________________________________________
Langit Suncheon menguning saat kereta yang ditumpangi Minseo melambat, memasuki desa kecil tempat ibunya lahir. Ia baru saja kehilangan sosok yang selama ini membesarkannya sendirian. Sebagai mahasiswi jurusan seni tradisional, Minseo selalu merasa dekat dengan budaya Korea, tapi tidak pernah tahu bahwa warisan keluarganya jauh lebih tua dari yang ia bayangkan.
Rumah neneknya berdiri di tengah ladang ilalang tinggi. Rumah hanok tua itu nyaris tenggelam dalam bayang-bayang sore. Tak ada listrik. Tak ada sinyal. Hanya suara jangkrik, dan aroma tanah basah.
Di kamar kayu berlantai ondol, Minseo menemukan sebuah lemari geser yang berderit saat dibuka. Di dalamnya, tergantung hanbok merah terang dengan sulaman emas di kerahnya. Kainnya dingin saat disentuh, dan aroma bunga kamboja kering langsung memenuhi hidungnya. Di bawahnya, terdapat cermin berdiri tua berbingkai kayu gelap, penuh ukiran bunga teratai dan burung bangau.
Malam itu, Minseo bermimpi.
Ia berada di ruangan besar, dengan dinding kayu dan lentera kertas menggantung. Di depannya, bangsawan-bangsawan mabuk tersenyum licik. Tangan Minseo menari lembut, tubuhnya bergerak tanpa kendali, diiringi bunyi gayageum dari sudut ruangan. Tapi wajahnya... bukan miliknya. Di cermin perunggu, ia melihat wajah seorang perempuan lain—cantik, berwajah pucat, dengan mata sendu penuh luka.
Ia terbangun dengan napas terengah dan jejak lebam merah di pergelangan tangan. Entah kenapa, gayageum tua yang digantung di sudut kamar kini memiliki satu senar yang putus.
Keesokan harinya, nenek tua tetangga datang membawa bubur. Tatapannya tajam saat melihat hanbok merah itu digantung di luar kamar.
"Kamu pakai baju itu?"
Minseo mengangguk pelan.
"Lepaskan. Itu milik Gisaeng Hyeran. Ia mati di sana, malam sebelum Jepang masuk. Baju itu dikubur, tapi entah kenapa selalu kembali."
Minseo menelan ludah. Ia belum cerita tentang mimpi atau suara langkah kaki dari arah cermin setiap pukul dua pagi. Ia juga belum tahu bahwa setiap malam, satu per satu bunga kamboja yang terselip di lipatan hanbok layu dengan sendirinya.
Malam berikutnya, ia melihat sosok perempuan bermata kosong berdiri di belakangnya, di balik cermin kamar. Minseo menjerit, tapi suara itu tak keluar.
"Kalau aku tak bisa pergi... kau harus tinggal."
Sejak malam itu, Minseo mulai berubah. Ia bicara dalam dialek lama, menyanyi lagu-lagu yang bahkan profesor musiknya tak kenal. Ia tahu cerita sejarah yang tak tercatat, dan menulis puisi dalam aksara tua. Ia bahkan menari tarian yang sudah tak diajarkan lagi, gerakannya tepat dan indah—seperti tubuhnya mengenangnya lebih dulu dari pikirannya.
Ia mencoba keluar dari rumah itu, tapi setiap kali kereta datang, langit tiba-tiba hujan deras, dan keretanya dibatalkan. Jalanan longsor. Signal hilang. Desa seolah-olah menahannya.
Suatu malam, ia menyadari—wajahnya di cermin tak lagi bergerak bersamaan dengannya. Saat ia tersenyum, bayangan itu menatap dingin. Saat ia menangis, bayangan itu menyeringai.
Ia mulai menulis di jurnal ibunya yang ia temukan tersembunyi di rak buku. Ternyata, ibunya pun pernah mengalami hal serupa. Namun ia berhasil kabur, dengan harga besar: meninggalkan desa dan memutus semua hubungan dengan masa lalu. Nama asli ibunya bukanlah Jiyoung—melainkan Hyejin. Ia pun anak dari garis keturunan Gisaeng Hyeran.
Minseo kini tahu, semua ini bukan kebetulan. Hanbok merah itu bukan hanya pakaian—itu segel, dan sekaligus undangan. Undangan bagi roh lama yang marah dan belum menyelesaikan dendamnya.
Pada malam ketujuh, Minseo menyalakan semua lilin di rumah. Ia duduk di depan cermin, mengenakan hanbok itu sepenuhnya. Di tangannya, sebilah gunting tua peninggalan nenek.
"Apa yang kau mau?"
Bayangan di cermin membeku. Mata Minseo berkaca-kaca.
"Kau ingin dikenang, kan? Tapi bukan dengan membunuh."
Cermin mulai bergetar. Bayangan itu menunduk. Lalu... menghilang.
Esok paginya, tubuh Minseo ditemukan tertidur di depan cermin. Gunting jatuh dari tangannya. Hanbok merah masih menempel, tapi warnanya memudar seperti kain yang dicuci terlalu lama.
Sejak saat itu, Minseo tinggal di Suncheon. Ia membuka sekolah seni kecil untuk anak-anak. Gayageumnya dimainkan lagi. Ia tak pernah menyentuh hanbok merah itu, tapi menggantungnya di balik kaca—dengan pelita kecil di depannya, sebagai tanda penghormatan.
Dan setiap malam Jumat, kadang terdengar lagu sedih dari kamar itu. Lagu yang tidak ada judulnya.
Lagu seorang gisaeng yang akhirnya didengar.
---
"Sang Gisaeng belum selesai menari. Tapi kini, ia tidak menari sendirian."