Andhika duduk termenung di cafe yang didepannya terdapat sebuah rumah sakit jiwa. Pikirannya kembali mengulang peristiwa yang membuat kelima teman dan pacarnya itu menjadi gila.
Ia ingat sekali waktu itu ia, Marissa, Citra, Aulia, Bella, Roy dan pacarnya Cintya melakukan perjalanan di sebuah daerah terpencil yang memiliki potensi alam yang luar biasa.
Saat sampai disana, penduduk desa menerima dengan baik kedatangan mereka dan bahkan diizinkan menginap di salah satu rumah warga.
Para gadis akan bermalam di rumah Mbok Darmi, rumah seorang janda beranak satu. Sedang Andhika dan Roy akan tidur di rumah salah seorang tetua desa.
Hari pertama mereka disana semua baik-baik saja bahkan mereka diantarkan jalan-jalan oleh tetua desa sendiri.
"Tuk, itu rumah siapa?" tanya Citra menunjuk rumah yang tepat berada di tengah danau.
Ekspresi muka Tuk Zimar berubah seketika. Ia yang awalnya begitu semangat menjelaskan sejarah mengenai desa, langsung terdiam.
" Tuk," panggil Roy saat melihat Tuk Zimar tak bersuara.
"Rumah itu sudah lama kosong, tapi Tuk harap kalian tidak kesana, bahaya," pesan Tuk Zimar dan kembali berjalan.
Andhika, Roy, Marissa, Citra, Aulia dan Bella hanya mengangguk mengerti tak ingin bertanya lebih jauh.
Sedangkan Cintya diam mengamati rumah itu, rasa ingin tahunya menyeruak ke permukaan. Ia menajamkan penglihatannya saat melihat siluet seorang gadis yang muncul di rumah itu.
Saat ia mendekati pinggir danau dilihatnya sosok itu melambaikan tangan padanya, rambutnya yang panjang menutupi mukanya.
"Cintya!"
Ia terperanjat kaget saat merasakan tepukan di bahunya, ia langsung menoleh dan melihat Dhika yang menatapnya heran.
"Ada apa?" tanya Dhika saat melihat kening Cintya yang berkerut dalam.
"Tidak, tidak ada apa-apa," jawab Cintya dan kembali melirik rumah itu, tapi sosok itu sudah hilang.
"Baiklah, ayo...kita sudah ketinggalan jauh." Dhika menggenggam tangan Cintya dan mulai berjalan mengikuti kelima temannya yang sudah cukup jauh dari mereka.
Cintya berjalan pelan dan sekali lagi menoleh ke rumah itu, tapi tidak ada apa-apa disana. Mungkin aku salah lihat, batin Cintya.
Sudah dua hari mereka tinggal di desa ini, dan mereka semakin dibuat penasaran dengan rumah yang ada di tengah danau.
Berkali-kali mereka mencoba menanyakan, siapa yang pernah tinggal disana namun semua warga hanya diam dan melarang mereka untuk mendatangi rumah itu.
"Aku punya rencana, bagaimana kalau kita kesana malam ini," usul Marissa kepada teman-temannya.
"Aku tidak setuju, semua warga disini sudah memperingati kita untuk tidak mendekati rumah itu, aku tidak ingin mengambil resiko," tolak Andhika segera pergi menjauh.
"Tapi ... aku bisa mati penasaran jika belum memeriksa rumah itu," kata Aulia berapi-api.
"Roy, bagaimana menurutmu?" tanya Bella pada Roy yang dari tadi diam saja.
"Aku mengikut saja." Roy mengendikkan bahunya.
"Kita harus tetap kesana malam ini, Cintya tolong bujuk Dhika agar mau ikut," kata Citra menatap Cintya.
Cintya mengangguk menyetujui kemudian segera berlari mengejar Dhika yang sudah berjalan cukup jauh.
Malam harinya, Roy, Marissa, Citra, Bella, Aulia, Cintya dan Dhika berjalan mendekati danau. Ya, Dhika ikut setelah dibujuk habis-habisan oleh Cintya.
Dhika bersedia menemani asal ia tidak ikut masuk ke dalam, awalnya Cintya tidak setuju namun karena Dhika keras kepala, akhirnya semua setuju Dhika tidak ikut masuk ke dalam.
Tepat di pinggir danau, mereka menemukan sebuah perahu milik salah seorang warga. Roy menyarankan agar mereka meminjam perahu ini sebentar.
Setelah semuanya naik, Dhika dan Roy mulai mendayung perahunya mendekati rumah itu. Sesampainya disana, Andhika merasakan hawa yang tidak enak dan meminta mereka agar kembali saja.
Tetapi mereka menolak karena rasa keingintahuan yang besar. Andhika mendesah lelah lalu kembali duduk di perahu, ia mengambil handphone dan memasang earphone di telinganya.
Roy, Marissa, Citra, Bella, Aulia dan Cintya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Dhika.
Mereka kemudian segera berbalik dan di depan sana sudah terpampang rumah itu. Bella menelan ludahnya gugup, bagaimana tidak rumah ini begitu gelap dan terlihat misterius.
Roy memimpin mereka dan perlahan membuka pintu rumah. Suara decitan pintu begitu nyaring terdengar menambah kesan horor di sekeliling mereka.
Suasana di dalam rumah begitu gelap, Roy menghidupkan senter diikuti oleh para gadis itu. Mereka melangkah beriringan dan mulai memeriksa rumah yang hanya terdiri dari satu petak itu.
Di sudut ruangan terlihat rak yang di dalamnya tersusun buku-buku yang penuh dengan debu. Sedang di lantai banyak tanaman yang merambat disana-sini.
Dilihat dari sisi manapun sudah jelas jika rumah ini sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Pandangan mereka teralih pada sebuah lukisan yang menempel di dinding.
Cintya berjalan mendekat dan menatap foto itu dengan seksama. Pikirannya sibuk mengingat dimana ia pernah melihat wanita yang ada di dalam lukisan.
Bella mendekati rak dan mengambil salah satu buku. Ia meniup debunya dan mulai membalik sampulnya.
Dan mukanya memucat saat membaca halaman pertama buku itu.
M A T I
Dan bertepatan dengan itu pintu rumah tertutup kencang. Buku-buku berhamburan di lantai, lukisan mulai bergetar kencang dan saat itulah Cintya ingat dimana ia pernah melihat wanita ini.
Wanita ini adalah sosok yang melambaikan tangan padanya 2 hari yang lalu. Mereka berenam panik dan berlari menuju pintu, namun nihil sekuat apa pun mereka berusaha mendobrak pintu dan berteriak, pintu itu tidak terbuka sama sekali.
Dan mereka berteriak ketakutan saat melihat sosok seorang wanita dengan wajah pucat dengan rambut terurai panjang tersenyum mengerikan di belakang mereka.
Citra pingsan karena ketakutan dan disusul Cintya yang tiba-tiba jatuh dan langsung kejang-kejang, tubuhnya melayang dan terempas kuat ke lantai.
Darah menyembur dari mulut Cintya dan ia kembali tidak sadarkan diri.
Aulia, Marissa dan Bella hampir kehilangan akal saat Roy juga ikut menghilang. Ditambah sosok itu makin mendekati mereka dan bahkan dalam sekejap sudah mencekik Aulia dan Marissa bersamaan.
Bella menangis histeris saat Aulia dan Marissa sudah pingsan karena kehabisan napas. Bella terus memundurkan badannya hingga di pojok ruangan saat sosok itu makin mendekatinya.
"T-tidak ... j-jangan mendekat ... AAAAAAkkh!" Bella berteriak kencang sebelum kegelapan perlahan menyambut dirinya dan ia jatuh pingsan.
Di sisi lain...
Dika menatap pintu rumah itu yang tertutup, "Kenapa mereka lama sekali?" tanya Andhika heran.
Menyimpan handpone nya di saku, Andhika memutuskan untuk menyusul mereka, entah kenapa firasatnya makin buruk saat tidak mendengar suara mereka.
Ia bergegas membuka pintu itu dan langsung menbeku saat melihat Cintya dan teman-temannya sudah tergeletak di lantai.
Andhika panik dan segera meminta bantuan para warga desa. Para pria membantu Andhika mengevakuasi teman-temannya.
Andhika cemas sekali karena tidak bisa membangunkan teman-temannya. Ia kembali meminta bantuan Tuk Zamir untuk memeriksa keadaan mereka.
Awalnya warga desa dan Tuk Zamir marah kepada mereka karena tidak mematuhi aturan yang telah dibuat. Namun mereka iba saat melihat wajah memelas Dhika.
"Tolong Tuk, bantu mereka," pinta Dhika memelas.
"Hhh ... sebenarnya kami bisa menyadarkan mereka kembali, tapi aku tidak bisa menjamin mereka akan kembali normal seutuhnya," jelas Tuk Zamir.
Andhika mengangguk setuju asal teman-temannya bisa sadar kembali. Tuk Zamir mengambil botol yang disodorkan oleh anaknya, kemudian meminumkannya pada mereka berlima.
Tak berapa lama Cintya, Bella, Aulia, Marissa dan Citra sadar kemudian perlahan bangun dan duduk.
Andhika mengernyit bingung saat melihat mereka tidak bicara dan memandang kosong ke depan.
" Tuk?"
Dhika tidak bisa melanjutkan kata-katanya, seolah mengerti Tuk Zimar pun berbicara.
"Sudah kukatakan bukan, jika mereka kemungkinan tak akan bisa kembali normal."
Andhika menatap nanar teman-temannya. Dia merasa bersalah, seharusnya ia lebih tegas menolak dan tidak langsung menyetujuinya begitu saja.
"Sebenarnya kejadian ini pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Mereka nekat dan yang terjadi sama persis dengan yang dialami kalian saat ini," jelas Tuk Zamir.
Andhika hanya tertunduk lesu menanggapinya. Tapi tiba-tiba ia teringat dengan Roy, astaga Dhika hampir melupakannya, sekarang dimana dia? Apa jangan-jangan dia masih terperangkap di dalam?
Dhika baru saja ingin kembali ke rumah itu untuk mencari Roy, namun Tuk Zamir segera menghentikannya.
"Hei kau mau kemana nak?" Cegat Tuk zamir.
"Roy tuk, dia tidak ada disini. Aku akan mencarinya," kata Dhika cemas.
"Kau ingin seperti teman-temanmu ini?"
Andhika menggeleng dan kembali duduk di samping Tuk Zamir.
"Tapi apa yang terjadi pada Roy, Tuk? Bagaimana aku menjelaskan hal ini pada orang tuanya? " tanya Dhika bertubi-tubi.
"Tenang dulu nak, kalau boleh tahu siapa nama orang tuanya nak?" tanya Tuk Zamir.
"Biar nanti kami bantu jelaskan pada orang tuanya," sambung salah seorang warga.
"Ayahnya bernama Dion dan ibunya Resti, Tuk," jelas Dhika.
Semua warga terdiam, hingga suara Tuk Zamir memecahkan keheningan itu.
"Zainal, tolong ambil foto pria itu." Suruh Tuk Zamir pada salah satu anaknya.
Tidak berapa lama, Zainal kembali dengan membawa sebuah foto yang sudah agak pudar gambarnya.
"Apakah Dion itu orang ini?" tanya Tuk Zamir menyerahkan foto itu pada Dhika.
"Astaga, bagaimana bisa..." Andhika menatap foto itu tidak percaya.
"Jadi dugaan kita tidak salah, wajahnya memang sangat mirip dengan ayahnya," kata salah seorang warga.
"Ternyata karma itu memang berlaku, tapi kasihan anaknya yang jadi korban," sambung Mbok Darmi.
"Memangnya apa yang terjadi, Tuk?" tanya Andhika bingung.
"Dulu ... Dion-Ayahnya Roy pernah kesini." Tuk Zamir memulai ceritanya.
"Benarkah Tuk ? "
"Iya dan dia juga tertarik pada desa kami persis seperti kalian. Warga desa ini menyambutnya dengan baik karena sikapnya yang ramah, sopan, dan murah senyum. Waktu itu ia begitu tertarik pada Ningrum, gadis yang tinggal di rumah itu." Tuk Zamir menunjuk rumah yang berada di tengah danau.
"Ningrum adalah kembang desa, kecantikannya jangan ditanyakan. Dion saja begitu terpesona padanya. Tanpa pikir panjang Dion mengajak Ningrum untuk menikah dengannya."
"Ningrum menolak karena selain mereka baru saja kenal, ia juga beralasan jika ia belum tahu asal-usul Dion."
"Dion gelap mata dan berusaha untuk memperkosa Ningrum. Tapi Ningrum berhasil memukul kepala Dion dengan gelas yang ia pegang."
"Sayangnya hal itu tak terlalu berefek banyak pada Dion. Nyatanya hal itu malah membuat Dion semakin geram, pada akhirnya ia menganiaya Ningrum hingga tewas."
"Sebelum mati Ningrum pernah bersumpah, siapa pun yang berani memasuki rumahnya maka ia akan membuat orang itu menjadi gila sebelum ia menemukan orang yang membunuhnya."
"Dion membunuh Ningrum dan menguburkannya di bawah rumah Ningrum sendiri. Kami mengetahuinya setelah Mbok Darmi didatangi arwah Ningrum malam harinya."
"Kenapa tidak dipindahkan saja kuburnya, Tuk?" tanya Andhika heran.
"Kami terlalu takut karena tidak ada pengecualian dalam sumpahnya itu," jelas Mbok Darmi.
"Jika begitu mengapa aku tidak terkena sumpah itu?" tanya Andhika.
"Mungkin karena Ningrum sudah mendapatkan apa yang diinginkannya," jawab Zainal.
"Jadi bagaimana dengan Roy, apakah ada harapan untuknya? "
Semua terdiam, namun tiba-tiba saja salah seorang warga kesurupan.
"Tentu saja tidak! " Sontak semua orang menoleh pada Lastri, warga desa ini. Wajah Lastri berubah pucat dan terlihat menyeramkan.
"Ningrum? " tanya Tuk Zamir memastikan.
"Ya ini aku, Ningrum. Wanita yang disiksa tapi tak pernah ada yang menolongku," raung Ningrum kesakitan.
"Maafkan kami, Ningrum," lirih Mbok Darmi.
"Semuanya sudah berakhir, kini aku bisa tenang meninggalkan dunia ini. Walau ayahnya yang berbuat biarlah anaknya yang bertanggung jawab." Ningrum terkekeh dan ia langsung keluar dari tubuh Lastri.
Ratna, ibu Lastri segera membawa anaknya pulang diikuti beberapa keluarganya. Andhika mendesah lelah, ia begitu sedih melihat keadaan Cintya dan teman-temannya, apalagi tidak ada yang dapat ia lakukan agar mereka kembali normal.
Andhika tersadar dari lamunannya saat seorang waiters mengantar pesanannya. Mengucapkan terima kasih, waiters itu pun segera beranjak meninggalkan meja Andhika.
Mengenai Roy, ia baru ditemukan setelah seminggu menghilang. Namun Roy tidak seberuntung temannya yang lain, ia ditemukan mengambang di danau dalam keadaan sudah tidak bernyawa.
Keluarga Roy sangat terpukul apalagi ayahnya Roy, Dion. Dion begitu menyesali perbuatannya dulu dan saat ini beliau malah sakit-sakitan setelah kehilangan putra semata wayangnya itu.
Peristiwa ini akan menjadi pelajaran dalam hidup Andhika yang tidak akan pernah ia lupakan.
The End