Dikutuk—mana dosa, mana mudarat—kutemukan insan dan beradab. Kukira hanya aku saja yang tersesat.
Tulisan itu tercoret samar di dinding pos ronda yang usang, catnya mengelupas, seperti sisa peradaban yang lupa dibersihkan. Hanya sebaris kalimat, ditulis dengan kapur putih, tak rapi, tapi mengguncang dada Asyad lebih keras dari khutbah Jumat atau kalimat motivasi di bungkus rokok amal.
Asyad berhenti. Napasnya memburu. Angin lembab sore menampar wajahnya yang tirus. Ia merasa telah berjalan terlalu jauh dari rumah, tapi di kota seperti ini, jauh dan dekat kadang tak jelas batasnya. Ia seperti sedang berjalan mundur dalam hidup—satu demi satu, hal yang pernah ia genggam lepas begitu saja.
**
Seminggu lalu, pabrik tempatnya bekerja tutup.
Tanpa pemberitahuan.
Tanpa pesangon.
Tanpa permintaan maaf.
Asyad adalah teknisi di pabrik sepatu daerah pinggiran Bekasi. Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk makan, bayar kontrakan, dan sesekali belikan anaknya es krim rasa cokelat. Delapan tahun di sana, ia tidak pernah bolos, tidak pernah protes. Bahkan ketika lembur tak dibayar, ia tetap datang. Ia pikir, loyalitas seperti itu akan dihargai. Tapi hari itu, semua pegawai hanya mendapat satu kalimat dari HR yang menangis sambil membaca kertas:
> “Perusahaan resmi menghentikan seluruh operasional. Kami juga korban.”
Lalu semua pintu dikunci. Satpam pun pulang. Hanya tertinggal pekerja pabrik, menggenggam amplop kosong dengan mata kosong.
**
Yani, istrinya, tidak langsung marah. Tapi diamnya lebih menyakitkan dari makian.
“Apa rencanamu sekarang?” tanya Yani, tanpa menatap.
Kalimat itu seperti batu di dada Asyad. Berat. Dingin.
“Aku belum tahu,” jawabnya jujur. Ia tak ingin membohongi orang yang setiap hari mencuci pakaiannya dengan tangan.
“Ren harus bayar SPP minggu ini,” Yani menoleh akhirnya. “Dan beras cuma tinggal satu cup.”
Tak ada lagi percakapan malam itu. Hanya suara kipas angin tua dan tangis anak tetangga dari kamar sebelah. Dunia terus berputar seperti tak peduli bahwa satu keluarga di dalam rumah kontrakan itu mulai hancur.
Pagi-pagi ia pamit, katanya mau cari kerja. Tapi sebenarnya, ia hanya berjalan—ke mana kaki mau melangkah, ke mana kepala tidak terlalu berat mengarah. Ia sempat coba ngojek, tapi akun aplikasinya dibekukan karena cicilan motor menunggak. Ia coba ikut antri bantuan di kelurahan, tapi daftar penerima dibatasi dan namanya tidak termasuk.
"Masuknya belum tiga bulan," kata petugas sambil tersenyum semu. "Maaf ya, Bang."
Itu kebohongan. Asyad tahu. Tapi ia terlalu lelah untuk protes.
**
Tiga hari ia tidak pulang. Bukan kabur. Tapi menyingkir. Ia tidak tahu bagaimana cara menjadi kepala rumah tangga jika tangannya kosong. Ia tidur di emperan musala, makan dari sisa nasi bungkus yang tak diambil orang. Suatu malam ia mencatat di buku kecilnya:
> “Jika hidup adalah ujian, siapa pengujinya? Dan kenapa nilainya tidak pernah dibagikan?”
Ia bahkan mulai meragukan makna sabar, karena yang sabar hanya makin ditindih, ditindas, ditinggal. Ia mengutuki hidup dalam diam, seperti luka yang disembunyikan tapi mulai bau.
Dan itulah malam saat ia membaca tulisan itu di pos ronda:
“Dikutuk—mana dosa, mana mudarat—kutemukan insan dan beradab. Kukira hanya aku saja yang tersesat.”
Matanya basah. Ia tak tahu siapa yang menulisnya, tapi rasanya, seperti menemukan saudara sekandung dalam penderitaan.
Bukan aku saja. Bukan aku saja yang begini, batinnya.
Ia bersandar ke dinding, lutut dilipat, kepala tertunduk. Tak ada satu pun yang melewatinya malam itu, dan jika pun ada, pasti mengira ia tunawisma biasa. Tapi bagi Asyad, malam itu seperti pelunakan hati. Ia menangis tanpa suara.
**
Pagi Subuh, seorang lelaki tua menyentuh bahunya.
"Kamu tidur di sini, Nak?" tanya si lelaki dengan suara pelan.
Asyad mengangguk.
"Sudah mandi?"
Gelengan. Lalu senyum lemas.
“Kau bisa baca Qur’an?”
Pertanyaan itu tiba-tiba, seperti petir di ladang kering.
Asyad menatap wajah lelaki itu. Keriput, tapi matanya jernih. Jubah putihnya bersih, sorban kusut. Bukan penampilan orang kaya, tapi jelas bukan sembarangan.
"Sedikit," jawab Asyad. “Dulu pernah belajar.”
“Di kampung sebelah, ada madrasah kecil. Guru ngajinya pergi. Anak-anak masih datang tiap sore, cuma duduk dan saling mengulang sendiri. Aku sudah tua, tak kuat suara panjang. Maukah kamu bantu?”
Asyad ingin menolak. Apa gunanya itu? Tapi entah kenapa, bibirnya berkata, “Boleh.”
**
Madrasah itu terletak di dekat kali kecil. Hanya gubuk bambu beratap seng. Anak-anak duduk di tikar pandan, membawa Iqra yang sudah sobek-sobek. Tapi saat melihat Asyad datang bersama lelaki tua itu, mereka berdiri dan menyambut dengan kalimat sederhana: “Pak Guru...”
Pak Guru.
Dua kata itu membuat dada Asyad bergetar. Ia bukan guru. Ia bahkan belum tentu benar bacanya. Tapi sorot mata anak-anak itu seperti berkata, “Kami percaya padamu.”
Seorang anak perempuan berjilbab biru pudar datang, menyodorkan buku kecil yang hampir hancur.
“Pak Guru... aku belum bisa baca 'ta'. Ajari, ya?”
Asyad mengambil buku itu perlahan. Bibirnya kelu. Tapi hatinya tiba-tiba hangat, seperti melihat secercah cahaya di balik dinding yang lama gelap.
**
Hari itu, ia membaca ulang huruf-huruf yang dulu pernah ia hafal. Mengajari dengan suara pelan, sambil membetulkan lidah-lidah kecil yang tertukar antara "tsa" dan "kha". Anak-anak itu menatapnya seperti ia tahu segalanya, padahal ia juga sedang belajar ulang. Tapi dalam pengulangan itulah, ia menemukan sesuatu yang sudah lama hilang dari dirinya: perasaan berguna.
Setelah dua jam, saat anak-anak bubar, si lelaki tua mendekatinya. Menyodorkan roti isi telur.
“Untukmu,” katanya.
Asyad menerimanya dengan tangan gemetar.
Hari-hari berikutnya, ia mulai rutin datang ke madrasah. Ia mandi di masjid, membersihkan pakaian seadanya. Yani sempat mencarinya, datang ke musala, marah, menangis. Tapi saat tahu apa yang ia lakukan, ia hanya berkata,
“Kalau ini membuatmu waras, lanjutkan.”
Itu bukan restu penuh. Tapi cukup.
Ia tidak dibayar. Tapi ia juga tidak lapar. Anak-anak mulai akrab, menyapanya dengan tawa. Sore-sore itu, suara alif-ba-ta menggema seperti lagu kehidupan yang baru. Suatu senja, ia duduk sendiri setelah kelas selesai, dan menulis:
> “Tuhan, aku tidak bertanya lagi kenapa. Aku hanya ingin tahu, bagian mana dari hidup ini yang bisa kutemui Engkau.”
Dan saat itu, seakan langit menjawab, angin meniup lembaran catatannya, membuka halaman pertama.
Di sana tertulis satu kalimat yang ia tulis tiga tahun lalu:
> “Kalau aku gagal, setidaknya aku pernah mencoba jujur.”
Ia tersenyum. Entah sejak kapan ia bisa tersenyum begitu ringan.
**
Suatu malam, anak-anak membuat kejutan kecil. Membawa lilin dan kardus bertuliskan “Selamat Ulang Tahun Pak Guru”.
Padahal itu bukan ulang tahunnya. Mereka hanya ingin merayakan hari ke-30 sejak Asyad datang.
Seorang anak laki-laki bernama Hakam memeluk kakinya.
“Pak Guru, jangan pergi ya. Soalnya... kita belum punya guru kayak Bapak.”
Asyad tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, lalu menatap langit yang mulai bersih dari awan.
“Baiklah,” katanya pelan. “Aku akan tinggal sampai huruf ‘ya’.”
Anak-anak tertawa, tidak tahu bahwa jawaban itu berarti ia ingin tinggal selamanya.
Dan malam itu, di pos ronda yang sama, ia menambahkan satu kalimat di bawah tulisan kapur yang dulu mengguncangnya:
> "Yang tersesat, bukan hanya aku. Tapi sekarang aku tahu, ke mana arah kembali."