---
Hujan turun pelan saat Dara berdiri di depan kapel tua itu. Jemarinya menggenggam setangkai bunga lili putih, basah oleh gerimis dan air mata yang tak tertahan.
Ia tak masuk. Ia hanya berdiri di luar, di antara bau tanah basah dan kenangan yang tak bisa ia kubur.
“Dara…”
Suara itu membuatnya menoleh. Adalah Adrian—dengan jas hitam dan mata yang merah. Mereka saling pandang dalam diam. Banyak kata yang pernah ingin diucap, tapi dunia terlalu kejam untuk memberi mereka ruang.
Dulu, cinta mereka tumbuh di kampus, di antara lembar buku dan kopi sore. Adrian seorang Katolik taat. Dara, Muslim sejak lahir. Mereka tahu sejak awal, cinta ini tak akan mudah. Tapi mereka terlalu muda untuk takut.
“Kalau memang Tuhan tidak mengizinkan kita bersama,” kata Dara suatu malam, “kenapa hati ini bisa jatuh ke kamu seindah ini?”
Adrian diam lama, lalu menjawab, “Mungkin untuk menunjukkan, bahwa bahkan cinta pun bisa kalah oleh batas yang dibuat manusia.”
Mereka berjuang. Menyembunyikan. Menjelaskan. Memohon. Tapi restu tidak pernah datang. Keluarga Dara mengancam mengucilkan. Ibu Adrian menangis setiap malam. Kata "kawin lari" sempat muncul, tapi mereka terlalu takut kehilangan semua. Lalu mereka mundur—bukan karena cinta mereka habis, tapi karena dunia tak memberinya tempat.
Hari ini, Adrian menikah. Bukan dengan Dara. Tapi dengan perempuan yang bisa membawanya masuk ke altar tanpa menimbulkan perang.
Dara datang bukan untuk menyakiti. Ia hanya ingin mengucapkan selamat, meski dari jauh. Ia ingin percaya bahwa cinta bisa abadi, bahkan dalam bentuk kenangan.
Saat Adrian kembali masuk ke dalam kapel, Dara melangkah pergi. Di tangannya, bunga lili itu tak lagi utuh. Tapi di dadanya, kenangan tentang cinta yang pernah tumbuh di tanah yang tak pernah diizinkan berbuah—tetap hidup.
Bagian 2 – Kenangan yang Tak Pernah Hilang
Langit mendung menggantung sepanjang perjalanan Dara pulang. Di dalam taksi, ia menatap jalanan yang basah, seperti hatinya yang tak pernah benar-benar kering sejak perpisahan itu. Radio memutar lagu lawas tentang cinta dan kehilangan—semesta seolah ikut mengingatkan, bahwa luka lama belum sembuh.
Ingatan itu datang tanpa diundang.
---
Dua tahun lalu, di sudut perpustakaan fakultas, Adrian membacakan puisi milik Sapardi. Suaranya tenang, dengan senyum yang nyaris tak terlihat.
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu."
Dara tertawa kecil saat itu, “Kenapa sih selalu yang sedih-sedih?”
Adrian menatapnya, “Karena aku sadar, cinta kita akan berakhir dalam puisi. Bukan dalam janji nikah.”
Dara diam. Ia tahu Adrian selalu realistis. Tapi ia juga tahu, cinta mereka bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Mereka bukan sepasang anak yang iseng bermain hati—mereka berusaha, sungguh-sungguh berusaha.
Namun setiap usaha bertemu dengan tembok.
Ibu Dara pernah berkata, “Kamu pikir cinta bisa menafkahi imanmu? Kamu rela kehilangan surga hanya untuk seseorang yang tidak bisa salat bersamamu?”
Sementara ayah Adrian, dalam pertemuan singkat yang canggung, menatap Dara seolah ia adalah ancaman, bukan cinta anaknya. “Adrian bisa jatuh cinta dengan siapa pun, asal jangan yang membuatnya menjauh dari gereja.”
---
Taksi berhenti di depan kosannya. Dara membayar dengan tangan gemetar. Langkah kakinya terasa berat. Bukan karena letih, tapi karena hati yang tak tahu harus meletakkan perasaan di mana.
Sesampainya di kamar, Dara membuka kotak kecil dari bawah ranjang. Di dalamnya ada foto-foto, surat, dan tiket bioskop yang mereka kumpulkan. Ada juga surat terakhir yang Adrian kirim, sebelum mereka benar-benar mengakhiri hubungan itu.
"Dara,
Kalau hidup ini seperti langit dan bumi, mungkin kita adalah dua bintang yang bersinar pada malam yang sama, tapi tak pernah bisa saling menyentuh."
Air mata Dara jatuh lagi.
Ia menyalakan lampu kamar, menatap pantulan dirinya di cermin. Apakah ia masih perempuan yang sama? Atau hanya sisa dari cinta yang pernah ia perjuangkan?
Teleponnya berbunyi. Sebuah pesan dari nomor yang dulu disimpannya dengan nama “Rumah”. Tapi sekarang hanya tersisa nomor kosong.
“Terima kasih sudah datang. Maafkan aku tidak bisa menyapamu langsung. Tapi aku tahu kamu ada di sana. Itu cukup.”
Dara menghapus air mata. Ia membalas:
“Selamat menempuh hidup baru. Semoga kamu bahagia, Adrian. Di bawah langit yang sama, aku akan tetap mendoakanmu.”
---
Malam itu, Dara duduk di balkon kos, memandang langit yang tak lagi hujan. Di kejauhan, bintang-bintang mulai muncul satu per satu. Ia tahu, di suatu tempat, Adrian mungkin juga sedang menatap langit yang sama.
Mereka tak lagi bersama. Tapi cinta mereka pernah ada. Dan itu cukup untuk dikenang, selamanya.
---