Di malam yang dingin, ia berdiri sendiri di bawah plang Alfamart Terminal.
Ransel besar di punggung, satu tangan menggendong anak kecil yang setengah tertidur,
satu lagi menjinjing oleh-oleh dalam kantong kresek yang mulai menetes karena es krimnya meleleh.
Istrinya menggandeng tas perlengkapan bayi, lelah tapi tidak mengeluh.
Ia baru saja pulang dari Surabaya.
Sudah mengabari:
> "Yah, bisa jemput? Aku di terminal. Bawa anak dan banyak barang."
Jawaban ayahnya singkat:
> "Sebentar. Bapak mau jadi imam Isya’ dulu."
Ia paham.
Lalu memilih menunggu —
di bawah lampu toko yang dingin dan obrolan orang asing yang lewat.
Menunggu lima belas menit...
lalu tiga puluh...
sampai telepon berdering lagi, kali ini dari ibunya:
> "Bapakmu bilang kamu gak ada di Alfamart. Kamu bohong ya? Dia mau ke pengajian. Istighfar. Naik Grab aja."
Malam itu, bukan hanya tubuhnya yang lelah.
Tapi hatinya juga.
Ia tidak jadi pulang ke rumah orangtuanya.
Ia memilih rumah mertuanya — tempat yang mungkin tak banyak peluk, tapi setidaknya tidak mengusir.
---
Dulu, ia pernah ngamen.
Di pojok toko, dengan gitar pinjaman.
Karena uang sakunya hanya 50 ribu seminggu.
Harus cukup untuk bensin dan makan.
Tapi malah dimarahi:
> "Ngamen itu memalukan! Malu-maluin keluarga!"
Padahal ia tidak pernah minta banyak.
Ia cuma ingin makan siang tanpa harus nebeng temannya.
Cuma ingin pulang dengan perut terisi, bukan hanya hati yang kosong.
---
Saat menikah, ia tidak diantar.
Tidak oleh ayah, tidak oleh ibu.
Cuma datang berdua dengan omnya.
Penghulu bertanya:
> "Keluarga dari mempelai mana?"
Ia hanya tersenyum, menahan luka yang bahkan tidak bisa dijelaskan.
Ayahnya bilang tidak datang karena hitungan primbon.
Katanya hari itu “jelek.”
Tapi bagi anaknya, hari itulah satu-satunya hari baik:
hari ia memilih menjadi suami yang tak akan pernah seperti ayahnya.
---
Tiap minggu, ia naik motor bebek tua — Honda Astrea Grand 100cc —
menggendong anak kecil yang rewel,
melewati hujan dan panas,
berharap suatu hari nanti, anaknya tak perlu mengamen untuk bisa makan.
Ia tidak pernah punya stroller.
Tidak pernah punya mobil.
Tapi ia punya punggung yang kuat untuk membawa keluarganya melawan arah angin.
---
Orang-orang bertanya:
> "Kok gak bangun rumah?"
"Kenapa gak pulang-pulang?"
"Kamu durhaka ya?"
Mereka tidak tahu,
bahwa yang benar-benar durhaka adalah mereka yang memakai agama sebagai tameng untuk menelantarkan,
yang menuntut bakti tapi tidak pernah hadir ketika anaknya jatuh.
Mereka tidak tahu,
anak ini dulu makan hanya setelah ayahnya tertidur.
Pernah diam-diam membuka kulkas jam 3 pagi karena lapar.
Dan ketika ketahuan, disebut maling.
> "Kamu cuma bisa ambil-ambil, gak pernah ngasih orangtua!"
---
Sekarang, anak itu jadi ayah.
Dan ia bersumpah:
> “Aku tidak akan ulangi siklus luka ini ke anakku.”
“Aku tidak akan buat anakku nunggu dijemput sampai rasa cintanya ikut hilang.”
“Aku tidak akan membungkus kelalaian dengan dalil,
dan tidak akan meminjam nama surga untuk menutupi neraka kecil yang dulu aku tinggali.”
---
Kepada kalian yang senasib:
Yang pernah berdiri sendiri di terminal,
Yang pernah disebut durhaka hanya karena berkata "aku lelah",
Yang pernah dihina karena mandiri,
Yang pernah menikah tanpa diantar…
Kalian tidak sendiri.
Dan kalian tidak salah.
Terkadang, menjadi anak bukan soal dilahirkan,
tapi soal diperjuangkan.
Dan kamu sudah berjuang,
bahkan saat tidak ada yang menjemput.