Katrina tidak pernah merasa menjadi remaja biasa. Sejak kecil, dia sudah sering dianggap aneh—bukan karena rambutnya yang acak-acakan atau cara bicaranya yang blak-blakan, tapi karena matanya.
Mata ketiganya.
Bukan mata fisik, tentu. Tapi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dokter, guru, bahkan ibunya sendiri. Mata yang membuatnya melihat apa yang tidak bisa dilihat orang lain. Sosok-sosok samar, wajah-wajah pucat, kadang menakutkan... kadang juga hanya duduk diam menatap langit.
Katrina hidup dalam dua dunia—dunia manusia, dan dunia yang hanya bisa dia lihat sendiri.
Dan itu melelahkan.
Setelah pindah ke SMA Negeri 13, ia berharap bisa mulai hidup baru. Hidup yang lebih tenang, tanpa suara-suara yang memanggil dari balik jendela kelas. Tapi sejak hari pertama, harapannya itu langsung dikubur.
Kelas X IPA 2. Deretan bangku dua-dua. Katrina duduk di kursi dekat jendela. Bangku sebelahnya kosong.
Atau… seharusnya kosong.
"Aku Ray," suara cowok di sebelahnya pelan.
Katrina menoleh. Cowok itu pucat, tapi tampan. Matanya teduh, seragam putihnya sedikit pudar. Tidak ada nama di dadanya.
"Katrina," jawabnya datar.
Tak ada yang aneh. Kecuali satu hal.
Saat guru masuk dan membagikan daftar absen, nama Ray tak ada.
Saat guru mengabsen, Katrina sendiri yang dipanggil terakhir.
"Bu, anak sebelah saya belum dipanggil," katanya.
Bu Rini menatap bangku itu. Kosong.
"Sebelahmu kosong, Nak. Kamu duduk sendiri, kan?"
Katrina diam. Ini bukan pertama kalinya. Tapi tetap saja, dada kirinya terasa sesak.
Ray masih duduk di sana. Menatap papan tulis. Seolah... dia memang ada.
Biasanya Katrina judes. Tapi kali ini dia merasa seperti balik ke usia tujuh tahun. Gemetar. Tidak bisa tidur malam. Ia tahu Ray bukan manusia biasa. Tapi entah kenapa, Ray tidak terasa mengancam. Ia tidak menyeramkan seperti hantu-hantu yang biasa Katrina lihat.
Dia hanya… sedih.
Hari-hari berlalu. Katrina semakin penasaran. Setiap jam pelajaran, Ray duduk di sana. Kadang dia ikut nyontek, kadang bisik-bisik jawab soal. Lucunya, Katrina merasa lebih nyaman sama Ray daripada sama siswa lain yang nyata.
Suatu siang, saat semua teman sudah keluar kelas, Katrina mendekat.
"Kamu siapa sebenarnya?"
Ray menunduk. Tangannya menggambar sesuatu di meja—bentuk angka 13.
"Aku... siswa yang gak lulus daftar hadir," jawabnya ringan. Tapi wajahnya murung.
Katrina menggertak, "Lu meninggal, ya?"
Ray diam cukup lama, lalu mengangguk.
"Setahun lalu. Hari pertama sekolah. Aku tabrakan motor depan gerbang."
Katrina membeku. Ia ingat, tahun lalu SMA ini sempat viral di medsos karena kecelakaan fatal. Tapi dia gak pernah menyangka… siswa itu ternyata masih di sini.
"Lu... kenapa belum pergi?" bisiknya.
Ray menatapnya, mata itu seperti kabut.
"Aku belum sempat sekolah."
Katrina tidak tahu kenapa dia malah makin dekat dengan Ray. Tapi setiap hari, ia merasa lebih hangat saat Ray duduk di sebelahnya. Mereka cerita banyak. Tentang guru killer, tentang makanan kantin yang rasanya kayak kapur, dan tentang hidup—dan mati.
"Kamu tahu rasanya pengin banget jadi normal?" tanya Katrina satu sore.
Ray mengangguk. "Kamu pengin gak lihat yang kayak aku?"
"Kadang iya," jawab Katrina. "Capek. Semua orang bilang aku aneh. Tapi kalau aku gak bisa lihat kamu... mungkin kamu bakal kesepian selamanya."
Ray tersenyum tipis. “Makanya aku senang bisa duduk sama kamu.”
Mereka tertawa. Hanya dua anak SMA. Satu hidup, satu tidak.
Suatu hari, seluruh sekolah heboh. Katrina pingsan di aula.
Waktu sadar, dia ada di UKS. Guru-guru bisik-bisik. Beberapa murid menjauh darinya.
"Ada yang bilang kamu kerasukan."
"Ada yang lihat kamu ngomong sendiri."
"Katanya kamu ketawa-tawa di ruang kosong."
Katrina muak. Dia tahu, mereka tidak akan pernah percaya. Bahkan ibunya pun hanya bilang: “Kamu jangan terlalu banyak hayal. Fokus sekolah.”
Sore itu, Katrina lari ke aula tua. Tempat Ray biasa menunggu. Tapi bangku itu kosong.
"Ray?" panggilnya.
Tak ada jawaban. Katrina berdiri di tengah aula. Air matanya jatuh.
"Jangan gitu dong… Gue cuma punya lu doang yang ngerti."
Tiba-tiba suara pelan menyahut, “Aku di sini.”
Ray muncul perlahan dari balik tirai. Tapi kali ini, sosoknya lebih samar.
"Aku harus pergi, Katrina," ucapnya lirih.
"Mau ke mana?"
"Aku udah selesai sekolah. Kamu udah bantu aku.”
Katrina mencengkeram bajunya. "Jangan pergi. Gue gak siap kehilangan lu."
Ray memandangnya lama. “Aku gak pernah benar-benar ada, Katrina. Tapi kamu... nyata. Dan kamu kuat.”
Besoknya, Katrina datang pagi-pagi. Bangku Ray masih kosong. Tapi di atasnya, ada kertas terlipat. Tulis tangan Ray.
> “Katrina,
_Terima kasih udah anggap aku nyata.
_Jangan matiin mata ketigamu. Dunia ini butuh orang kayak kamu.
Kalau kamu lihat aku lagi di mimpi… anggap aja itu salam perpisahan dari teman sebangkumu yang paling pendiam.”
Katrina memeluk surat itu. Tangisnya jatuh, tapi senyumnya juga ikut menyusul.
Karena untuk pertama kalinya, dia tidak takut pada dirinya sendiri.
---
Tamat.