menggeleng. Perlahan. Lalu memudar.
Dan untuk pertama kalinya sejak semuanya dimulai,
aku sendirian.
Tanpa cermin.
Tanpa suara-suara dalam kepala.
Tanpa realita alternatif.
Hanya… aku.
---
Hari ini, aku bukan siapa-siapa.
Bukan versi masa depan.
Bukan bagian dari eksperimen.
Bukan jiwa pengganti.
Aku Arka.
Dan aku memilih untuk berhenti mencari tahu.
Karena kadang, kebenaran bukan untuk dipecahkan. Tapi… untuk dibiarkan pergi.
TAMAT