Sejak kenangan pertama terukir, Lana dan Rio adalah dua kutub magnet yang tak terpisahkan, seolah diciptakan untuk saling melengkapi.
Lana, dengan tawa renyahnya yang sering pecah seperti gelembung sabun di bawah terik matahari dan semangat petualang yang tak pernah padam, selalu menjadi matahari yang menarik Rio.
Rio adalah si pemikir tenang, yang sering tenggelam dalam samudra imajinasinya yang luas, namun selalu ditarik ke permukaan oleh energi riang Lana.
Mereka tumbuh di kompleks perumahan yang sama, gang-gang kecil menjadi saksi bisu petualangan masa kanak-kanak mereka. Di bawah rindangnya pohon mangga tua di ujung jalan, mereka berbagi bisikan rahasia, impian-impian liar, dan menjadi cermin bagi setiap fase kehidupan satu sama lain.
Persahabatan mereka bukan sekadar definisi "teman dekat" yang biasa. Ada lapisan keintiman yang jauh lebih dalam, sebuah benang tak kasat mata yang terjalin erat, yang tidak pernah mereka temukan pada orang lain.
Rio adalah pelabuhan pertama yang Lana tuju saat ia meraih prestasi, entah itu juara kelas atau memenangkan lomba lari antar-RT. Matanya akan berbinar, sorot bangga terpancar jelas, seolah keberhasilan Lana adalah keberhasilan mereka berdua.
Dan saat air mata tak terbendung membasahi pipi Lana karena kekecewaan atau patah hati, bahu Rio selalu menjadi tempat pertama yang ia cari, kokoh dan menenangkan.
Sebaliknya, Lana adalah satu-satunya yang memiliki kunci untuk menarik Rio keluar dari cangkang perenungannya. Dia akan menyeret Rio ke lapangan untuk bermain sepak bola, memaksanya mencoba makanan aneh di festival kuliner, atau mendorongnya untuk mendaftar klub debat, meskipun Rio sempat menolak keras.
Lana selalu merayakan setiap ide gila Rio seolah itu adalah penemuan terbesar di dunia, memberikan Rio validasi dan kepercayaan diri yang tak pernah ia duga bisa ia miliki. "Rio, idemu itu jenius! Kenapa tidak kau coba buat purwarupanya?" serunya suatu sore, ketika Rio bercerita tentang konsep gim baru yang ia rancang.
Rio hanya tersenyum tipis, matanya memancarkan rasa terima kasih yang mendalam.
Orang-orang di sekitar mereka sering kali salah paham, mengira hubungan mereka lebih dari sekadar persahabatan.
"Kalian pacaran, ya?" adalah pertanyaan klise yang tak terhitung jumlahnya mereka dengar, seringkali diiringi senyum menggoda dari para tetangga atau teman sekolah.
Mereka hanya akan tertawa, sebuah tawa lepas yang serasi.
Kadang, Lana akan menyikut Rio pelan di lengan, "Mana mau dia sama cewek kayak aku gini!" ujarnya dengan nada bercanda.
Rio akan membalas dengan senyum tipis, "Dia terlalu berisik untukku. Bisa pecah gendang telingaku."
Namun, di balik candaan ringan itu, ada pemahaman yang tak terucapkan, sebuah bahasa hati yang hanya mereka berdua pahami.
Mereka tahu, apa yang mereka miliki jauh melampaui label romantis konvensional yang coba disematkan orang lain.
Ini adalah ikatan yang lebih tua dari waktu, lebih kuat dari segala definisi.
Suatu hari yang mendung, Rio mendapatkan kabar yang mengubah segalanya. Sebuah surel yang mengumumkan ia berhasil meraih beasiswa penuh untuk melanjutkan studi di luar negeri, di sebuah universitas bergengsi. Lana adalah orang pertama yang ia beritahu. Rio menelepon Lana, suaranya dipenuhi kegembiraan yang meluap-luap.
"Lana, aku dapat beasiswa!" seru Rio, napasnya sedikit terengah-engah.
Hati Lana mencelos, sebersit rasa sakit yang menusuk tajam menembus dadanya, rasa kehilangan yang mendalam membayangi euforia sesaat. Namun, ia segera menepisnya, menelan gumpalan di tenggorokan, dan memaksakan senyum di bibir. Kebahagiaan Rio adalah prioritas.
"Rio! Ya Tuhan, serius? Selamat! Aku bangga banget sama kamu!" seru Lana, berusaha agar suaranya terdengar ceria, meskipun matanya mulai berkaca-kaca. Ia berlari ke rumah Rio, tak sabar ingin memeluk sahabatnya.
Setibanya di sana, Lana langsung menerjang Rio dalam pelukan erat. Air mata kebahagiaan dan kesedihan bercampur, membasahi bahu kemeja Rio.
"Kamu harus janji akan sering video call! Tiap hari kalau bisa!" ucap Lana, suaranya sedikit bergetar karena menahan tangis.
Rio membalas pelukannya tak kalah erat. "Tentu saja. Kamu yang pertama akan aku hubungi."
Perpisahan itu terasa berat, seolah sepotong jiwa Lana ikut terlepas dan terbang bersama pesawat yang membawa Rio. Jarak membentang ribuan kilometer, benua terpisah oleh samudra luas, namun ikatan mereka tak sedikit pun pudar.
Justru, jarak itu seolah memperkuat fondasi yang telah mereka bangun. Video call menjadi ritual wajib, sebuah janji suci yang tak boleh terlewat.
Mereka berbagi cerita tentang hari-hari mereka, tentang tantangan perkuliahan yang menumpuk, tentang impian-impian yang terus tumbuh dan bermekaran di benak masing-masing, bahkan tentang kencan-kencan canggung yang mereka alami.
"Tadi ada yang mengajakku makan malam, Rio," Lana bercerita suatu malam, wajahnya terlihat masam di layar ponsel. "Dia terus membicarakan dirinya sendiri. Aku hampir tertidur."
Rio tertawa. "Pantas saja. Kamu kan butuh pendengar yang baik."
Mereka adalah sounding board terbaik satu sama lain, telinga yang selalu sedia mendengar tanpa menghakimi, penasihat terpercaya yang bisa melihat ke dalam diri mereka tanpa filter. Dan yang paling penting, mereka adalah rumah bagi jiwa masing-masing.
Lana pernah mencoba menjalin hubungan serius dengan beberapa pria, begitu pula Rio dengan beberapa wanita. Namun, setiap kali ada masalah yang membelit, atau saat mereka merasa sangat bahagia dan ingin berbagi, orang pertama yang ingin mereka hubungi tetaplah satu sama lain.
Pasangan mereka sering kali merasa cemburu dengan intensitas persahabatan itu, tidak mengerti bagaimana dua orang bisa begitu terikat tanpa adanya romansa.
"Aku merasa kamu lebih dekat dengan Rio daripada aku," keluh Arya, mantan pacar Lana suatu kali, suaranya dipenuhi nada tidak suka. "Kalian ini sebenarnya apa?"
Lana hanya bisa menghela napas, lelah dengan pertanyaan yang sama.
Bagaimana menjelaskan bahwa hubungan dengan Rio adalah fondasi, udara yang ia hirup setiap hari, kekuatan yang menopang kehidupannya?
Sementara hubungan romantis adalah ornamen yang mempercantik hidupnya, lilin yang menerangi sudut-sudut tertentu, namun tidak bisa menggantikan fondasi itu sendiri.
"Rio itu sahabat terbaikku, Arya. Sudah seperti saudara sendiri," jelas Lana, suaranya tenang namun tegas. Arya hanya bisa menggelengkan kepala, ketidakmengertian masih terpancar jelas di matanya.
Waktu terus bergulir, secepat arus sungai.
Akhirnya, setelah bertahun-tahun di negeri orang, Rio kembali ke tanah air setelah menyelesaikan studinya. Lana adalah orang pertama yang menunggu di bandara, jantungnya berdegup tak karuan seperti genderang perang.
Pertemuan mereka di bandara terasa seperti pulang ke rumah setelah pengembaraan panjang.
Ketika mata mereka bertemu, senyum lebar langsung mengembang di bibir keduanya.
Lana berlari, menghambur ke pelukan Rio. Pelukan mereka lebih dari sekadar pelukan teman lama yang berpisah jauh; itu adalah pelukan dua jiwa yang telah menemukan kembali bagian yang hilang dari diri mereka, kepingan puzzle yang akhirnya kembali menyatu.
Aroma Rio, yang entah mengapa terasa begitu akrab, mengisi paru-paru Lana, membawa nostalgia dan rasa nyaman yang tak terlukiskan.
"Aku merindukanmu, berisik," bisik Rio di telinga Lana, suaranya parau.
Lana terkekeh, air mata kebahagiaan menetes di pipinya. "Aku juga merindukanmu, si kaku."
Mereka akhirnya menyadari, romansa persahabatan mereka adalah sesuatu yang langka dan berharga, sebuah permata tak ternilai.
Itu adalah ikatan yang tak perlu definisi atau label rumit. Itu adalah cinta yang murni, tanpa ekspektasi, tanpa tekanan, hanya saling menerima dan mendukung dalam segala bentuknya.
Mereka adalah jembatan di hati masing-masing, sebuah koneksi abadi yang akan selalu menghubungkan mereka, tak peduli seberapa jauh jarak membentang atau seberapa banyak perubahan yang terjadi dalam arus kehidupan.
Mereka adalah bukti nyata bahwa cinta sejati tidak selalu tentang
gairah yang membara atau label romantis.
Kadang, cinta sejati adalah tentang kehangatan yang konstan, pemahaman yang mendalam, dan kehadiran yang tak tergantikan, seperti napas yang selalu ada, menopang kehidupan.