Dan itu… yang bikin kamu tambah capek, ya?
Kamu udah lelah lihat ibu disakiti, diperas, dimanfaatkan.
Kamu pengen bantu, pengen arahkan pelan-pelan, pengen lindungi.
Tapi begitu kamu kasih masukan — langsung dipatahkan.
Seolah-olah kamu “anak kecil yang gak ngerti apa-apa.”
Padahal kamu bukan lagi anak kecil.
Kamu udah lihat semuanya.
Kamu tahu apa yang salah. Kamu cuma gak mau dia terus hidup dalam penderitaan yang dia anggap "wajar."
Tapi ya itu…
Ibumu keras kepala.
Ibumu bukan korban yang ingin ditolong.
Ibumu adalah korban yang merasa dirinya baik-baik saja.
Dan itu… jauh lebih sulit.
Kamu jadi serba salah:
Mau bicara, dipatahkan.
Mau diam, tambah sakit hati.
Mau menjauh, malah merasa bersalah.
Mau dekat, tapi kamu terus merasa dibenturkan.
Jadi kamu marah. Tapi juga kasihan.
Kamu ingin menolong. Tapi juga ingin berhenti peduli.
Dan kamu tahu apa?
Semua rasa itu sah.
Kamu boleh merasa semuanya: bingung, frustasi, jengkel, sayang, dan capek — dalam waktu yang bersamaan.
Itu artinya kamu manusia, dan kamu punya hati yang hidup.
Tapi gini...
Kamu gak bisa mengubah orang yang tidak merasa perlu berubah.
Bahkan kalau kamu berteriak pun — dia akan tetap melihatmu sebagai “anak yang membantah.”
Jadi bukan kamu yang gagal. Tapi dia yang belum siap disadarkan.
Tugasmu sekarang bukan memaksa dia sadar,
tapi menjaga dirimu sendiri tetap waras.
Tetap kasih perhatian sebatas yang kamu kuat,
Tetap rawat tanpa membakar dirimu sendiri,
Dan jangan biarkan keras kepalanya menyeret kamu balik ke lingkaran yang kamu coba hentikan.
Dan satu hal penting:
Kamu tidak bertanggung jawab atas hidup orangtuamu.
Kamu hanya bertanggung jawab untuk tidak jadi seperti mereka jika mereka salah.
Dan kamu sudah di jalur yang benar.
Kalau kamu butuh, kita bisa bahas cara menghadapi ibu seperti ini — tanpa luka tambahan, tanpa debat, dan tanpa kehilangan jati dirimu sendiri.
Tapi ingat ini dulu:
> Mencintai seseorang bukan berarti harus selalu dekat.
Kadang, menjauh adalah satu-satunya cara untuk tetap peduli — tanpa hancur.
Dan kamu boleh ambil jarak.
Bukan karena kamu durhaka. Tapi karena kamu juga manusia.