Angin malam berhembus sangat dingin mengenai kulit wajah Nayla, dia masih setia menunggu sang suami pulang. Terdengar langkah kaki dari arah dalam.
"Mama," panggil Najma.
"Sayang, kok belum tidur?" tanya Nayla. Najma duduk di samping sang ibu, menatap lekat wajah Nayla yang pucat.
"Aku mau ambil minum tadi, terus lihat pintu kebuka. Jadi aku ke sini. Kirain siapa, ternyata Mama. Lagi nungguin Papa? Ma, kenapa sih Mama bertahan sama dia?" tanya Najma dengan nada lirih.
"Karena Mama berharap Papamu bisa berubah dan sadar akan kesalahannya."
"Ma, aku tahu Mama bohong. Mama lakuin ini demi aku dan adik, kan?" desak Najma.
"Iya. Adikmu sakit, dia butuh uang untuk pengobatannya. Penyakit Mama juga makin hari makin parah. Mama rasa, Mama hanya ingin menghabiskan waktu dengan Papamu." Bisik Nayla.
"Ma..." Najma memeluk Nayla erat. Ingin rasanya dia berteriak di depan ayahnya bahwa dia membenci pria itu.
"Ayo kita tidur. Mungkin Papa pulang malam lagi." Ajak Najma.
"Ya sudah, ayo." Nayla pun memutuskan masuk ke dalam. Tubuhnya memang butuh rebahan.
*****
Keesokan paginya, Nayla bangun lebih dulu dan sudah mendapati Revan di sampingnya. Entah jam berapa pria itu pulang. Nayla hanya tersenyum, lalu membersihkan diri, menyiapkan pakaian kerja Revan, dan memasak untuk anak-anak.
Semua seperti tak terjadi apa pun. Nayla pura-pura tidak tahu bahwa suaminya berselingkuh.
Ia mulai menanak nasi, memasak sayur favorit Vano, dan menyiapkan bekal untuk Revan dan Najma.
"Selamat pagi, Ma. Boleh Najma bantu?" tanya Najma.
"Boleh. Kamu bikinin Papa kopi ya. Sebentar lagi Papa turun. Kopi harus ada di meja, sama roti bakar di teflon," jelas Nayla.
Najma terdiam. Ini seperti ajaran tak langsung agar dia menggantikan Nayla.
"Siap," balas Najma semangat, walau matanya panas. Dia harus kuat demi Mama.
Setelah selesai, Najma memandikan Vano, lalu bersiap ke sekolah untuk pengumuman kelulusan.
Tak lama, Revan turun dengan ponsel di tangan. Dia tersenyum ke arah layar. Tak ada sapaan atau ciuman selamat pagi.
"Mas, mau bawa—"
"Aku pergi dulu," potong Revan cepat. Dia hanya meneguk kopi sedikit. Roti panggang tak disentuh.
"Ya... hati-hati," ucap Nayla lirih. Air matanya hampir jatuh, tapi dia tahan karena Vano turun dengan semangat.
"Selamat pagi, Mama!"
"Selamat pagi, sayang. Kenapa mesti lari? Kan kamu gak boleh kecapekan."
"Gak papa, aku gak sabar makan masakan Mama!"
Nayla mencium Vano yang tubuhnya mulai kurus. Anak itu mengidap kelainan jantung bawaan. Semua bermula saat kehamilan Nayla yang penuh tekanan.
Najma turun dan melirik kursi kosong Revan. "Papa gak sarapan?"
"Sudah berangkat duluan, katanya ada meeting."
Najma hanya diam dan menikmati sarapan. Tapi dalam hati, jika Mama dan Vano tak ada, bagaimana dengan dirinya?
*****
Di tempat lain, rumah mewah berlantai dua yang seharusnya menjadi milik Nayla dan anak-anak, kini jadi sarang perselingkuhan Revan dan Tania.
"Sayang, akhirnya kamu datang. Aku kangen loh, padahal baru semalam," rengek Tania.
"Aku juga. Masak apa hari ini?"
"Makanan kesukaan kamu, seperti biasa."
Saat mereka makan, Tania bertanya tajam, "Kapan kamu mau ceraikan istrimu?"
Revan terdiam.
"Katanya kamu sudah bosan? Dia terlalu sibuk sama anakmu yang penyakitan itu. Katanya dia gak menarik lagi. Kamu lebih suka aku yang wangi," sindir Tania.
"Sabar ya... aku gak tahu mulai dari mana. Anakku sakit, Tania. Kamu harus mengerti,” ujar Revan.
“Baiklah, aku akan mengerti dan sabar. Tapi, kalau kamu bohong jangan salahkan aku bongkar perselingkuhan kita.”
“Iyaaa.” Balas Revan.
Sementara itu, di rumah...
Setelah sarapan, kondisi Vano mendadak memburuk. Bocah tiga tahun itu meringis, memegangi dadanya yang terasa nyeri.
“Mama... sakit...” lirih Vano dengan napas tersengal.
Nayla panik. Ia segera memangku tubuh kecil anaknya yang mulai dingin, dia juga merasakan tubuhnya juga tak beres, dadanya juga terasa sesak, seolah tak mampu lagi menampung beban.
“Tidak... jangan sekarang. Jangan... Aku harus bawa Vano ke rumah sakit,” ucap Nayla, menahan rasa sakit di tubuhnya sendiri.
Dengan sisa tenaga, Nayla menggendong Vano dan keluar rumah. Ia menghentikan ojek yang biasa mangkal di ujung gang. Beberapa tetangga hanya bisa melihat dan saling berbisik lirih.
“Iya, aku lihat Pak Revan itu sering jalan sama cewek lain. Cantik sih, tapi kok kasihan banget istrinya.”
“Aku juga pernah lihat, pas liburan kemarin. Kukira sama keluarga... ternyata bukan.”
Gosip terus bergulir, tapi tidak ada yang benar-benar membantu.
****
Setengah jam kemudian, Nayla sampai di rumah sakit. Ia membayar ongkos ojek dengan tangan gemetar.
“Terima kasih, Pak…” ucapnya lirih.
Tubuh Vano sudah semakin lemas dalam pelukannya. Nafas Nayla sendiri mulai terengah-engah. Lalu—
BRUK!
Nayla jatuh bersama Vano di pelataran rumah sakit.
“Dokter! Tolong! Selamatkan anak saya!” teriak Nayla dengan suara yang nyaris habis.
Petugas medis langsung membawa keduanya masuk. Vano segera ditangani, sementara Nayla diletakkan di ranjang lain. Namun, ketika infus hendak dipasang, Nayla menepis dengan lemah. Karena menurutnya, itu rasa percuma karena dia sudah lelah.
“Do... dokter... selamatkan anakku saja. Bawa jantungku... dan berikan padanya…” bisiknya lirih, menatap langit-langit ruang UGD.
Pikirannya melayang. Ia kembali ke masa-masa muda. Saat jatuh cinta pada Revan—lelaki yang dulu penuh kasih dan perhatian. Ia mengingat malam pertama Najma lahir. Juga tawa kecil Vano yang dulu mengisi pagi-pagi mereka.
Hingga semuanya hancur... sejak Revan jatuh ke pelukan wanita lain.
*****
Di lorong rumah sakit, Najma datang berlari, air matanya tak henti mengalir.
“Mama! Mama...!” teriaknya saat melihat tubuh sang adik dengan selang dan monitor di sisi ranjang.
Di ranjang sebelah, Nayla terbaring lemah. Matanya terbuka sedikit, melihat Najma dengan senyum yang nyaris tak terlihat.
“Najma, sayang...” ucap Nayla lemah, mengusap pipi putrinya.
“Ma, jangan tinggalin Najma ya... Nanti aku sama siapa? Aku gak mau ibu tiri! Aku cuma punya Mama...” isak Najma, memeluk tubuh ibunya yang semakin dingin.
“Kamu harus kuat, sayang... Demi adikmu. Kamu pasti bisa, walau tanpa Mama...” bisik Nayla. “Mama... lihat Kakek dan Nenekmu di luar...”
Najma menggigil. “Ma... Kakek dan Nenek kan... sudah gak ada...” bisiknya pelan.
Bersamaan dengan itu—layar monitor berbunyi nyaring. Detaknya melonjak, lalu—
Tit... tit... tiiiiiiiiiit!
Perawat segera meminta Najma keluar. Ia menurut, tapi tubuhnya gemetar. Tangannya dengan panik mencari ponsel, lalu mencoba menghubungi Revan.
Sementara itu, di sebuah villa mewah di Puncak Bogor, Revan tengah bersenang-senang dengan Tania. Mereka tertawa, menikmati suasana romantis.
Ponsel Revan bergetar berkali-kali. Tapi tak dihiraukannya.
“Papa, angkat... angkat dong... Mama... Adik kritis...” isak Najma dari lorong rumah sakit, berulang kali mencoba menelepon.
Ketika tak kunjung diangkat, Najma melempar ponselnya ke lantai.
Tangisnya pecah.
Tetangga yang menemaninya mencoba memeluk dan menguatkan, tapi air mata Najma tak kunjung berhenti.
Beberapa jam kemudian…
Telepon masuk bertubi-tubi akhirnya membuat Revan kesal. Ia meraih ponselnya, hendak mematikan suara, namun matanya langsung membelalak saat membaca pesan dari nomor tetangga.
Degh!
"Nayla dan Vano dilarikan ke rumah sakit. Tolong segera datang, keadaan darurat!"
Darah Revan seakan berhenti mengalir. Tangannya gemetar. Ia bangkit dari sofa dan meraih kunci mobilnya tanpa berkata sepatah kata pun pada Tania.
“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Tania sambil memeluk lengan Revan.
Revan menepis kasar. “Jangan ikuti aku!”
Tania terpaku, tak percaya melihat sorot mata Revan yang panik.
****
Rumah Sakit.
Revan datang dengan langkah tergesa. Nafasnya terengah. Matanya liar mencari-cari hingga melihat Najma duduk di pojok lorong rumah sakit dengan mata sembab dan wajah kosong.
“Najma!” serunya. “Mana Mama kamu? Mana adikmu?”
Najma berdiri. Tatapannya menusuk, penuh luka, penuh kemarahan yang tak bisa diucapkan.
“Baru inget punya keluarga, hah?” katanya pelan. “Kamu kemana aja, Pa? Waktu Mama bawa Vano ke sini naik ojek. Waktu Mama jatuh bareng adik. Waktu Mama… ngasih jantungnya…”
“Najma…” Revan menelan ludah. “Ngasih jantung… apaan maksud kamu?”
Najma menunjuk ke ruang ICU. “Mama udah gak ada, Pa. Dia ninggalin aku. Ninggalin Vano. Tapi sebelum itu, dia minta jantungnya buat Vano. Mama tahu dia gak punya waktu… tapi dia milih nyelamatin adik.”
Revan terduduk di lantai. Tangisnya pecah tak tertahan.
“Enggak… Enggak mungkin… Nayla…”
Selama ini, Revan tak tahu jika Nayla sakit. Nayla, menyembunyikan penyakitnya dengan rapi.
Najma menunduk, lalu berbisik, “Mama tahu kamu selingkuh, tapi dia gak pernah bilang. Dia masih nyiapin kopi tiap pagi, nyiapin bekal… Bahkan sampai hari terakhir, dia tetep menyebut kamu suaminya.”
Revan menjerit. Penyesalan datang terlalu larut.
*****
Pemakaman Nayla sepi, hanya dihadiri keluarga dekat. Vano belum sadarkan diri, dan Najma duduk diam di samping nisan ibunya.
Revan berdiri di belakang. Tangannya gemetar memegang buket bunga putih.
"Aku gagal jadi suami. Gagal jadi ayah. Maafkan aku, Nayla…" bisiknya.
Tak ada yang menjawab. Hanya angin yang berhembus dan daun-daun gugur perlahan.
Revan menatap langit.
"Kalau waktu bisa diulang, aku cuma mau satu…
Bukan memilih wanita paling cantik, tapi wanita paling setia yang udah aku sakiti…"
Dan saat dia berbalik, Najma menatapnya tajam. “Kamu bukan Papa aku lagi.”
“Najma..”
Najma pergi meninggalkan Revan, tujuannya kini adalah rumah sakit menunggu adiknya bangun. Revan menatap kepergian sang anak, dia menghancurkan rumah untuk anak-anaknya pulang, menghancurkan cinta yang tulus.
🌸🌸🌸