Matahari baru naik sepenggalah saat Diandra duduk di ruang tamu yang sudah tak lagi rapi. Mainan berserakan, tumpukan baju kotor menggunung di pojok, dan suara tangis bayi terdengar dari kamar. Ia baru saja selesai menyapu, belum sempat sarapan, bahkan mandi pun belum.
Hari-harinya selalu dimulai dengan tergesa. Sejak Diandra menikah di usia 18 tahun, hidupnya berubah drastis. Dulu, dia gadis ceria yang suka menulis puisi dan bercita-cita jadi penulis. Tapi kini, tangannya lebih sering memegang sapu dan panci daripada pena dan kertas.
Ponselnya berbunyi. Video call dari sahabat lamanya, Dinar.
“Di..! Angkat dong, kamu ke mana aja sih?!” suara Dinar ceria dari seberang layar.
Diandra tersenyum lelah. Rambutnya diikat asal-asalan, wajah tanpa bedak, baju rumah yang sudah ternoda sedikit bekas susu formula.
“Hai Din… maaf ya, baru sempat angkat. Tadi anakku rewel banget, baru tidur sekarang.”
Dinar tampak duduk di sebuah kafe, lengkap dengan laptop dan kopi di depannya. Rambutnya tergerai rapi, lipstik tipis menghias bibir. Di belakangnya, terlihat lalu-lalang anak-anak muda yang sibuk mengetik dan berdiskusi.
“Ya ampun Diandra, kamu keliatan capek banget. Gimana kabar?” tanya Dinar, sedikit khawatir.
“Capek banget, Din. Aku belum mandi dari pagi. Anak keduaku susah tidur semalaman, suamiku udah berangkat kerja pagi-pagi. Aku sendirian ngurus semuanya.”
Dinar terdiam sesaat. Ia mengaduk kopinya pelan.
“Aku kangen kamu yang dulu, Di. Yang selalu punya cerita tentang ide-ide gila, yang suka ngajakin nulis bareng, yang nggak pernah kehabisan semangat.”
“Aku juga kangen diriku yang dulu…” Diandra menjawab pelan.
“Tapi sekarang semua waktuku cuma buat rumah, anak, suami. Kadang aku ngerasa… aku nggak sempat jadi ‘aku’ lagi.”
Dinar mengangguk penuh pengertian.
“Aku nggak bilang hidupku sempurna, Diandra. Aku juga kadang stres, dikejar deadline, tugas kampus, kerja part time. Tapi aku masih bisa ambil napas. Bisa pergi sendiri, duduk di kafe, baca buku. Kamu ngerti maksudku kan?”
Diandra mengangguk. Ada air yang mulai menggenang di matanya.
“Aku pikir menikah muda itu romantis. Bisa bangun pagi bareng suami, masak bareng, punya anak kecil yang lucu. Tapi kenyataannya… aku kelelahan. Bahkan kadang aku merasa bersalah karena berharap bisa keluar rumah sebentar aja tanpa mikirin popok dan botol susu.”
“diandra, kamu bukan ibu yang egois. Kamu cuma manusia. Wajar kalau kamu butuh waktu buat dirimu sendiri.”
“Tapi waktu itu nggak pernah ada, Din. Kadang aku cuma pengin duduk diam lima menit aja, tanpa diganggu. Tapi selalu ada yang butuh aku. Selalu ada yang nangis. Selalu ada piring kotor.”
“Aku denger kamu dulu sempat dapet beasiswa nulis ke Jakarta. Kenapa nggak kamu ambil?”
Diandra tersenyum getir.
“Karena waktu itu aku udah hamil. Aku pikir, ya udah, nanti-nanti bisa kejar lagi. Tapi ‘nanti’ itu nggak pernah datang, Din.”
Dinar menunduk, menatap cangkirnya yang sudah setengah kosong.
“Aku sedih, Diandra. Bukan karena kamu nikah. Tapi karena kamu kehilangan impianmu. Kamu lupa bahagiain dirimu.”
Diandra menatap layar, mata berkaca-kaca.
“Dulu aku kira cinta cukup. Tapi ternyata, rumah tangga itu lebih dari sekadar cinta. Harus ada kesiapan mental, kematangan, dan pengorbanan yang nggak main-main. Dan jujur… aku belum siap waktu itu.”
Dinar menatap sahabatnya lekat-lekat dari layar.
“Kalau kamu bisa balik ke masa lalu, kamu bakal tetap pilih nikah muda?”
Diandra menggeleng pelan.
“Aku bakal nikmatin masa muda. Aku bakal kuliah, nulis buku, jalan-jalan, gagal dan bangkit lagi. Aku bakal jatuh cinta dengan hidupku dulu, sebelum jatuh cinta sama orang lain.”
Dinar tersenyum lembut. “Kamu masih bisa, Di. Nggak ada kata terlambat buat mulai lagi. Tapi buat adik-adik kita, buat anak-anak muda di luar sana, mereka harus tahu… menikah muda itu bukan main-main.”
Diandra mengangguk.
“Iya, Din. Kadang aku pengin teriak ke anak-anak SMA yang bilang ‘baper’ tiap lihat drama Korea. Aku pengin bilang, 'Hei, menikah itu bukan cuma tentang pelukan dan senyum manis. Setelah menikah, hidupmu bukan cuma tentang kamu lagi.'”
Mereka terdiam sesaat.
Kemudian, Diandra berkata lirih, “Kalau ada yang baca cerita ini, tolong… jangan terburu-buru. Hidupmu belum selesai di usia 20-an. Jangan buang waktumu demi mimpi orang lain. Kejar dulu mimpimu sendiri.”
Dan di layar kecil itu, dua sahabat yang hidupnya berseberangan saling menyemangati.
Yang satu sibuk mengejar mimpi.
Yang satu sibuk bertahan.
Tapi keduanya sepakat: menikah muda itu tak seindah drama Korea.
---
Diandra kini berusia 23 tahun. Dan ya, aku sudah punya dua anak, seorang suami, dan segudang pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Mungkin kalau kamu lihat fotoku di media sosial, kamu akan bilang, “Wah, hidup Diandra kayaknya udah enak banget. Punya keluarga muda, anak lucu, suami tampan.”
Tapi kamu salah.
Dulu, waktu aku masih 18 tahun, aku tergila-gila sama drama Korea. Tentang cowok romantis yang selalu mengantar jemput, suami yang suka masak, pelukan hangat di dapur saat istri kelelahan. Rasanya manis sekali. Aku pikir menikah muda adalah jawaban dari semua kebahagiaan.
Aku bahkan bilang ke temanku, “Mending nikah muda, daripada pacaran lama tapi nggak jelas. Kan lebih halal.”
Lalu aku benar-benar melakukannya. Aku menikah setelah lulus SMA, dengan cowok yang kupikir seperti pemeran utama di drama Korea itu. Dia lucu, perhatian, dan sempat bilang, “Aku mau punya anak cepat, biar pas anak besar kita masih muda.”
Dulu aku tersipu. Sekarang, aku cuma bisa tertawa pahit.
---
Pukul lima pagi, aku sudah bangun. Anak keduaku masih bayi, yang pertama baru berusia empat tahun dan suka tantrum. Suamiku berangkat kerja jam enam. Aku harus masak, nyuci, ngepel, mandiin anak, nyuapin mereka, belum lagi urusan popok dan ompol.
Aku sering menangis diam-diam saat malam. Bukan karena aku tidak mencintai anak-anakku. Tapi karena aku belum selesai mencintai diriku sendiri.
Aku ingin pergi ke pantai, naik kereta ke kota seberang, duduk di coffee shop sambil baca novel, atau cuma menikmati sore tanpa tangisan bayi. Tapi sekarang, semua itu mewah. Bahkan mandi 10 menit tanpa gangguan pun sudah seperti liburan.
Teman-temanku? Mereka baru mulai kuliah. Ada yang backpacking ke luar negeri, ikut komunitas teater, belajar hal-hal baru. Mereka tumbuh. Sementara aku? Tertinggal, terjebak di rumah, mencuci baju yang sama untuk kesekian kalinya.
Kadang aku iri.
Kadang aku marah pada diriku yang dulu, yang berpikir cinta saja cukup untuk membangun rumah tangga. Ternyata, cinta tak bisa membayar listrik, tak bisa mengurus anak saat demam tinggi, dan tak cukup kuat jika mentalmu belum siap.
---
Kalau kamu masih muda, tolong… dengarkan ini baik-baik:
Menikah muda itu bukan pencapaian. Itu tanggung jawab besar yang tidak akan ditunda hanya karena kamu merasa lelah.
Jangan menikah hanya karena iri lihat feed Instagram atau ingin hidup romantis seperti drama Korea. Itu cuma ilusi kamera. Hidup nyata lebih kompleks dari sekadar adegan pelukan atau makan malam manis.
Nikmatilah masa mudamu.
Pergi ke tempat yang ingin kamu datangi. Coba hal baru. Gagal dan belajar lagi. Kenali dirimu sendiri lebih dalam. Bangun mimpi-mimpimu. Karena setelah menikah, waktumu bukan lagi sepenuhnya milikmu.
Menikah itu bukan akhir cerita cinta—itu justru permulaan cerita yang penuh kerja keras dan pengorbanan.
Dan kamu harus sangat, sangat siap, jika ingin menjalaninya.
Kalau belum? Tak apa. Nikmati dulu hidupmu.
Bukan berarti tidak akan menikah, tapi nanti, saat kamu benar-benar siap. Dengan hati yang utuh, dan mimpi yang tidak kau korbankan.
---SELESAI--