Audy melangkah pelan menyusuri koridor sekolah dengan degup jantung yang tak bisa ia kendalikan. Pandangannya melayang ke arah lapangan basket, di mana seorang cowok tinggi semampai dengan rambut cepak rapi dan wajah dingin sedang duduk santai di bangku besi sambil memainkan botol minum. Tingginya mencolok, tubuhnya tegap, dan tatapan matanya tenang—keren banget, menurut Audy.
“Ko, siapa sih nama cowok baru kelas satu yang tinggi banget itu?” tanya Audy pada Koko, ketua OSIS sekaligus teman dekatnya sejak kelas satu.
Koko menoleh cepat, lalu menyipitkan mata ke arah yang sama dengan Audy. “Oh, yang itu? Namanya Udien. Dia anak baru, pindahan dari Makassar. Sekarang kelas X IPA 2.”
Audy berusaha bersikap biasa saja.
"Yg tinggi ganteng tu"
“Iya... kalau yang tinggi itu... Udien namanya ya? Kenapa?
"Gak, nanya aja kok.”
Dia berusaha menahan senyum dan berlalu begitu saja. Tapi di dalam hatinya, dunia seperti habis disiram kembang api. Udien. Nama itu langsung menancap di memorinya.
Sejak hari itu, Audy makin sering memperhatikan Udien. Setiap kali berpapasan di kantin, di koridor, bahkan di lapangan saat upacara, Audy selalu mencari sosoknya. Kadang, dia sengaja lewat di depan kelas X IPA 2 hanya untuk melirik sejenak. Dan kalau sedang beruntung, pandangan mereka akan bertemu—Udien tak pernah menyapa, tapi selalu membalas senyuman Audy dengan senyuman tipis yang bisa bikin lututnya lemas.
“Astaga, Audy... lo udah kayak anak SMP naksir kakak kelas,” celetuk Cika, sahabatnya, suatu sore.
“Biarin aja. Aku suka lihat dia senyum. Lucu tahu.”
Dan memang begitu. Audy tahu kalau dia sudah jatuh hati—keras.
Waktu terus berjalan, dan menjelang ujian sekolah, entah bagaimana hubungan mereka mulai menghangat. Kadang, Udien menyapa pelan, atau duduk di dekat Audy saat nunggu pelajaran mulai. Mereka bahkan pernah ngobrol lama tentang band kesukaan, film horor, dan makanan pedas. Meski begitu, Audy masih menahan diri.
“Aku gak berani nembak duluan,” gumamnya pada diri sendiri. “Kalau dia suka, harusnya dia yang ngomong dulu.”
Tapi diamnya Udien tak pernah berubah. Ia tetap misterius, tetap membuat Audy bertanya-tanya. Dan meskipun Audy tahu dia terkesan kecentilan, ia tetap menikmati setiap momen kecil bersama Udien. Tawa, lirikan mata, bahkan diam mereka terasa menyenangkan.
Hingga pada suatu malam, sekolah mengadakan Acara Seni , lomba baca puisi antar sekolah. Ada 5 sekolah SMA yg di undang masing masing sekolah mengutus 5 siswa siswi yg senang puisi.Suasananya meriah: lampu gemerlap, musik menggema, dan aula dipenuhi siswa-siswi dari berbagai berbagai sekolah. Audy berdandan cantik malam itu—gaun hitam simpel, rambut digerai, dan sedikit lip gloss. Dia tampak dewasa dan menawan.
Di tengah keramaian, saat Audy sedang mengambil minuman, seseorang menyapanya.
“Hai, kamu Audy ya?”
Dia menoleh dan menemukan seorang cowok yang benar-benar memikat berdiri di hadapannya. Rambutnya sedikit gondrong, senyumnya manis, dan matanya... aduh, bisa bikin leleh es batu.
“Iya, kamu siapa?”
“Denny. Dari SMA 5. Temennya Udien.”
Audy terbelalak. “Temennya Udien?”
“Iya, kita dulu satu SMP di Makassar.” Denny tertawa. “Tapi kayaknya aku gak salah lihat... kamu lebih cantik dari yang diceritain Udien.”
Audy menunduk, pipinya memanas. Belum sempat ia menjawab, Denny melanjutkan, “Mau jalan sebentar? Ke taman belakang? Lebih sepi di sana.”
Audy ragu sesaat. Ia menoleh mencari Udien—tapi tak melihat sosoknya. Entah kenapa, ia mengiyakan. Mereka pun melangkah berdua, meninggalkan aula yang bising.
Tapi ternyata, saat mereka baru saja melewati pintu aula, Udien muncul dari arah toilet. Pandangannya langsung jatuh pada Audy dan Denny yang berjalan berdampingan. Tatapan Udien kosong, tapi sorot kecewa itu tidak bisa disembunyikan.
Audy langsung berhenti. Jantungnya mencelos.
“Udien...” gumamnya pelan. Tapi cowok itu hanya menatap, tanpa berkata apa pun. Senyum tipisnya tidak muncul. Denny, yang tak sadar suasana mulai memanas, malah meraih tangan Audy dan menariknya pelan.
“Ayo, yuk.”
Dan Audy ikut.
Setiap langkah terasa berat. Ada rasa bersalah yang membuncah di dada, tapi ia tetap melangkah menjauh dari sosok yang selama ini ia tunggu-tunggu.
“Salah sendiri,” pikirnya getir. “Kenapa gak pernah nembak? Kenapa diam terus? Aku nungguin, loh...”
Malam itu Audy duduk di taman dengan Denny, mendengarkan ceritanya yang lucu dan menarik. Tapi pikirannya tetap melayang pada sosok Udien—senyum tipisnya, tatapan kalemnya, dan keheningan yang penuh makna. Denny mungkin lebih ganteng, lebih percaya diri, lebih “wah”—tapi kenangan yang memenuhi hati Audy tetap tentang Udien.
Besoknya di sekolah, suasana tak lagi sama. Udien tak menyapa. Ia bahkan tak menoleh saat Audy lewat. Itu menyesakkan.
Audy mencoba menghampiri di depan kelas, tapi hanya sempat berkata, “Udien, aku...”
Cowok itu menatapnya datar. “Gak apa-apa kok. Santai aja.”
Lalu ia pergi, meninggalkan Audy dengan hati remuk.
Hari-hari berlalu, ujian selesai, kelulusan semakin dekat. Audy lulus dengan nilai yang baik, tapi senyum di wajahnya tak pernah lagi secerah dulu.
Di hari terakhir, saat semua siswa berkumpul untuk foto-foto, Udien menghampirinya.
“Selamat ya, Kak Audy. Semoga kuliahnya lancar.”
Audy hanya mengangguk. “Makasih...”
Mereka saling menatap sejenak, sebelum akhirnya Udien tersenyum—senyum tipis yang dulu membuat Audy jatuh cinta.
“Maaf ya kalau aku terlalu lama diam. Mungkin kalau waktu bisa diputar... aku akan lebih cepat ngomong.”
Audy tersenyum pilu. “Mungkin kalau waktu bisa diputar... aku juga gak akan pergi sama Denny malam itu.”
Mereka tertawa kecil. Tak ada dendam. Hanya penyesalan ringan yang perlahan menguap di bawah langit biru.
Cinta pertama memang jarang jadi yang terakhir. Tapi tetap jadi yang paling sulit dilupakan.
Selesai