Jevanka Gamoran. Anak dari seorang CEO ternama, terlahir di keluarga besar Gamoran, terkenal memiliki visual yang sempurna, mata indah sang Ibu, dan wajah tegas sang Ayah. Semua orang selalu menganggapnya sebagai anak yang paling beruntung, bukan hanya terlahir di keluarga yang kaya, namun juga memiliki visual yang sempurna. Sayangnya, itu tak sepenuhnya benar. Pasalnya, Jevanka sendiri tak pernah merasa demikian. Karena kenyataannya, tak seindah yang orang lihat.
Dipandanginya pantulan wajah yang muncul dari dalam air. Jevanka terkekeh miris, merasa kasihan pada pemilik wajah yang berada di dalam air itu, yang tak lain adalah pantulannya sendiri. Kini wajah itu penuh dengan luka lebam. Setiap hari, hampir setiap hari ia selalu pulang dengan kondisi yang sama, berharap sang Ibu bisa memberikan perhatiannya, berharap sang Ayah bisa memarahinya, atau sekedar meliriknya. Tapi apa? Tak ada yang ia dapatkan, semua yang ia lakukan seakan sia-sia.
Ia hanya anak yang tidak pernah di'inginkan, ia hanya anak yang lahir karena ketidaksengajaan. Tapi apa salahnya? Kenapa harus dia yang disalahkan? Kenapa harus dia yang merasa sakit? Lebih sakit dari semua luka di wajahnya.
"Ternyata percuma, karena pada dasarnya, gue emang gak akan pernah diakui sama dua orang itu. Sedikit pun, gak akan pernah!" ucapnya tersenyum miris. Senyuman yang dengan jelas menggambarkan rasa sakitnya, rasa sakit yang selalu ia pendam.
"Kalo emang gue gak dibutuhin, terus kenapa gak dibunuh aja dari sejak gue muncul di dunia ini?"
"Kalo emang kalian gak mau berdosa, se'enggak kalian tanggung jawab,"
"...Kalian pikir, dengan ngehidupin gue pake uang, gue bakal seneng? Gue bakal bahagia? Gue bakal ngerasa cukup? Itu semua bahkan gak sama sekali gue mau, karena kalian sendiri bahkan gak pernah nanya ke gue, nanya apa yang gue mau, apa yang gue inginin,"
Jevanka terkekeh. "Jangankan bertanya, berbicara atau hanya sekedar melirik saja, gak pernah,"
Kini ia tertawa, tertawa mengingat setiap perlakuan keduanya, tertawa dengan semua pendapat orang bahwa ia begitu sempurna, tertawa pada takdirnya sendiri.
"Apa gue udah sesempurna itu? Gue bahkan benci sama hidup gue sendiri," ucapnya menekan tiap kata terakhir yang ia keluarkan,
rasa bencinya kian dalam, rasa benci yang sudah ia tahan sedari dulu. Jevanka melangkah, mendekati bibir danau, semakin dekat, dan berhenti tepat di ujung bibir danau itu. Tatapannya kosong, ia menatap pantulan diri yang kini semakin jelas, menutup mata, dan berniat untuk membiarkan dirinya jatuh ke danau yang begitu dalam, membiarkan tubuhnya tenggelam ke sana, berniat mengakhiri semuanya, semua rasa sakit yang selama ini ia tahan. Namun saat tubuhnya akan terjatuh, sebuah tangan menariknya dengan cepat hingga ia terjatuh ke belakang.
"Awch!"
Seseorang meringis tepat di bawahnya, suara seseorang yang tidak ia kenali. Orang itu dengan kasar mendorong tubuhnya menjauh, hingga ia terguling ke sebelahnya.
"Lo gila ya!?" sentak cewek yang kini berada sampingnya, menatap aneh ke arah dirinya.
Jevanka hanya mengerutkan keningnya, entah kenapa saat ia jatuh tadi membuat kepalanya terasa pusing, tubuhnya lemas, bahkan pandangannya mulai tak jelas. Kafana menatap cowok itu aneh, melihat setiap luka lebam di wajah mulus itu. Tangannya tanpa sadar tergerak, menyentuh lebam yang berada di pipi Jevanka, membuat sang pemilik wajah meringis kesakitan, dan langsung bangun dengan cepat.
"Lancang banget lo jadi cewek!" bentak Jevanka tiba-tiba, menepis kasar tangan kafana dari wajahnya.
Kafana hanya diam, tampak tak menggubris perkataan cowok itu, matanya hanya terfokus pada lebam di pipi Jevanka saat ini.
"Lo habis berantem? Keliatannya parah banget," ucap Kafana, malah bertanya balik.
Membuat cowok itu kini terdiam. Baru kali ini, ada orang yang menanyakan tentang luka nya, meski itu hanya sebuah lebam, karena pada umumnya, yang semua orang perhatikan darinya, hanya visual dan kesempurnaannya saja. Tanpa berniat untuk menjawab pertanyaan cewek itu, Jevanka memilih berdiri, berniat akan pergi dari sana. Tapi sebelum itu, lagi-lagi sebuah tangan menahannya, tangan yang sama, tangan yang telah menariknya dari niat buntuhnya beberapa waktu lalu.
"Maaf kalo gue lancang lagi ke elo, tapi gue rasa, lebam di muka lo perlu diobatin," ucap Kafana, masih menahan tangan Jevanka, berharap cowok itu mau menurutinya.
Tapi ternyata itu tak sesuai dengan harapannya, sampai Jevanka menepis tangannya, membuat genggaman itu terlepas begitu saja.
"Gak ada urusannya sama lo," jawab Jevanka cukup ketus.
Belum sampai di situ, Kafana kembali menahannya, tetap bersikeras untuk mengobati luka di wajah cowok itu. Kali ini ia menarik lengan cowok itu dengan sedikit kasar, membuat sang pemilik lengan agak terkejut dengan kelakuannya yang tiba-tiba itu.
"Lo apa-apaan sih!?"
"Kali ini aja, jangan keras kepala, gue cuma mau ngobatin luka lo. Gak lebih,"
Jevanka terdiam, hanya menatap apa yang dilakukan cewek itu sekarang, keningnya nampak sedikit mengerut, bertanya akan alasan dari niat cewek di depannya saat ini. Padahal, ia bahkan tak pernah mengenalnya, atau bahkan hanya sekedar bertemu saja. Kafana terlihat membuka raslating tas miliknya, mengeluarkan kotak kecil berwarna putih yang selalu ia bawa ke mana-mana. Lantas membuka kotak itu, lalu mulai mengeluarkan salep dan plaster luka.
"Ada ya orang kayak lo? Bawa obat di dalam tas," komen Jevanka, menatap aneh cewek itu, sedangkan si cewek hanya diam, dan perlahan mulai mengobati luka lebam di wajahnya. Jevanka terus meringis, mencoba menahan rasa nyeri di di wajahnya, saat kapas lembut itu menyentuh pipi Jevanka yang penuh dengan lebam.
"Gue udah biasa soal ini, dari kecil, gue emang suka ceroboh,"
"Makanya nyokab gue sering nyimpen kotak obat di tas gue, buat jaga-jaga," jelas Kafana, sembari terus mengobati luka lebam milik Jevanka. Ia kemudian memasang plaster di wajah Jevanka, setelah selesai dengan itu, ia lalu membereskan kembali kotak obat miliknya, dan menyimpannya lagi di tas. Jevanka lagi-lagi hanya diam, terus menatap cewek di depannya dengan tatapan yang sama.
"Luka itu gak seharusnya dibiarin gitu aja, karena dia gak akan sembuh sendiri, tanpa lo mau nyembuhin dia," ucap Kafana tersenyum tipis.
"Dan dia, gak semandiri itu, sampe bisa nyembuhin diri dia sendiri,"
"Dia juga butuh orang lain buat disembuhin," sambungnya lagi, kafana terlihat memakai kembali tasnya, lalu berdiri, berniat akan pergi.
"...Mungkin, yang lo liat, semua orang selalu gak peduli tentang rasa sakit lo, tapi gak semua orang bisa berfikir hal yang sama. Gue harap, lo gak mikir sebuntuh itu, sampe mau berniat bodoh kaya tadi,"
Kafana kini berbalik, melangkah untuk segera pergi dari sana, tapi sebelum itu, suara Jevanka menahannya untuk kembali melangkah. Jevanka berdiri, menatap dirinya. "Gue gak kenal sama lo, dan lo gak usah sok kenal dan sok tau tentang gue. Gue juga gaperlu bantuan lo, dan yang jelas, gue gak sebodoh yang lo pikirin," ucap Jevanka, jelas merasa kesal dengan kata-kata Kafana barusan.
Kafana hanya diam, ia menoleh menatap Jevanka, lalu tersenyum simpul. "Terkadang, orang bisa kenal lo, tanpa lo harus kenal sama dia dulu,"
setelahnya, Kafana langsung pergi, meninggalkan Jevanka yang masih terheran sendiri di tempatnya, tak mengerti dengan maksud perkataan Kafana barusan. Sekarang pun ia masih berdiri diam di tempatnya, masih mencerna tiap perkataan yang dilontarkan cewek itu, beberapa waktu lalu.
*kalo semisal banyak yg suka, bakal dilanjut, makasih buat yang udah baca atau sekedar mampir di cerpen ini. Bye~