1
Dewi Santika menatap pantulan dirinya di cermin, memutar-mutar rambutnya yang sudah dicat cokelat gelap. Lumayan. Kerutan halus di sudut mata? Ah, itu disebut "garis tawa" oleh Bu Ida, asistennya yang setia. Garis tawa yang muncul karena terlalu banyak tertawa, katanya. Dewi mendengus dalam hati. Tawa macam apa yang bisa membuat garis permanen begitu banyak? Meskipun kulit wajahnya masih kencang dan matanya memancarkan energi, ia tahu, garis itu adalah pengingat usia tiga puluh enam tahun yang melaju cepat seperti kereta api ekspres, tanpa rem. Seringkali, orang-orang terkejut mengetahui usianya yang sebenarnya.
"Kamu serius udah kepala tiga? Kirain masih 20-an akhir!" adalah pujian sekaligus pengingat yang sering ia dengar.
Dewi adalah Kepala Divisi Pemasaran di PT Maju Mundur Sejahtera, sebuah jabatan yang diraihnya setelah dua belas tahun mengabdi dengan dedikasi penuh dan keringat bercucuran. Ia mulai dari bawah, sebagai fresh graduate yang lugu, berjuang melalui tumpukan laporan, rapat-rapat maraton, dan deadline yang mencekik. Kini, ia disegani di kantor, dikagumi junior, dan bahkan ditakuti oleh vendor-vendor nakal yang sering mencoba mengakali anggaran. Hidupnya tertata rapi, terencana, dan penuh dengan target-target yang harus dicapai. Namun, di balik jas kerja rapi, wajah tegas yang selalu siap untuk negosiasi, dan jadwal yang padat merayap, Dewi adalah seorang wanita profesional yang sesekali merenungi kenapa akhir pekan seringnya dihabiskan dengan tumpukan novel misteri, sesi facial mandiri yang berantakan, atau binge-watching serial drama Korea. Bukan kencan romantis yang berakhir dengan senyum manis dan janji-janji masa depan. Ah, biarlah. Prioritas. Karier adalah nomor satu. Baginya, itu bukan penolakan terhadap cinta, melainkan sebuah pilihan rasional. Setidaknya, itulah yang selalu ia yakinkan pada dirinya sendiri.
Pagi itu, seperti biasa, Dewi sudah rapi dengan kemeja silk abu-abu dan rok pensil hitamnya yang menonjolkan siluet tubuh proporsionalnya. Postur tubuhnya tegak, dengan bahu yang selalu siap memikul tanggung jawab. Aroma kopi hitam pekat menguar dari cangkir di mejanya, berpadu dengan aroma kertas baru dari berkas-berkas yang harus ia pelajari. Ia mengecek briefing untuk rapat pagi di ponselnya, jemarinya lincah menggulir layar, sesekali melirik iklan krim anti-aging dengan model berwajah porselen di feed media sosialnya.
"Masa sih harus pakai ini juga? Apa aku sudah sekerutan itu?" gumamnya, lalu segera menggeleng, menepis pikiran remeh tersebut.
Penampilan luarnya memang mendukung asumsi bahwa usianya masih muda, tapi ia tahu betul berapa angka yang tertera di kartu identitasnya. Ia tidak punya waktu untuk hal-hal sepele seperti itu.
Sampai… sebuah ketukan pelan di pintu, diikuti dengan daun pintu yang terbuka.
Seorang pemuda berdiri di ambang pintu, tinggi tegap, dengan kemeja biru muda yang rapi namun terasa santai, seolah baru saja disetrika tapi sengaja dilepaskan dua kancing atasnya. Rambutnya sedikit gondrong di bagian belakang, namun tertata apik ke samping, membuat garis wajahnya terlihat jelas. Alisnya tebal, hidungnya mancung, dan matanya… hitam kelam dengan binar yang tak bisa Dewi definisikan. Wajahnya… segar. Terlalu segar untuk ukuran kantor ini yang biasanya dipenuhi wajah-wajah letih deadline dan lingkaran hitam di bawah mata.
Dewi mendongak dari tabletnya, pandangannya sedikit menyipit.
"Permisi, Bu Dewi?" Suaranya ramah, sedikit berat, namun ada nada ceria yang samar, seperti alunan melodi pop yang baru dirilis.
"Ya, ada apa?" Dewi berusaha terdengar profesional, menyembunyikan rasa penasaran atas kemunculan tak terduga itu. Ia merasa sedikit terusik oleh aura pemuda itu yang terlalu terang di pagi yang mendung ini.
"Saya Arjun Mahesa, Bu. Pegawai baru di Divisi Pemasaran," ujarnya, melangkah masuk dengan langkah ringan dan tersenyum. Senyum yang lebar, menampilkan deretan gigi rapi, seputih iklan pasta gigi, lengkap dengan lesung pipit samar yang muncul di pipi kanannya.
"Pak Direktur meminta saya laporan ke Ibu untuk bimbingan awal."
Dewi menatapnya lebih saksama. Arjun? Oh, ini yang kemarin Bu Ida sebut sebagai bibit unggul itu. Bu Ida memang sering berlebihan dalam menilai orang, terutama kaum adam yang berparas lumayan. Dewi mengira Bu Ida melebih-lebihkan, mungkin sekadar melempar candaan agar Dewi tertarik ikut gosip. Ternyata tidak. Anak ini… lumayan juga seleranya Pak Direktur dalam merekrut. Dari postur tubuhnya yang atletis dan wajahnya yang belum menunjukkan tanda-tanda stres pekerjaan, Dewi memperkirakan usianya sekitar dua puluh enam tahun. Mungkin masih semangat-semangatnya kerja, pikirnya. Belum terkontaminasi asam lambung kronis akibat tekanan target.
"Oh, Arjun. Baik, silakan duduk," Dewi menunjuk kursi di hadapannya. "Jadi, Pak Direktur ingin kamu memahami struktur organisasi dan proyek-proyek yang sedang berjalan. Kamu bisa mulai dengan membaca laporan triwulan ini—"
"Maaf, Bu Dewi," potong Arjun cepat, tanpa terkesan tidak sopan, justru dengan senyum semakin mengembang. Matanya menatap Dewi lekat, seolah tak ada yang lebih menarik di seluruh ruangan itu. Ada binar aneh di sana, yang Dewi tafsirkan sebagai antusiasme seorang pegawai baru yang haus ilmu, yang ingin cepat belajar dan membuktikan diri. Ia sudah sering bertemu tipe seperti ini.
"Saya sudah baca laporan-laporan itu semalam. Tapi saya rasa, akan lebih efektif kalau saya dijelaskan langsung oleh Bu Dewi. Apalagi, Bu Dewi kan sudah dua belas tahun di sini. Pasti insights-nya jauh lebih keren daripada sekadar angka di laporan."
Dewi terbatuk kecil, tersipu tipis. Pipinya sedikit menghangat. Ia senang dipuji, tentu saja. Pujian dari junior selalu terasa manis, apalagi jika disampaikan dengan mata berbinar seperti itu.
"Baiklah. Kalau begitu, kita bisa atur jadwal. Bagaimana kalau lusa pagi?"
"Lebih cepat lebih baik, Bu Dewi," Arjun bersandar di kursinya, dengan ekspresi santai yang bagi Dewi terasa… agak sok akrab untuk seorang bawahan baru. Ini melanggar protokol formalitas kantor yang selama ini ia junjung tinggi.
"Bagaimana kalau makan siang bersama saja, Bu? Sambil membahas pekerjaan, dan saya bisa belajar banyak dari Ibu. Nanti saya traktir kopi susu kekinian yang lagi viral itu."
Jantung Dewi sedikit berdebar, bukan karena romansa, melainkan karena sedikit kaget dan geli dengan keberanian anak baru ini. Berani juga dia langsung minta ditemani makan siang di hari pertama. Anak muda zaman sekarang memang beda. Mereka lebih berani, lebih lugas, dan seolah tak punya batasan dalam berinteraksi.
"Makan… makan siang? Tapi—"
"Atau, jika Bu Dewi sibuk, saya bisa bawakan makan siang ke ruangan Ibu. Nanti saya temani Bu Dewi makan, sambil Bu Dewi menjelaskan," Arjun tersenyum, kali ini lebih manis, lesung pipitnya semakin dalam. Senyum yang tulus, dan Dewi merasakannya sebagai bentuk penghormatan, semacam dedikasi total dari pegawai baru yang ingin cepat menyerap ilmu dari seniornya.
"Bagaimana?"
Dewi menelan ludah. Ini anak apa modusin bosnya ya? Atau memang dia polos banget sampai tidak tahu batas profesionalisme? Wajah Dewi mungkin sedikit memerah karena kaget dan bingung harus menanggapi apa, bukan karena baper. Ia mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menolak tanpa terdengar sombong atau galak.
"Ehm… kita bahas itu nanti ya, Arjun. Sekarang, kamu bisa mulai dengan membaca berkas-berkas di sana." Dewi menunjuk tumpukan berkas yang menjulang setinggi gunung Everest di sudut ruangan.
"Kalau ada yang tidak mengerti, jangan sungkan bertanya."
"Tentu, Bu Dewi. Saya pasti akan bertanya. Banyak sekali," Arjun bangkit, senyumnya tidak luntur sedikit pun. Matanya kembali menatap Dewi sejenak sebelum beranjak menuju tumpukan berkas. Ia melambai kecil sebelum benar-benar keluar dari ruangan.
"Sampai nanti, Bu Dewi."
Setelah pintu ruangannya tertutup rapat, Dewi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis.
"Ada-ada saja anak baru itu," gumamnya.
Keberanian Arjun sedikit mengusik ketenangannya, tapi lebih ke arah ini anak lucu juga daripada ini anak bahaya. Ia kembali fokus pada tabletnya, namun senyum geli itu masih sesekali muncul. Otaknya memutar ulang percakapan tadi, mencerna setiap kata dan ekspresi Arjun.
Saat jam makan siang tiba, Dewi langsung menceritakan kejadian itu pada Bu Ida dan Bima, dua rekannya yang paling dekat dan selalu jadi pendengar setia curhatannya. Mereka sedang makan di kantin kantor, berbagi seporsi siomay dan es teh manis.
"Gila, Bu Ida! Si Arjun itu bener-bener ya!" seru Dewi, diselingi tawa kecil yang tulus.
"Berani banget dia langsung ngajak makan siang, terus nawarin kopi susu viral! Mana aku nggak tahu yang mana kopi susu viral! Jangan-jangan kopi susu yang rasanya kayak sabun cuci piring!"
Bu Ida, yang sedang asyik menyeruput es teh manisnya, menatap Dewi dengan senyum penuh arti, senyum yang sudah Dewi hapal betul sebagai tanda akan ada ledekan.
"Kenapa, Dewi? Dia naksir kamu kali? Udah lama lho kamu nggak ada yang deketin. Lagian, kamu kan kelihatan masih muda, cocok lah sama brondong gemes begitu."
"Naksir apanya! Ngaco kamu, Bu! Dia cuma excited sebagai pegawai baru! Atau dia ngira aku ini Ibu Peri penolong, makanya dia naksir sama insights kerjaku!" Dewi terkekeh, mencoba menepis kemungkinan yang Bu Ida lontarkan.
"Dia kan masih seumuran anak magang, Bu. Kalau pacaran, dikira aku kakaknya. Kakak tiri!"
Bima, yang duduk di seberang, menyenggol Dewi pelan dengan sikunya. "Jangan salah, Bu Dewi. Aura mature itu lagi hype sekarang. Apalagi sama yang mapan kayak Bu Dewi. Banyak lho yang cari wanita matang. Apalagi yang kayak Bu Dewi, keliatan 20-an akhir."
"Mapan sih mapan, Bim. Tapi mapan kan nggak berarti mau sama brondong!" Dewi menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Lagian, dia itu masih bocah. Obrolannya pasti seputar game online atau konser musik yang aku nggak tahu siapa penyanyinya. Nggak nyambung sama obrolan cicilan KPR dan harga minyak goreng yang lagi naik daun."
Ia tahu Bima bermaksud memuji, namun perbedaan usia itu nyata.
Bu Ida tertawa terbahak-bahak. "Ya makanya, coba deh diajak ngobrol serius. Siapa tahu dia punya insights baru soal cicilan KPR. Atau mungkin dia bisa nawarin diskon game online buat ponakanmu."
"Nggak, ah!" tegas Dewi, menyuapkan sepotong siomay ke mulutnya. Ia bersikeras pada pendiriannya, mencoba menyingkirkan sedikit pun keraguan. Tapi dalam hatinya, ada sedikit rasa ingin tahu yang mengusik. Anak ini memang polos atau memang sengaja menggoda ya? Dan kenapa ia jadi memikirkan tawaran kopi susu viral yang tidak ia ketahui itu? Ah, sudahlah. Pasti cuma sopan santun belaka. Atau mungkin Arjun memang terlalu bersemangat sebagai pegawai baru. Itu saja. Tidak lebih.
Tapi dalam pikirannya ia telah memutuskan. Memutuskan untuk mencoba mencari tahu jenis kopi susu viral itu nanti malam di internet.
2
Pagi berikutnya, rutinitas Dewi berjalan seperti biasa. Ia tiba di kantor lebih awal, menyelesaikan beberapa email penting, dan mempersiapkan diri untuk rapat berikutnya. Namun, ada sedikit perbedaan. Pikiran tentang kopi susu viral yang disebut Arjun kemarin sesekali melintas di benaknya, disusul dengan senyum geli. Ia bahkan sempat membuka mesin pencari di ponselnya semalam, mencari tahu tentang tren kopi kekinian, hanya untuk memastikan ia tidak terlalu ketinggalan zaman.
Sekitar pukul sepuluh pagi, Dewi merasa tenggorokannya kering. Ia butuh asupan kafein kedua untuk menjaga otaknya tetap tajam. Dengan cangkir favoritnya yang bertuliskan Queen of Marketing di tangan, ia melangkah menuju pantri.
Pantri di PT Maju Mundur Sejahtera adalah ruang komunal yang cukup luas, dilengkapi dengan mesin kopi otomatis, dispenser air, kulkas, dan beberapa meja kecil. Biasanya, di jam-jam seperti ini, pantri cukup sepi. Namun, pagi itu, Dewi melihat sesosok tubuh yang familiar sedang membungkuk di depan mesin kopi, tampak kesulitan.
Itu Arjun.
Ia mengenakan kemeja kotak-kotak biru yang digulung lengannya hingga siku, memperlihatkan lengan yang terbentuk. Rambutnya yang sedikit gondrong terlihat lebih berantakan dari kemarin, seolah ia baru saja bangun tidur atau habis menggaruk kepalanya karena frustrasi.
"Aduh, kok susah banget sih ini?" gumam Arjun pada dirinya sendiri, menekan-nekan tombol mesin kopi dengan ekspresi serius.
Dewi mendekat, menahan senyum. "Ada masalah, Arjun?"
Arjun terlonjak kaget, menoleh cepat. Lesung pipitnya muncul sekilas saat ia tersenyum canggung.
"Eh, Bu Dewi. Ini… mesin kopinya agak rewel kayaknya. Atau saya yang belum paham cara pakainya." Ia menggaruk tengkuknya.
"Saya mau bikin kopi susu, tapi kok keluarnya air doang ya?"
Dewi melirik mesin kopi. "Oh, itu. Kamu harus pilih menu 'Latte' atau 'Cappuccino' dulu, baru masukkan bubuk kopinya. Kalau 'Espresso' memang cuma air pekatnya saja."
"Oh, gitu ya?" Arjun mengernyitkan dahi, lalu tertawa kecil.
"Pantesan. Saya kira semua kopi susu itu sama. Ini mesinnya canggih banget, Bu. Di rumah saya cuma pakai kopi sachet."
Dewi tersenyum tipis. "Mungkin kamu bisa baca petunjuknya dulu. Ada di samping mesin."
"Sudah, Bu. Tapi saya lebih suka belajar langsung dari ahlinya," Arjun menatap Dewi dengan mata berbinar lagi, binar yang kini Dewi sadari bukan hanya antusiasme, tapi juga sedikit… nakal.
"Bu Dewi mau bikin kopi juga? Biar saya bantu sekalian."
"Tidak perlu. Saya kopi hitam saja," jawab Dewi, mengambil posisi di samping Arjun, sedikit menjaga jarak. Ia memasukkan cangkirnya ke bawah keran kopi hitam.
"Oh, kopi hitam. Kopi orang dewasa ya, Bu?" Arjun terkekeh, lalu menekan tombol "Latte" dengan percaya diri. "Saya sih tim kopi susu. Biar tetap manis kayak senyum saya."
Dewi hampir tersedak kopi hitamnya. Ia melirik Arjun, yang kini sedang sibuk memasukkan bubuk kopi ke dalam mesin, tanpa menyadari (atau pura-pura tidak menyadari) efek ucapannya. Pipinya kembali menghangat. Ini anak memang sengaja menggoda?
"Kamu ini, ada-ada saja," komentar Dewi, berusaha terdengar datar.
Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh dari mesin kopi. Bukan suara gemuruh biasa, melainkan seperti mesin yang tersedak. Kopi susu yang seharusnya keluar dengan lancar, kini menyembur ke segala arah. Arjun, yang berdiri terlalu dekat, tak sempat menghindar. Kemeja kotak-kotaknya kini dihiasi bercak-bercak cokelat susu, dan beberapa tetes bahkan mengenai rambutnya.
"Astaga!" seru Arjun, terkejut.
Dewi spontan melangkah mundur, untungnya ia tidak terkena semburan. Ia menatap Arjun yang kini tampak seperti lukisan abstrak kopi susu.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Dewi, menahan tawa yang hampir meledak. Wajah Arjun yang tadi penuh percaya diri, kini berubah panik.
"Nggak apa-apa sih, Bu. Cuma… kemeja saya jadi motif baru," Arjun mencoba tersenyum, tapi senyumnya terlihat sedikit getir. "Kayaknya mesinnya nggak suka saya puji diri sendiri."
Dewi akhirnya tidak bisa menahan tawanya. Tawa renyah yang jarang ia tunjukkan di kantor. Ia mengambil beberapa tisu dari dispenser di dekatnya dan menyodorkannya pada Arjun.
"Bersihkan dulu. Nanti saya panggil teknisi untuk mengecek mesinnya."
Arjun menerima tisu itu, lalu mulai mengelap kemejanya yang basah. "Maaf ya, Bu Dewi. Jadi berantakan."
"Tidak apa-apa. Lain kali, baca petunjuknya lebih teliti," kata Dewi, masih dengan sisa-sisa tawa. Ia melihat Arjun mengelap pipinya, dan lesung pipitnya masih terlihat samar di balik bercak kopi.
"Atau, lain kali saya minta Bu Dewi yang bikinkan saja. Biar nggak kejadian lagi," Arjun menatap Dewi, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius, namun matanya masih menyimpan binar jenaka.
"Saya yakin, kopi buatan Bu Dewi pasti lebih enak dan nggak akan nyembur."
Dewi terdiam sejenak, menatap mata Arjun. Ada sesuatu di tatapannya yang membuat Dewi merasa… sedikit berbeda. Bukan lagi sekadar rasa geli atau kaget, tapi ada semacam getaran halus yang menjalar di dadanya. Getaran yang sudah lama tidak ia rasakan.
"Sudah sana, bersihkan dirimu," Dewi berusaha mengendalikan suaranya agar tetap profesional. "Nanti terlambat rapat."
Arjun mengangguk, masih dengan senyum tipis. "Siap, Bu Dewi. Terima kasih banyak."
Ia berbalik, melangkah keluar dari pantri, meninggalkan aroma kopi dan sedikit kekacauan, serta sebuah pertanyaan kecil di benak Dewi, apakah ia baru saja digoda oleh seorang brondong yang polos?
Dewi menatap cangkir kopinya yang masih mengepul. Kopi hitamnya terasa sedikit lebih manis pagi itu.
3
Setelah insiden kopi susu di pantri, Dewi mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. Ia kembali fokus pada pekerjaannya, tenggelam dalam laporan dan strategi pemasaran. Namun, setiap kali ia melihat Arjun melintas di koridor atau mendengar suaranya dari bilik lain, senyum tipis tak bisa ia tahan. Anak itu memang punya caranya sendiri untuk mengusik ketenangan.
Siang itu, Dewi memutuskan untuk makan siang di kafe kecil di lantai dasar gedung kantor. Ia ingin menghindari keramaian kantin dan menikmati makan siangnya dengan tenang sambil membaca berita. Ia memesan salad ayam panggang dan segelas air lemon, mencari meja kosong di sudut yang sedikit tersembunyi.
Baru saja ia menyuapkan sesendok salad, sebuah bayangan jatuh di mejanya. Dewi mendongak, dan di sana, berdiri Arjun, dengan senyum lebar yang sama seperti kemarin, lesung pipitnya terlihat jelas. Ia membawa nampan berisi semangkuk mie ayam dan segelas es teh manis.
"Bu Dewi!" seru Arjun, antusias.
"Kebetulan sekali! Saya kira Bu Dewi makan di kantin."
Dewi menatapnya, sedikit terkejut.
"Arjun? Kamu… kenapa di sini?"
"Saya lagi pengen mie ayam, Bu. Terus lihat Bu Dewi di sini, jadi saya samperin deh," jawabnya santai, lalu tanpa menunggu persetujuan Dewi, ia meletakkan nampannya di meja yang sama, tepat di hadapan Dewi. "Boleh gabung kan, Bu?"
Dewi ingin menolak, mengatakan bahwa ia sedang butuh waktu sendiri, atau bahwa ini melanggar etika profesional. Tapi entah kenapa, kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Senyum Arjun terlalu tulus, atau setidaknya, terlihat tulus.
"Ehm… silakan," jawab Dewi akhirnya, sedikit canggung.
Arjun langsung duduk, tampak nyaman.
"Wah, Bu Dewi makan sehat sekali. Saya mah tim nasi dan mie. Biar kuat menghadapi deadline." Ia tertawa kecil.
"Ngomong-ngomong, mesin kopi tadi pagi sudah beres, Bu?
"Belum. Saya sudah minta teknisi untuk mengeceknya," jawab Dewi, mencoba mengalihkan pandangan dari mie ayam Arjun yang terlihat sangat menggoda.
"Syukurlah. Saya jadi nggak enak, Bu. Gara-gara saya, mesinnya ngambek," Arjun menyuapkan mie ayamnya. "Tapi serius, Bu. Saya nggak sengaja. Saya kira semua kopi susu itu sama."
"Iya, saya tahu," Dewi tersenyum tipis. "Lain kali, perhatikan petunjuknya."
"Siap, Bu Dewi!" Arjun mengacungkan jempol. "Ngomong-ngomong, Bu Dewi sudah lama ya kerja di sini? Dua belas tahun itu kan bukan waktu yang sebentar."
"Cukup lama," jawab Dewi singkat. Ia tidak ingin terlalu banyak membahas masa lalunya dengan pegawai baru.
"Pasti banyak pengalaman seru dong, Bu? Saya dengar, Bu Dewi itu legenda di divisi pemasaran. Konon katanya, Bu Dewi pernah menyelamatkan proyek besar yang hampir gagal total?" Arjun menatap Dewi dengan mata berbinar, penuh kekaguman.
Dewi merasa pipinya menghangat lagi.
Pujian dari Arjun, entah kenapa, terasa berbeda. Lebih personal.
"Itu cuma cerita lama, Arjun. Semua orang juga pernah punya momen seperti itu."
"Tapi nggak semua orang bisa jadi Kepala Divisi Pemasaran di usia Bu Dewi sekarang," sahut Arjun cepat. "Saya salut banget sama Bu Dewi. Bisa seprofesional itu, tapi tetap kelihatan… muda."
Dewi hampir menjatuhkan garpunya. Kata "muda" itu, diucapkan dengan penekanan yang pas, membuat Dewi merasa sedikit salah tingkah. Ia tahu Arjun memuji, tapi ada nada lain di sana, nada yang membuat Dewi bertanya-tanya apakah ini memang pujian tulus atau bukan.
"Terima kasih," Dewi berdeham. "Kamu sendiri, kenapa memilih Maju Mundur Sejahtera? Bukannya anak muda sekarang lebih suka startup yang lebih dinamis?"
Arjun tersenyum. "Justru itu, Bu. Saya lihat PT Maju Mundur Sejahtera ini punya pondasi yang kuat, dan saya yakin bisa belajar banyak dari para senior yang berpengalaman, terutama dari Bu Dewi."
Ia menatap Dewi lagi, tatapannya begitu intens hingga membuat Dewi sedikit gelisah. "Saya ingin jadi legenda juga, seperti Bu Dewi."
Dewi hanya bisa tersenyum tipis, tidak tahu harus merespons apa. Percakapan ini terasa semakin menjauh dari batas profesionalisme yang ia jaga.
Setelah makan siang yang terasa lebih panjang dari biasanya, Dewi dan Arjun berjalan beriringan menuju lift. Saat mereka menunggu, seorang rekan kerja Dewi, Pak Herman dari Divisi Keuangan, melintas.
"Wah, Bu Dewi, makan siang sama siapa nih? Anak baru ya?" sapa Pak Herman sambil tersenyum penuh arti.
"Iya, Pak Herman. Ini Arjun, pegawai baru di Pemasaran," jawab Dewi, berusaha terdengar biasa saja.
Arjun membungkuk sopan. "Arjun Mahesa, Pak."
"Oh, ini yang katanya bibit unggul itu ya? Bagus, bagus. Belajar yang banyak dari Bu Dewi ya, Jun. Beliau ini mentor terbaik," kata Pak Herman sambil menepuk bahu Arjun, lalu berlalu.
Dewi melirik Arjun. "Lihat kan? Semua orang sudah tahu kamu bibit unggul."
Arjun terkekeh. "Berarti saya harus membuktikan diri dong, Bu. Apalagi sama mentor sehebat Bu Dewi."
Lift terbuka. Mereka masuk, hanya berdua. Keheningan singkat menyelimuti mereka, hanya suara pendingin ruangan dan musik lift yang samar terdengar. Dewi menekan tombol lantai ruangannya.
Ia berusaha keras untuk tidak membalas tatapan Arjun yang entah mengapa terasa lebih lama dari biasanya.
Saat pintu lift terbuka, Arjun melangkah keluar lebih dulu, lalu menahan pintu agar Dewi bisa keluar.
"Sampai nanti, Bu Dewi," katanya, dengan senyum yang kembali lebar, lesung pipitnya terlihat jelas.
"Jangan lupa, kalau ada kesulitan, saya siap membantu. Termasuk kalau ada masalah sama kopi susu. Atau kalau Bu Dewi mau belajar bikin kopi susu viral."
Dewi hanya mengangguk, lalu bergegas menuju ruangannya. Ia merasa jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Arjun ini… gak sengaja atau memang sengaja menggoda? Pertanyaan itu kembali berputar di benaknya, kini dengan intensitas yang lebih kuat. Ia tahu, ia harus menjaga jarak. Tapi, entah kenapa, rasanya semakin sulit. Dan yang lebih mengganggunya, adalah pertanyaan mengapa ia mulai penasaran seperti apa rasa kopi susu viral yang dimaksud Arjun.
to be continued 😂