Angin malam berdesir dingin, mengantar aroma tanah basah dan melati layu ke hidung seorang pria. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul dua belas kurang lima menit, dan ia masih berdiri di ambang pintu rumah tua itu. Rumah yang sudah setahun lebih kosong, setelah pemiliknya, Nenek Rima, meninggal misterius. Banyak cerita beredar tentang arwahnya yang masih gentayangan, namun tugasnya sebagai jurnalis investigasi memaksanya untuk membuktikan semua itu. Malam ini, ia harus bermalam di sini.
Senter di tangannya menyapu kegelapan, menampakkan debu tebal melapisi perabotan usang dan sarang laba-laba bergantung di mana-mana. Aroma apek dan lembab menusuk hidungnya. Ruangan pertama adalah ruang tamu. Sebuah kursi goyang tua bergoyang pelan, seolah baru saja diduduki. Jantungnya berdebar. Angin? Atau sesuatu yang lain?
Ia mencoba menenangkan diri, bergerak masuk lebih dalam. Setiap langkah kakinya di lantai kayu tua menimbulkan derit panjang, memecah keheningan yang mencekam. Di atas meja kecil di sudut ruangan, tergeletak sebuah jam tangan saku kuno. Casing peraknya kusam, dan kacanya retak. Anehnya, jarum jamnya masih bergerak. Pukul dua belas kurang dua menit.
Pria itu meraih jam itu, rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Dingin. Bukan dingin logam biasa, tapi dingin yang menusuk tulang. Tiba-tiba, dari arah dapur, terdengar suara piring jatuh dan pecah berkeping-keping. Ia tersentak, menjatuhkan jam tangan itu. Jam itu jatuh ke lantai dengan bunyi "ting!", jarumnya berhenti. Tepat pukul dua belas.
Seluruh rumah terasa membeku dalam keheningan yang mengerikan. Ia menahan napas, telinganya tegang. Tidak ada suara lagi. Hanya detak jantungnya yang berpacu kencang di telinganya sendiri. Perlahan, ia menunduk untuk mengambil jam tangan itu. Saat tangannya hampir menyentuhnya, matanya menangkap sesuatu di pantulan kaca jam yang retak.
Di belakangnya.
Sebuah bayangan hitam, sangat gelap, berdiri persis di ambang pintu ruang tamu. Bentuknya samar, tidak jelas, tapi ia bisa merasakan keberadaannya. Hawa dingin yang tadi dirasakannya pada jam tangan, kini melingkupinya sepenuhnya. Ia ingin berteriak, ingin lari, tapi kakinya terasa terpaku ke lantai.
Bayangan itu mulai bergerak, pelan, mendekatinya. Jantung pria itu serasa ingin meledak. Ia memejamkan mata erat-erat, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Tapi sentuhan dingin, seperti jari-jari es, menyentuh leher belakangnya.
Desiran napas dingin menyapu telinganya, dan sebuah suara berbisik, sangat dekat, sangat pelan, "Kamu... sudah terlambat..."
Pria itu membuka mata. Bayangan itu sudah ada di hadapannya, begitu dekat hingga ia bisa merasakan hembusan napasnya yang busuk. Wajahnya tidak terlihat, hanya kegelapan pekat dengan dua titik merah menyala yang mungkin adalah matanya.
Ia berteriak.
Teriakannya bergema di rumah kosong itu, tapi seolah tertelan oleh kegelapan yang menyelimuti. Jam tangan tua di lantai, yang tadi dipegangnya, kini menunjukkan pukul dua belas lebih satu menit. Dan jarumnya terus bergerak mundur.