Hujan turun pelan-pelan sore itu. Langit berwarna kelabu, seperti menyimpan rahasia yang tak pernah selesai diucapkan. Di sebuah halte kecil di ujung kota, Raya duduk sendiri, menggenggam secangkir kopi hangat yang mulai kehilangan uapnya.
Lalu datang seseorang. Lelaki dengan jaket abu-abu yang basah di bagian pundak. Wajahnya tak asing. Tidak baginya.
“Gilang?” tanyanya pelan, hampir tak terdengar oleh suara rintik hujan.
Lelaki itu menoleh, dan senyum yang sama seperti lima tahun lalu muncul kembali di wajahnya. Senyum yang dulu membuat Raya percaya pada cinta pertama.
“Raya,” katanya singkat, tapi cukup untuk membuat waktu berhenti sesaat.
Dulu mereka berpisah bukan karena saling tak mencinta, tapi karena mimpi yang menuntun ke arah yang berbeda. Gilang ke luar negeri mengejar beasiswa, dan Raya tetap di kota ini, membangun kariernya sebagai penulis.
“Aku baca bukumu,” ucap Gilang, “Yang judulnya *Hujan Tak Pernah Salah*. Itu tentang kita, ya?”
Raya tersenyum kecil, menatap genangan air di depan mereka.
“Bisa jadi,” jawabnya. “Atau tentang siapa saja yang pernah saling cinta, tapi tidak bisa bersama.”
Hujan mulai reda. Tapi dalam hati mereka, ada badai yang belum sempat reda sejak perpisahan itu.
“Kamu masih sendiri?” tanya Gilang, lebih sebagai bisikan daripada pertanyaan.
Raya mengangguk pelan. “Masih.”
Gilang menarik napas. “Aku juga.”
Dan untuk beberapa detik, mata mereka bertemu. Tak ada janji. Tak ada kata cinta. Hanya keheningan yang terasa hangat, seperti pelukan yang tertunda.
“Kalau hujan ini pertanda, kamu percaya takdir mau beri kita kesempatan kedua?” tanya Raya akhirnya.
Gilang tersenyum. “Kalau kamu mau percaya, aku siap menjemput takdir itu.”
Raya menatap hujan yang berhenti. Lalu bangkit berdiri. “Ayo kita jalan. Aku ingin cerita banyak.”
Dan di bawah langit yang perlahan cerah, dua hati yang lama terpisah mulai berjalan berdampingan lagi. Mungkin cinta tak pernah benar-benar pergi, hanya menunggu waktu yang tepat untuk pulang