"KENAPA AYAH MENUMBALKAN KITA SEMUA?!!"
"Tenanglah Rey. Kendalikan suaramu."
Di dalam gudang kayu yang terbengkalai.
Berdiri dua orang remaja sedang mengintip sesuatu di gudang itu.
Rey Sukila dan kakaknya Deku Sukila, menyaksikan hal yang sama sekali tidak mereka duga akan terjadi dalam hidup mereka.
Air mata luluh tak bersuara jatuh membasahi sarang semut hitam.
Mereka menyaksikan ritual tidak beradab.
Dua dari lima anggota keluarganya ditumbalkan untuk sesembahan iblis penglaris.
"Ibu..."
Nyawanya sudah dicabut dengan sebilah pisau yang masih tertempel di leher.
[Mama aku mau eskrim saat di pantai nanti ya~] Kalimat manis terakhir yang diucapkan sang adik, Suba Sukila.
Saat itu kami semua tidak sadar bahwa Ayah membawa mobil ini ke dalam hutan.
Katanya ini merupakan jalan pintas agar kita semua sampai ke pantai lebih cepat.
Perjalanan menuju liburan sekolah yang sangat dinantikan itu ternyata tidak mulus.
Tiba-tiba saja mobil berhenti bergerak dan mesin tiba-tiba mati.
"Di tengah hutan begini malah mogok, haduh..." Ucap Ayah dengan nada kecewa.
Aku dan kakak disuruh berjalan ke bengkel yang kami lewati sebelum mobil ini mogok.
"Ayah akan coba perbaiki sendiri dulu. Nanti kalau bisa nyala, Ayah jemput."
Sesampainya di sana, apes sekali, bengkelnya sudah tutup beberapa menit yang lalu.
"Yasudahlah, kita balik saja."
Tapi. Saat kembali ke mobil, tidak ada siapa-siapa.
Bingung dan bengong menyelimuti kita berdua.
Setelah mondar-mandir, kami melihat ada jalan setapak yang menuju masuk ke dalam hutan lebih dalam.
Langkah demi langkah menapak. Kami sedikit was-was takut ada serangan hewan buas.
"Ah, lihat ada bangunan di sana."
Tanpa mikir panjang menuruti naluri alaminya, mereka diam-diam melihat-lihat sekitaran gudang.
Dan— Sampailah Rey mengintip ke dalam.
Ada Ayah sedang bertapa (mungkin) dan dihadapannya tergeletak dua orang dengan darah berserakan.
IBBBBU DDANNNN ADDDDDIKKKKU TELLLAHHH DIBUNNNUHHH
"Takkan kubiarkan begitu saja."
"Apa yang akan kau lakukan?"
Adikku Rey, diam-diam menyelinap masuk dan berhasil mendekat tepat di belakang Ayah.
KEKKK—
"REY!"
Dia mengunci leher Ayah dengan kedua tangannya sampai lemas tak berdaya.
"APA YANG AYAH LAKUKAN?"
Aku berteriak di telinga ayah sambil mencekiknya.
Kakak yang melihat dari luar sepertinya juga akan menyusul masuk ke dalam.
(Mungkin Kakak akan melerai kami, tapi yang terpenting aku tak akan melepaskan ini dengan mudah.)
PLAK—
Tendangan keras Deku mendarat di pipi Ayah.
Kami berdua memang sudah merasa tidak enak sedari awal rencana liburan ini.
Jarang sekali Ayah ingin berkumpul bersama.
Dia selalu pulang malam seolah-olah hanya numpang tidur saja.
Tiap hari Ibu selalu diomelin dan dibentaknya.
Bahkan pada anaknya sendiri tidak pernah bicara santai.
Tapi saat ini... Sudah kelewatan.
Tetangga bilang hal-hal tidak mengenakan pada keluarga kami. Banyak ujaran jelek sampai di telinga kami.
Malam sebelum liburan ini Ayah sempat teleponan dengan orang asing di WC.
"Ini ada telpon tanpa nama"
Setelah mengambil handphone itu, dia langsung masuk ke WC.
Aku sedikit mendenger percakapannya saat melewati WC. [Selanjutnya keluargamu]
Aku menceritakan itu pada Kakak dan aku juga memperlihatkan foto dari isi tas yang Ayah bawa. Tas itu terbuka di ruang tamu, isinya seperti alat-alat dukun.
Dan lebih kagetnya, terdapat kertas yang dapat dilihat dari mapmap bening. [Iblis Pelaris]
Keanehan itu membuat kami berdua curiga, tapi pada akhirnya tidak ada yang dapat kami lakukan.
Kejadiannya begitu cepat, semuanya telah terjadi.
Kepalaku... Rasanya... Campur aduk.
"SIALAN!"
Kakak memasukkan semut hitam beserta sarangnya ke dalam mulut Ayah yang terbuka itu.
Kakak sama sekali tidak meleraiku, malahan dia ikut 'menyiksa'.
Beberapa jam berlalu, akhirnya kami berdua sudah kehabisan tenaga.
Ayah telah kehilangan nyawanya.
Sebenarnya itu saja tidak cukup, kami masih belum puas. Tapi ini sudah berakhir.
Saat Ayah menghembuskan napas terakhirnya dan tidak ada lagi reaksi darinya... //kami berdua tertawa//
Layaknya orang gila tanpa akal.
Kami kehilangan akal sehat.
Semua ini berakhir.
Kakak menempelkan pisaunya ke leherku, dan juga sebaliknya.
Kami menghitung mundur. Dan————
———————
——————
—————
————
———
——
—
Ternyata balas dendam hanya membuatku lebih jatuh.