Aurora, seorang wanita muda penata taman yang menjalani hidupnya dalam lingkaran kebahagiaan. Dunianya dipenuhi keindahan bunga, tawa riang bersama sahabat, dan impian pernikahan dengan kekasihnya, Leon, seorang arsitek muda yang ambisius.
Sering kali ia mengabaikan peringatan kecil atau ketidaknyamanan yang dirasakannya, terlalu larut dalam pesona hari-hari yang menyenangkan.
Suatu sore, saat sedang mempersiapkan taman untuk sebuah acara besar, Aurora tiba-tiba merasakan sakit kepala yang hebat. Pandangannya terasa kabur, dan ia terjatuh tak sadarkan diri di antara rimbunan bunga lavender. Ketika ia membuka mata kembali, ia mendapati dirinya berada di sebuah tempat asing yang remang-remang, diselimuti kabut tipis. Sebuah gerbang raksasa, terbuat dari akar pohon kuno yang saling melilit, berdiri menjulang di hadapannya.
Di sisi gerbang, berdiri sesok berjubah gelap, tanpa wajah yang jelas, yang memperkenalkan diri sebagai Pemandu Jiwa.
“Kau berada di Gerbang jiwa, Aurora,” suara Pemandu Jiwa bergema, tenang namun tegas. “Ini adalah batas antara dunia hidup dan dunia kematian. Kehidupanmu di Bumi telah terhenti, namun belum sepenuhnya berakhir.”
Aurora terkejut, dilanda kepanikan. “Apa maksud Anda? Leon… teman-teman saya… mereka menunggu saya!”
“Tubuhmu terbaring tak berdaya. Waktu Anda di dunia telah usai, namun jiwa mu belum siap untuk melangkah sepenuhnya,” jelas Pemandu Jiwa. “Ada penyesalan yang teramat dalam mengikatmu, keputusan yang belum tuntas, dan kebenaran yang belum kau pahami.”
Pemandu Jiwa kemudian menjelaskan: Aurora diberi kesempatan unik, bukan untuk hidup kembali secara langsung, melainkan untuk memasuki "Jejak Waktu" selama 37 "detik batin". Dalam setiap detik ini, ia akan diizinkan untuk melihat kembali momen-momen penting dalam hidupnya, bukan sebagai penonton pasif, tetapi sebagai "bayangan" yang bisa merasakan kembali emosi dan memahami perspektif orang-orang di sekitarnya. Ia tidak bisa mengubah apa pun, hanya mengamati dan memahami.
Tujuan dari perjalanan ini adalah agar ia menemukan "simpul takdir" yang tersembunyi—penyesalan atau kebenaran yang mengikatnya—dan melepaskannya. Jika ia berhasil menemukan dan menerima simpul itu, jiwanya akan damai dan dapat melangkah. Jika tidak, ia akan terjebak dalam limbo (antara dunia hidup dan dunia kematian) selamanya.
Perjalanan di Jejak Waktu
Awalnya, Aurora menolak. Ia ingin kembali kepada Leon, kembali ke dunianya yang tampak sempurna. Namun, Pemandu Jiwa tak tergoyahkan. Dengan berat hati, Aurora melangkah melewati gerbang.
Jejak Waktu membawanya kembali ke berbagai momen. Detik pertama, ia melihat dirinya di masa lalu, merayakan ulang tahun ke-20 bersama sahabatnya, Kyra, seorang seniman yang selalu mendukungnya. Namun, kini sebagai bayangan, Aurora merasakan kecemasan yang tersembunyi di balik senyum Kyra—kekhawatiran akan masa depan Kyra sendiri yang Aurora terlalu sibuk dengan dunianya untuk menyadarinya.
Detik-detik berikutnya membawanya ke momen-momen lain:
* Menyaksikan percakapan tegang antara Leon dan saudaranya, Silas, yang selama ini ia anggap sebagai rival Leon.
Sebagai bayangan, Aurora merasakan beban berat di pundak Silas, pengorbanan yang tak terlihat demi keluarga yang Leon—dan dirinya—tidak pernah tahu.
* Merasakan kekecewaan ibunya saat Aurora terlalu asyik dengan proyek taman barunya hingga melupakan janji penting.
Ia baru menyadari betapa ibunya merindukan kehadirannya yang utuh.
* Mengamati bagaimana senyum ceria yang ia tunjukkan kepada orang lain seringkali menyembunyikan kecemasan tersembunyi, terutama tentang ambisi Leon yang terkadang membuatnya merasa kecil.
Setiap "detik batin" mengungkapkan lapisan demi lapisan kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik persepsinya sendiri. Ia melihat bagaimana setiap keputusannya, sekecil apa pun, memiliki dampak pada orang lain. Ia melihat betapa ia terlalu fokus pada kebahagiaannya sendiri hingga melewatkan penderitaan diam-diam orang-orang di sekitarnya. Ia menyadari bahwa kebahagiaannya tidak sesederhana yang ia kira, dan ada keraguan besar dalam hatinya sendiri tentang masa depan dengan Leon yang selama ini ia abaikan.
Waktu terus berjalan. Aurora mulai merasakan beratnya kebenaran yang baru ia temukan. Sisa "detik batin" semakin menipis. Ia merasa lelah, namun matanya kini telah terbuka lebar. Ia menyadari "simpul takdir" yang mengikatnya: bukan penyesalan atas orang lain, melainkan penyesalan atas dirinya sendiri—ketidakmampuannya untuk melihat dan menerima kebenaran yang rumit, baik pada orang lain maupun pada dirinya sendiri, termasuk keraguan tersembunyi tentang hubungannya dengan Leon. Ia terlalu takut mengakui bahwa impiannya tentang masa depan sempurna mungkin tidak sejalan dengan realitas yang sebenarnya.
Pada "detik batin" terakhir, ia melihat Leon duduk di samping Tubuhnya yang terbaring, menangis dalam diam. Bukan hanya kesedihan karena kehilangan, tetapi juga air mata penyesalan dan ketidakberdayaan. Aurora kini memahami bahwa Leon pun memiliki bebannya sendiri, kerapuhan yang tidak pernah ia bagi dengannya. Pada momen itu, Aurora merasakan empati yang mendalam, tidak hanya untuk Leon, tetapi untuk semua orang yang ia cintai, dan yang terpenting, untuk dirinya sendiri. Ia menerima semua kerumitan itu.
Saat simpul itu terurai, sebuah cahaya lembut menyelimuti Aurora. Rasa sakit dan beban penyesalan menghilang. Ia merasa ringan, damai.
Pemandu Jiwa muncul kembali. “Kau telah menemukan simpul mu, Aurora. Kau telah menerima kebenaran. Sekarang, jiwa mu bebas.”
Aurora menoleh ke belakang, melihat sekilas Gerbang Jiwa yang kini memudar, dan ke depan, menuju cahaya yang lebih terang. Ia tidak kembali ke tubuhnya.
Namun, ia telah menemukan kedamaian, sebuah pemahaman yang melampaui batas hidup dan mati. Jiwanya kini siap untuk melangkah, membawa serta kebijaksanaan dari Gerbang Jiwa.