Kenangan
Di rumah kayu di pinggiran kampung itu, waktu seperti berjalan lebih lambat. Tiap detik terasa panjang, seolah menyiksa. Tak ada jam dinding, tak ada suara televisi, hanya denting angin yang menyelinap dari sela-sela papan yang renggang dan suara nyaring tikus dari dapur yang dibiarkan gelap.
Pak Harun duduk bersila, punggungnya membungkuk. Di depannya, sebuah sepatu kulit tua terletak diam. Di sisi kanan kirinya, tergantung foto-foto lama di dinding. Ada satu foto yang paling besar dan menguning—Akmal memakai baju SD, tersenyum sambil memegang piala. Di bawahnya tertulis dengan spidol: “Juara Kelas, Kado untuk Ayah.”
Harun tersenyum setiap kali melihat foto itu, tapi matanya selalu berair.
“Ayah masih ingat waktu itu, Nak. Kita cuma makan nasi dan garam. Tapi kamu tetap bilang itu makanan terenak sedunia…”
Tiap malam, ia berbicara dengan sepatu tua itu, seolah Akmal masih duduk di depannya, lengkap dengan senyum dan tatapan penuh cahaya.
Harun dulu seorang kuli bangunan. Ia mulai bekerja sejak matahari belum terbit, dan pulang saat tubuhnya nyaris rubuh. Tangannya kapalan, kulitnya hitam legam, tapi tak pernah mengeluh. Semua ia lakukan demi Akmal.
Istrinya, Sari, meninggal saat Akmal masih kecil. Sejak itu, Harun tak pernah menikah lagi. “Anakmu cukup jadi alasan untuk tetap hidup,” katanya suatu hari saat tetangganya menyarankan untuk mencari pendamping. Ia menolak. Baginya, Akmal adalah segalanya.
Mereka hidup dari hari ke hari, dengan seadanya. Ketika Akmal ingin ikut lomba menggambar, Harun mengumpulkan kaleng bekas semalaman agar bisa membeli krayon bekas. Ketika Akmal sakit, ia rela berjalan kaki belasan kilometer demi mencari puskesmas yang buka malam.
Tak satu pun keluh keluar dari mulut Harun. Setiap peluh, setiap sakit di tulang punggungnya, terasa ringan jika ia bisa melihat anaknya tersenyum.
Kehilangan
Waktu Akmal diterima di SMA Negeri unggulan, Harun menangis dalam diam. Ia tak bisa menahan tangis ketika menyadari tak punya uang membeli sepatu yang diwajibkan sekolah. Ia lalu bekerja tambahan memanggul pasir semalaman penuh. Lalu keesokan harinya, ia ke toko sepatu bekas di Pasar Rebo, dan membeli sepatu kulit hitam yang masih bagus.
“Itu sepatu orang kantoran yang tak jadi diambil,” kata penjualnya.
Sepatu itu kini jadi benda paling berharga dalam hidup Harun.
Akmal menyambutnya dengan pelukan. “Ayah… ini sepatu keren banget! Makasih, Yah!” katanya, dengan mata berbinar.
Itulah malam terakhir Harun merasa hidupnya sempurna.
Tahun demi tahun berlalu. Akmal terus berprestasi. Ia tak pernah membebani ayahnya dengan tuntutan. Semua ia cari sendiri, semua ia kerjakan dengan mandiri. Hingga ia lulus dan diterima di universitas impiannya lewat beasiswa penuh.
Tapi nasib kadang kejam pada mereka yang tak punya apa-apa.
“Ayah,” kata Akmal suatu malam. “Beasiswanya cuma untuk kuliah. Uang makan dan tempat tinggal harus cari sendiri. Tapi nggak apa-apa, aku bisa kerja sambil kuliah.”
Harun menolak mentah-mentah. Ia berusaha keras mencari pinjaman. Menawarkan tenaganya lagi meski lututnya sudah mulai gemetar saat berdiri lama.
Tapi tidak ada yang mau memberi pinjaman pada lelaki tua tanpa jaminan. Dunia terlalu sinis bagi mereka yang hanya punya tekad.
Pada akhirnya, Akmal menyerah. Ia diterima kerja sebagai operator mesin di sebuah pabrik kecil.
“Sementara aja, Yah. Nanti kalau udah terkumpul, aku lanjut kuliah. Ayah tenang aja.”
Tapi takdir tak memberinya waktu.
Hari itu hujan deras. Harun baru saja pulang dari proyek kecil memperbaiki pagar musholla. Tubuhnya basah kuyup saat seorang tetangga datang tergesa.
“Pak Harun, Akmal kecelakaan kerja! Sekarang di rumah sakit!”
Ia berlari. Menyusuri jalanan licin dengan kaki tua dan paru-paru yang megap-megap. Di rumah sakit, ia menemukan anaknya tak sadarkan diri. Wajahnya tenang, tapi tangan kanannya remuk.
“Maaf, Pak. Kami sudah lakukan sebisanya. Tapi untuk tindakan lanjut, butuh operasi dan itu biayanya mahal…”
Harun mengangguk. Ia tak paham kata-kata medis, tapi ia mengerti intinya: uang.
Ia mengemis. Ia menjual satu-satunya radio tua warisan istrinya. Ia menawarkan bekerja di dapur rumah sakit. Tapi waktu tak memberi ampun.
Tiga hari. Dalam tiga hari, anak itu pergi.
Pak Harun menjerit. Suara itu terdengar di seluruh lorong rumah sakit, membuat perawat menunduk pilu.
“Aku belum siap, Tuhan… Aku belum siap kehilangan dia…”
Penantian yang Sunyi
Sejak hari itu, Harun berhenti hidup. Ia bernapas, berjalan, makan secukupnya. Tapi jiwanya tak pernah kembali.
Setiap malam, ia duduk di depan sepatu itu. Kadang ia membersihkannya dengan kain lembut, seolah merawat kenangan. Kadang ia berbicara, membacakan buku cerita lama yang dulu Akmal suka dengarkan sebelum tidur.
Ia menolak pindah ke rumah dinas yang ditawarkan pemerintah. Ia menolak bantuan dari LSM. “Biar aku di sini saja. Di sini masih ada anakku…” katanya pelan.
Tetangga-tetangga hanya bisa membawakan makanan, meletakkannya di depan pintu, lalu pergi. Mereka tahu, jika terlalu lama tinggal, Harun akan mulai bercerita tentang Akmal lagi tentang hari-hari indah yang terus ia putar seperti film tak berkesudahan.
Suatu malam, suara hujan deras mengguyur genting. Harun tak bergerak dari duduknya. Sepatu itu ia peluk ke dada. Tangisnya pecah.
“Maafkan Ayah, Nak… Kalau saja waktu itu Ayah punya uang… Kalau saja Ayah bisa lebih kuat… Kamu pasti masih di sini…”
Ia lalu terdiam lama, matanya menatap pintu. Angin malam membuatnya bergetar, tapi ia tak bergerak. Dalam benaknya, ia mendengar langkah kaki pelan, lalu makin dekat. Ia tahu itu tak nyata. Tapi malam itu ia memilih percaya.
“Yah, aku pulang…” suara itu bergema di hatinya.
Harun tersenyum tipis. “Selamat datang, Nak…”
Pagi harinya, tetangga menemukan Harun tertidur dalam posisi duduk, memeluk sepatu tua itu. Matanya tertutup, wajahnya damai. Seperti seseorang yang akhirnya bertemu kembali dengan orang yang paling ia cintai.
Dan di lantai, sepasang sepatu tua itu tak lagi terlihat kusam.