Di sebuah kota pesisir kecil bernama Pelita, Arjuna, seorang siswa SMA yang bosan dengan rutinitasnya, selalu bermimpi tentang kehidupan di kota besar. Malam-malamnya dipenuhi dengan tugas sekolah dan suara ombak yang monoton. Ia merasa terjebak, mendamba gemerlap lampu dan hiruk pikuk kehidupan yang lebih dinamis.
Jauh di Kota Gemintang, Kirana adalah seorang siswi SMA yang sibuk, lelah dengan jadwal padat dan bisingnya lalu lintas. Ia mendambakan kedamaian, langit yang lebih luas, dan pemandangan hijau yang menyejukkan mata. Kadang ia merasa tercekik oleh beton dan kesibukan.
Suatu malam, Arjuna bermimpi aneh. Ia berada di sebuah kota besar yang ramai, melihat menara jam yang megah, dan merasakan kesibukan yang selalu ia dambakan. Yang lebih aneh lagi, ia merasa seperti mengalami kehidupan dari sudut pandang seorang gadis. Ia melihat tangannya yang lebih ramping, merasakan gaun yang ia kenakan, dan bahkan mendengar percakapan yang tidak ia pahami.
Di saat yang sama, di Kota Gemintang, Kirana bermimpi serupa. Ia berada di sebuah pantai yang tenang, mendengar deburan ombak, dan merasakan angin laut yang sejuk. Ia melihat pemandangan lautan luas, merasakan pasir di antara jari-jarinya, dan bahkan mencium aroma garam yang asin. Dalam mimpinya, ia merasakan pengalaman dari sudut pandang seorang laki-laki.
Awalnya, mereka berdua mengira itu hanya bunga tidur biasa. Namun, mimpi-mimpi itu terus berulang, menjadi semakin jelas dan detail. Mereka mulai menyadari bahwa mimpi-mimpi itu bukan sekadar ilusi, melainkan koneksi aneh dengan kehidupan orang lain di tempat yang jauh. Mereka mulai mencoba meninggalkan "pesan" dalam mimpi mereka—detail-detail kecil, pemikiran, atau pertanyaan yang mereka harap bisa "diterima" oleh sang pemilik mimpi.
Melalui mimpi-mimpi ini, mereka perlahan mulai mengenal satu sama lain. Arjuna mengetahui tentang jadwal Kirana yang padat, tekanan akademis yang ia rasakan, dan mimpinya untuk menjadi seorang arsitek lanskap. Ia bahkan melihat Kirana belajar di perpustakaan atau berlari mengejar bus. Kirana, di sisi lain, belajar tentang kerinduan Arjuna akan petualangan, bakatnya dalam melukis pemandangan laut, dan keinginannya untuk melihat dunia di luar Pelita. Ia melihat Arjuna melukis di tepi pantai atau mengamati kapal-kapal yang berlayar.
Meskipun hanya melalui mimpi, koneksi ini tumbuh semakin dalam. Mereka mulai merasakan emosi satu sama lain, berbagi tawa dan kesedihan tanpa pernah benar-benar bertemu. Mimpi-mimpi itu menjadi bagian paling dinanti dari hari mereka, sebuah pelarian dari kenyataan dan jembatan menuju jiwa yang terasa familiar.
Namun, suatu hari, mimpi-mimpi itu berhenti secara tiba-tiba. Arjuna terbangun di kamarnya sendiri di Pelita, dan setelah beberapa malam, ia menyadari bahwa "kunjungan" ke Kota Gemintang tidak terjadi lagi. Rasa cemas mencengkeramnya. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang penting. Ia mencoba mengingat nama gadis itu, wajahnya, detail kota itu, tetapi semuanya memudar seperti kabut.
Panik, Arjuna menyadari bahwa ia harus menemukan gadis itu sebelum semuanya benar-benar lenyap. Mengandalkan ingatan samar tentang Kota Gemintang dan perasaan kuat di hatinya—terutama ingatan akan menara jam megah yang sering ia lihat dalam mimpinya—Arjuna memutuskan untuk mencari gadis misterius itu.
Dengan hanya sedikit uang tabungan dan harapan yang tipis, Arjuna melakukan perjalanan ke Kota Gemintang. Ia berjalan menyusuri jalanan yang terasa asing namun entah mengapa akrab, mencari menara jam itu. Setelah berhari-hari mencari, ia akhirnya menemukannya.
Menara jam itu berdiri megah, namun tampak sepi, seolah tidak pernah ada kehidupan yang ia alami dalam mimpinya.
Rasa putus asa mulai menyergapnya.
Tepat saat ia hendak menyerah, ia melihat seorang gadis duduk di bangku taman dekat menara jam, memandang ke langit. Ada sesuatu yang familiar dari siluetnya. Dengan jantung berdebar, ia mendekat.
“Kirana?” panggilnya, suaranya sedikit bergetar, meskipun ia tidak yakin apakah itu nama yang benar.
Gadis itu menoleh. Matanya memancarkan keterkejutan, seolah mendengar nama yang sangat familiar namun asing di lidahnya. "Arjuna?"
Ada jeda hening. Kenangan samar mulai berputar di benak mereka berdua, seperti kepingan puzzle yang perlahan menyatu. Mereka tahu satu sama lain, jauh di lubuk hati, tetapi detailnya masih buram.
“Aku… aku merasa seperti mengenalmu,” kata Kirana, matanya berkaca-kaca. “Aku… aku memimpikanmu. Sebuah pantai… seorang pelukis…”
Arjuna tersenyum, senyum yang terasa seperti pulang ke rumah. “Aku juga. Aku memimpikanmu. Sebuah kota… menara jam ini…”
Air mata mulai mengalir di pipi Kirana. "Aku... aku ingat. Aku ingat semuanya. Mimpi-mimpi itu..."
Mereka berdiri di sana, di tengah keramaian Kota Gemintang, dengan kenangan yang perlahan kembali.
Pertemuan itu terasa seperti takdir yang akhirnya terpenuhi, menghubungkan dua dunia yang berbeda, dan dua jiwa yang terikat oleh benang merah memori angin dan bintang yang melampaui batas realita dan mimpi. Mereka tidak lagi mencari, karena mereka telah menemukan.