---
## Kabut di Pulau Terlarang
Dr. Aruna melangkah turun dari kapal kayu yang bergoyang, napasnya menyesuaikan diri dengan udara lembap yang terasa asin. Pulau kecil di depannya diselimuti kabut tebal yang tidak pernah terangkat, seolah menjadi tirai misteri yang melindungi atau menyembunyikan sesuatu. Hanya jalur laut yang memungkinkan perjalanan ke sini, menjadikan pulau ini terisolasi dari dunia luar. Sebagai dokter relawan, Aruna datang dengan semangat membara, siap mengabdikan ilmunya di desa terpencil ini.
Sambutan yang ia terima hangat, jauh melebihi dugaannya. Kepala Desa, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah dan mata penuh kearifan, menyambutnya di dermaga. Penduduk desa mengelilingi mereka, wajah-wajah polos mereka memancarkan rasa ingin tahu dan harapan. Aruna segera merasa diterima. Dalam beberapa hari, ia berhasil mendirikan klinik darurat di sebuah bangunan kosong, mempromosikan pentingnya kesehatan, dan mengakomodasi diri dengan kehidupan sederhana di desa itu. Ia bahkan sempat mengagumi keindahan alam pulau, meskipun selalu tersembunyi di balik selubung kabut.
Suatu sore, saat Aruna sedang menikmati teh hangat di beranda klinik, seorang tetua desa menghampirinya. Pria itu, dengan rambut putih dan tatapan teduh, berbicara dengan lembut. "Nak, di belakang desa ini ada gunung. Di sana ada terowongan, reruntuhan dari perang lama. Terowongan itu terhubung langsung dengan laut, tempat ratusan prajurit gugur dan banyak penduduk, termasuk para dokter, menjadi korban. Jangan pernah datang ke sana, ya?"
Aruna mengangguk, menghormati peringatan itu. Sifatnya memang ramah dan sopan, namun di balik itu, tersembunyi jiwa petualang yang sembrono dan rasa penasaran yang tak terbendung terhadap hal-hal tak biasa. Ia berjanji dalam hati akan menghormati nasihat tetua itu.
Minggu pertama berjalan lancar. Klinik selalu ramai, dan Aruna menikmati pekerjaannya. Namun, seminggu kemudian, saat Aruna mengantarkan obat ke rumah Kepala Desa, tiba-tiba seekor anjing hitam berbulu kusut menabrak kakinya. Anjing itu menyalak riang, lalu dengan sigap menyambar ponsel Aruna yang terjatuh dari saku. Dalam sekejap, anjing itu berbalik dan lari, menuju ke arah gunung terlarang.
Aruna ragu. Peringatan tetua itu terngiang di telinganya. Tapi ponselnya berisi data penting pasien, catatan medis, dan juga beberapa foto kenangan. Rasa penasaran dan urgensi untuk mendapatkan ponselnya kembali mengalahkan keraguannya. "Hei! Kembali!" teriaknya, mulai mengejar anjing itu.
Perjalanan ke gunung ternyata lebih sulit dari yang ia duga. Pohon-pohon menjulang tinggi dengan akar-akar yang melintang seperti ular raksasa, batu-batu licin, dan jalan berlumpur yang terjal. Aruna harus berhati-hati melangkah, beberapa kali hampir terpeleset. Kabut semakin tebal saat ia memasuki hutan di lereng gunung. Suara gonggongan anjing terus menjadi pemandu, semakin samar seolah ditarik ke dalam kegelapan.
Akhirnya, setelah perjuangan yang melelahkan, Aruna tiba di sebuah bukaan di lereng gunung. Itu adalah terowongan yang diceritakan tetua: sebuah lubang gelap dan menyeramkan, dikelilingi oleh lumut dan tanaman merambat. Suara gonggongan anjing terdengar jelas dari dalam. "Dia masuk ke sana?" gumam Aruna, jantungnya berdegup kencang. Ia menghela napas panjang. Nekat memang, tapi hal terburuk apa yang bisa terjadi? Dengan tekad bulat, Aruna memberanikan diri. Ia berlari masuk ke dalam kegelapan yang pekat, tanpa cahaya sedikit pun, hanya mengandalkan suara gonggongan anjing.
Sensasi yang dirasakan Aruna saat masuk ke dalam terowongan sungguh aneh. Udara di dalamnya dingin dan lembap, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang tidak bisa ia definisikan – seperti bau besi dan lumut tua. Setiap langkah terasa tidak pasti, kegelapan benar-benar total, menelan semua cahaya. Aruna meraba-raba dinding terowongan yang terasa kasar dan dingin. Ia bisa merasakan air menetes dari langit-langit terowongan, membasahi rambutnya. Suara gonggongan anjing itu semakin keras, seolah menariknya lebih dalam.
Tiba-tiba, seperti kilatan cahaya yang menyambar, Aruna terhuyung. Pandangannya berputar, dan sensasi dingin itu lenyap. Matanya mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang tiba-tiba muncul. Ia tidak lagi berada di dalam terowongan yang gelap dan basah. Di depannya, sebuah **rumah** berdiri megah. Rumah itu dihiasi lentera dan obor yang memancarkan cahaya hangat. Berbagai hiasan warna-warni, rumbai-rumbai kain sutra, dan bunga-bunga segar menggantung di dinding dan atap. Terdengar musik yang mengalun merdu, mirip melodi pernikahan yang syahdu, bercampur dengan suara tawa dan obrolan ceria dari dalam, seolah ada sebuah acara meriah sedang berlangsung.
Aruna terkesima. Ia melihat ke belakang, mencari-cari terowongan yang baru saja ia masuki, tapi yang ada hanyalah pepohonan rindang dan semak belukar yang seolah tidak pernah ada. Anjing yang mengejarnya pun tidak terlihat.
"Kau datang juga, Aruna."
Suara itu membuat Aruna terkesiap. Ia menoleh ke samping. Berdiri di sampingnya, seorang pria yang tingginya menjulang, mengenakan **seragam tentara klasik** yang rapi dan lengkap, dari kancing kuningan yang berkilau hingga topi baretnya yang tegak. Senyum ramah nan akrab terpancar di wajahnya saat menatap Aruna, seolah sedang menatap orang yang telah ia kenal sepanjang hidupnya. Mata cokelatnya memancarkan kehangatan yang kontras dengan suasana aneh ini.
Aruna merinding, namun berusaha untuk tetap menjaga wajahnya tetap tenang meskipun tangannya gemetar dan berkeringat dingin. "Si... siapa Anda?" tanyanya, suaranya sedikit tercekat.
Pria itu tersenyum tipis. "Namaku Letnan Aditama. Kau bisa memanggilku Adit. Aku sudah menunggumu, Aruna." Ia mengulurkan tangan kanannya, mengisyaratkan Aruna untuk menggenggamnya. Aruna ragu, tapi demi menjaga sikap, ia menyambut uluran tangan itu. Genggamannya dingin, sangat dingin, namun Aruna berusaha mengabaikannya.
"A-menungguku?" Aruna menaikkan alis. "Untuk apa?"
Adit hanya tersenyum samar. "Ini adalah pesta, Aruna. Sebuah perayaan. Kau pasti ingin bergabung." Ia tidak menunggu jawaban, menarik tangan Aruna dengan lembut dan melangkah maju menuju pintu.
Tepat saat mereka tiba di depan pintu, Adit meraih tangan Aruna dan mengetuknya perlahan. Pintu terbuka dan dari dalam disambut seorang wanita paruh baya dengan senyum cerah dan ramah. Rambutnya disanggul rapi, dan ia mengenakan kebaya tradisional yang indah.
"Ah, Aruna! Akhirnya kau sampai! Dan Adit, kau sudah menunggunya rupanya," kata wanita itu, nadanya penuh kehangatan, seolah Aruna adalah kerabat jauh yang sudah lama dinanti. "Ayo masuk, Nak, pestanya sudah dimulai!"
Aruna hanya mengikuti, mengangguk kaku, dan berusaha sebisa mungkin membalas percakapan wanita itu sambil mencari informasi. "Maaf, Ibu. Saya... saya sedikit bingung. Pesta apa ini?"
Wanita itu tertawa kecil. "Astaga, Aruna! Kau lupa? Ini pernikahan Sinta dan Bayu! Jangan-jangan karena terlalu lama di barak militer, ingatanmu jadi tumpul, ya?" Ia melirik Adit dengan senyum menggoda. "Dan kau Adit, tak henti-hentinya menggoda Aruna di barak. Sudah ada perkembangan di antara kalian berdua? Kalian kan selalu bersama."
Aruna merasakan pipinya memanas. Barak militer? Menggoda? Apa ini semua? Ia menoleh ke Adit, menuntut penjelasan.
Adit, tanpa diduga, menjawab dengan sopan, "Hubungan saya dengan Aruna hanyalah teman, Ibu. Kami memang sering berbagi cerita dan berlatih bersama, tapi sebatas itu." Meskipun ia berkata demikian, Aruna bisa melihat bahasa tubuhnya yang berbeda. Bahu Adit sedikit condong ke arah Aruna, dan matanya melirik Aruna sekilas dengan ekspresi yang sulit diartikan—sedikit sedih, sedikit posesif. Ada semacam daya tarik tak terlihat yang mengikatnya pada Adit, membuatnya merasa gelisah sekaligus tertarik.
Malam semakin larut, namun acara di dalam rumah semakin semarak. Musik gamelan mengalun lembut, dan suara tawa memenuhi ruangan. Hidangan berlimpah di meja-meja besar yang ditata apik. Aruna mencoba berbaur, tersenyum, dan mengangguk saat diajak bicara, namun pikirannya terus bertanya-tanya.
Tak lama kemudian, pengantin wanita, Sinta, dengan gaun putih tradisional yang indah, keluar bersama pengantin pria, Bayu. Mereka menyambut tamu dengan senyum bahagia. Adit menarik Aruna ke sebuah meja di depan, di posisi khusus karena mereka adalah "teman pengganti" bagi pengantin. Aruna merasa merinding. Pesta ini terasa terlalu sempurna, terlalu gembira, terlalu... tidak nyata.
Aroma aneh yang tadi tercium di terowongan kini semakin kuat di dalam rumah. Bukan lagi hanya bau tanah dan lumut, tapi ada aroma darah kering, bercampur dengan bau terbakar besi dan mesiu. Aroma itu menusuk hidungnya, membuat Aruna mual. Seolah tempat ini bukan acara pernikahan yang meriah, melainkan medan perang yang baru saja usai.
Sangking gugupnya, Aruna tidak sengaja menjatuhkan garpu peraknya ke lantai. "Maafkan saya, Adit," bisiknya, menunduk untuk meraih garpu itu.
Saat ia menunduk, pandangannya menyapu ke bawah meja. Dan di sanalah, kengerian sejati menghantamnya.
Tidak satupun kaki dari seorang pun di tempat ini, termasuk pengantin dan semua tamu yang sedang menari riang, menyentuh tanah. Mereka semua melayang, beberapa sentimeter di atas lantai, seolah-olah tidak memiliki bobot. Hanya kakinya, kaki Aruna, yang benar-benar menjejak lantai kayu rumah itu.
Dengan gemetar, Aruna duduk kembali, meletakkan garpu itu di meja. Jantungnya berdebar kencang, menabuh di telinganya. Ia melirik Adit. Pria itu menatapnya dengan khawatir.
"Kau baik-baik saja, Aruna? Wajahmu pucat sekali," kata Adit, suaranya lembut, seolah tidak menyadari ada kelainan apapun di tempat ini. Atau, ia pura-pura tidak menyadarinya.
Aruna hanya bisa menggeleng. "Aku... aku butuh udara segar."
Adit mengangguk, lalu berdiri dari kursinya. Ia meraih tangan Aruna lagi, kali ini dengan genggaman yang lebih erat, dan mengajaknya untuk menghirup udara di luar rumah. Aruna hanya mengangguk dan mengikutinya, setiap langkahnya terasa berat. Jantung Aruna berdetak kencang karena ia tidak merasakan suhu apapun dari tangan Adit yang menggenggamnya. Dingin itu mutlak, tanpa kehangatan sedikitpun yang menandakan kehidupan. Seolah-olah semua orang di tempat ini tidak menyadari bahwa mereka telah mati.
---
Aruna melangkah keluar rumah mengikuti Adit, meninggalkan keramaian pesta yang aneh. Udara di luar terasa dingin, namun pemandangannya sungguh di luar nalar, hampir tidak nyata, membuat Aruna tak henti-hentinya merinding.
Lentera dan obor tergantung di setiap rumah dan pinggiran jalan, memancarkan cahaya kuning keemasan yang menciptakan suasana seperti di masa lalu, sebelum listrik tersambung dengan mudah. Rumah-rumah di sekitar mereka tampak kuno, dengan atap jerami dan dinding kayu yang terawat. Beberapa anak kecil berlarian dengan tawa ceria di pinggir jalan, berkumpul di bawah cahaya lentera sambil berbagi kue, seolah merayakan pesta pernikahan yang sedang berlangsung. Semuanya terasa begitu hidup, terlalu hidup, namun kengerian yang baru saja Aruna saksikan di dalam rumah membisikkan kebenaran yang mengerikan.
Aruna tidak bisa menahan diri untuk melirik pria di sampingnya. **Letnan Aditama**. Seragam militernya tampak sempurna, bersih tanpa noda sedikit pun. Mata cokelat cerah itu menatap lurus ke depan, tegas, memancarkan ketegasan unik yang hanya dimiliki oleh orang yang pernah berada di medan perang, bertarung antara hidup dan mati. "Bisakah hantu setampan ini?" pikir Aruna, getir. Rasa dingin yang ia rasakan saat bersentuhan dengan Adit terus membayangi, sebuah pengingat yang mengerikan bahwa pria ini bukan manusia biasa.
Aruna menghirup udara dingin, berharap aroma darah dan besi yang terbakar akan menghilang. Namun, bau itu tidak kunjung hilang, seolah melekat di udara, menjadi pengingat konstan akan keanehan yang meliputi tempat ini. Ia melihat Adit sekilas, dan pria itu tersenyum penuh pengertian, seolah mengetahui kegelisahan Aruna. Namun, cahaya di matanya sekilas menghilang, ditelan oleh bayangan keputusasaan yang gelap, sebelum kembali bersinar seperti semula.
"Bagaimana perasaanmu tentang cuaca di sini, Dokter?" Adit memulai percakapan, nadanya santai, seolah mereka hanya sedang berjalan-jalan sore. "Kabutnya memang tebal, tapi udara pegunungan selalu menyegarkan, bukan?"
Aruna mengangguk kaku. "Ya, menyegarkan," jawabnya, berusaha menjaga suaranya tetap normal. "Tapi... saya tidak pernah melihat kabut setebal ini. Dan... baunya."
Adit menoleh, menatap Aruna dengan sedikit kerutan di dahinya. "Bau? Apa yang kau maksud, Aruna?" Matanya tampak tulus, seolah ia benar-benar tidak mencium apa pun.
"Tidak... tidak ada," Aruna cepat-cepat meralat, menyadari bahwa ia tidak bisa mengungkapkan apa yang ia rasakan. Situasi saat ini sungguh membingungkan, dan Aruna hanya bisa mengikuti arus, berharap menemukan petunjuk.
Adit kembali tersenyum tipis. "Mungkin kau lelah, dokter. Kau terlihat agak pucat. Ingat, saat di barak dulu, kau juga sering kelelahan setelah latihan fisik. Tapi semangatmu patut diacungi jempol. Kau selalu jadi yang paling gigih."
Aruna menatapnya heran. "Barak? Latihan fisik?" Ini adalah kali kedua Adit menyebut "barak militer", tempat yang sama sekali tidak Aruna kenal. Ia mencoba menggali ingatan, tapi tidak ada satupun kilasan tentang dirinya di lingkungan militer. Semuanya kosong. "Maaf, Letnan Aditama... saya tidak ingat pernah berada di barak militer."
Adit tertawa kecil, suara tawanya terdengar renyah dan tulus, membuat Aruna sedikit terpaku. "Ah, Aruna, kau ini! Selalu saja begitu. Mungkin karena terlalu banyak membaca buku medis, sampai lupa dengan kenangan masa lalu kita. Kita bertemu di pelatihan medis khusus untuk militer, ingat? Kau adalah salah satu dokter paling berbakat yang pernah kutemui." Ia menatap Aruna dengan tatapan penuh penghargaan yang membuat Aruna merasa aneh.
"Aku... aku minta maaf. Mungkin ingatan saya terganggu," Aruna mencoba beralasan. Ia merasa seolah sedang bermain peran dalam mimpi yang tidak ingin ia alami.
"Tidak apa-apa," jawab Adit lembut. "Mungkin kau hanya perlu istirahat. Nanti setelah pesta selesai, aku akan mengantarmu kembali ke tempat istirahatmu."
Mereka terus berjalan. Adit mulai bercerita tentang "momen-momen" mereka di barak, tentang pelatihan yang berat, tentang rekan-rekan mereka yang lucu, seolah semua itu adalah bagian dari kenangan nyata Aruna. Aruna hanya mendengarkan, mencoba mencari celah atau petunjuk di antara cerita-cerita itu. Adit begitu fasih, begitu meyakinkan, membuat Aruna hampir percaya bahwa ia memang memiliki masa lalu militer bersamanya.
Tiba-tiba, seperti bocah nakal, Adit berhenti di depan sebuah pagar bambu yang dihiasi bunga-bunga melati yang sedang mekar. Tanpa rasa bersalah, ia memetik satu bunga melati putih. Ia meraih tangan Aruna yang masih terasa dingin baginya, dan meletakkan bunga itu di telapak tangannya.
"Ini untukmu, Aruna," katanya dengan senyum santai, sorot matanya kembali ceria. "Jangan laporkan pencurian kecil ini pada siapa pun, ya?"
Aruna menatap bunga melati itu, lalu menatap Adit. Ada momen singkat, sesaat ia merasakan kehangatan yang aneh, seolah ada percikan koneksi di antara mereka. Senyum Adit yang menawan, sorot mata yang penuh kelembutan, untuk sesaat membuat Aruna lupa akan kengerian yang mengelilinginya. Ia bahkan sempat berpikir, "Bisakah aku percaya pada pria ini, meskipun ia adalah hantu?"
Namun sayangnya, momen damai seperti itu tidak berlangsung lama.
**DUAR!**
Sebuah ledakan keras tiba-tiba menggelegar, memecah kesunyian malam. Suara itu disusul oleh teriakan panik dan bangunan yang bergetar. Asap tebal mulai terlihat membumbung tinggi dari kejauhan.
Aruna tersentak. "Apa itu?! Serangan? Bom?!" tanyanya, suaranya tercekat oleh rasa takut.
Wajah Adit yang tadinya santai, kini berubah serius. Senyumnya lenyap, digantikan oleh ekspresi tegang seorang prajurit yang siap berperang dengan kematian. Mata cokelatnya kini memancarkan ketegasan yang mengerikan.
"Aruna, kau harus mengungsi sejauh mungkin!" perintahnya, suaranya tegas dan mendesak. "Lari! Pergi dari sini!"
Tanpa menunggu jawaban Aruna, Adit berbalik. Ia berlari dengan tergesa-gesa, melesat ke arah asal suara ledakan itu, menghilang di balik kabut tebal. Seragam militernya tampak begitu pas, begitu nyata, seolah ia memang sedang menuju medan perang.
Aruna terdiam, jantungnya berpacu tak karuan. "Sebenarnya... tempat apa ini?" gumamnya, bunga melati di tangannya terasa dingin dan berat. Aroma darah dan besi yang terbakar kini semakin kuat, bercampur dengan bau mesiu yang tajam. Ia sendirian di tengah jalan, dikelilingi rumah-rumah kuno dan orang-orang yang melayang, dan sekarang... ledakan.
Ia tahu, ada sesuatu yang sangat salah di sini. Sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari sekadar pesta pernikahan biasa. Dan Adit, dengan segala misteri dan keanehannya, adalah bagian dari itu.
---