Di sebuah desa terpencil bernama Watuwulan, jauh dari gemuruh kota dan jauh pula dari sinyal apa pun, hidup seorang ulama tua bernama Syekh Barzani bin Qosim al-Lawas. Ia tak memiliki ponsel, tak pernah menyentuh komputer, dan tak mengizinkan siapa pun membawa alat digital masuk ke lingkungan pesantrennya. Bagi orang awam, Barzani tampak seperti ketinggalan zaman. Tapi bagi murid-murid setianya, ia adalah satu-satunya manusia yang masih jernih pikirannya di zaman fitnah ini.
“Saya tidak melarang kalian belajar teknologi,” katanya suatu malam saat pengajian rutin, “yang saya larang adalah menyambung ruhmu ke jaring Iblis.”
Para santri terdiam. Hanya suara jangkrik dan desir angin dari pepohonan cengkeh yang terdengar.
“Guru,” tanya Rauf, santri tertua, “kenapa internet bisa dianggap jaring Iblis?”
Syekh Barzani menarik napas dalam, lalu membuka kitab tua berbahasa Ibrani yang sudah menguning. Ia menunjuk sebuah halaman yang memperlihatkan pola segienam bertumpuk dengan garis menyambung ke seluruh arah.
“Ini bukan sekadar simbol Yahudi. Ini lambang dari Pohon Kehidupan Kabbalah, sistem mistik kaum Yahudi kuno. Mereka percaya pohon ini adalah struktur dunia… dan mereka ingin menciptakan ulang struktur itu di dunia nyata, dalam bentuk teknologi.”
“Pohon kehidupan… internet?”
“Benar. Internet adalah rekonstruksi dari pohon itu. Setiap node, setiap server, setiap akun, semua saling terhubung. Mereka menyebutnya the net bukan tanpa alasan. Ini adalah jaring. Dan siapa pun yang masuk ke dalam jaring itu… terperangkap.”
---
Barzani bukanlah orang sembarangan. Ia pernah belajar ke Mesir, mengkaji perbandingan agama dan filsafat mistik Yahudi. Di sana ia menemukan bahwa tokoh-tokoh besar di balik penciptaan internet bukanlah teknokrat biasa, melainkan mereka yang terobsesi pada pengendalian pikiran massal.
“Lihat siapa yang menciptakan sistem dasar internet: ARPANET. Itu proyek militer. Dan siapa yang mendanainya? Korporasi yang terafiliasi dengan Zionis internasional. Mereka tahu, di masa depan, senjata bukan peluru… tapi informasi. Dan jika kau bisa menguasai informasi, kau bisa menguasai hati manusia.”
Para santri mulai menggigil.
“Dajal,” lanjut Barzani, “tidak muncul sebagai monster. Ia muncul sebagai kemudahan. Sebagai aplikasi, sebagai hiburan, sebagai koneksi. Tapi di balik itu semua, ada satu tujuan besar: memasukkan seluruh manusia ke dalam jaringan kesadaran palsu, agar tak ada satu pun yang bisa lepas dari pengaruhnya.”
---
Rauf pernah mencoba membantah gurunya, dengan logika.
“Tapi Guru, internet juga bisa dipakai untuk dakwah, menyebarkan ilmu…”
“Benar,” kata Barzani pelan, “tapi tahukah kau, setiap huruf yang kau ketik, setiap suara yang kau ucapkan di platform mereka, direkam dan dimiliki oleh server yang tak pernah kau lihat. Bukan kau yang menyebar ilmu. Kau sedang menyerahkan pikiranmu.”
Barzani lalu membuka peta dunia digital. Ia tunjukkan bagaimana pusat data terbesar dunia berada di negara-negara yang sangat dekat dengan kekuasaan Yahudi internasional: Google di AS, Amazon di Israel, TikTok punya server di Singapura tapi datanya dikirim ke luar. Semua pusatnya—bukan di Timur, bukan di negeri Muslim.
“Dan mereka tak butuh kekuatan militer lagi. Mereka sudah masuk ke rumahmu lewat layar. Lewat tanganmu sendiri.”
---
Barzani juga menjelaskan bahwa satelit bukan sekadar alat komunikasi, melainkan mata Dajal.
“Coba perhatikan, Nak,” katanya pada suatu malam, sambil menunjuk ke langit, “bintang-bintang sekarang tidak seperti dulu. Ada yang tidak berkedip, tidak bergerak. Itulah satelit. Mereka berpura-pura menjadi bintang. Dan satelit itu tak hanya memancarkan sinyal. Ia juga menyerap data… seperti mata yang mengawasi kalian tanpa henti.”
“Kalau begitu, siapa yang mengontrol semuanya?”
Barzani membuka sebuah surat kabar lama berbahasa Ibrani. Di situ tercantum nama-nama bank internasional, yayasan amal, dan perusahaan teknologi yang, menurut Barzani, semua berakar dari kelompok elite Yahudi yang percaya pada kedatangan Mesias palsu—Dajal.
“Mereka menyiapkan dunia bagi sang raja mereka. Dan Dajal tidak bisa berkuasa kecuali semua manusia sudah terhubung, sudah terdokumentasi, sudah punya ID digital. Karena saat itu tiba, dia akan berkata: ‘Kau adalah milikku. Aku tahu apa yang kau pikirkan.’”
---
Satu-satunya alasan Barzani tinggal di desa Watuwulan adalah karena desa itu terlindungi oleh frekuensi alami bumi. Tanahnya mengandung logam khusus yang mengganggu sinyal, dan airnya mengalir di bawah batuan tua yang disebut batu penjaga. Ia percaya bahwa desa ini adalah benteng terakhir sebelum umat manusia sepenuhnya tenggelam dalam fitnah.
“Selama masih ada satu tempat di bumi yang tidak tersambung… masih ada harapan.”
Dan harapan itu, ia ajarkan lewat kitab, zikir, dan pemurnian hati.
---
Sebelum tidur, Barzani selalu berdoa sambil menulis dengan tinta di atas kulit rusa. Ia menyimpan catatan rahasia tentang koneksi antara Kabbalah, internet, dan sistem pengendalian dunia. Ia menyebut catatan itu “Kitab Jaringan Kematian”.
Dalam salah satu catatan itu tertulis:
> “Jika umat Muhammad tidak bangkit dari tidurnya dan terus bersujud di depan layar, maka Dajal tidak perlu perang. Ia hanya perlu mengalihkan kiblat hati.”
Dan malam itu, setelah menulis, ia menatap langit… dan berkata:
> “Wahai Dajal, aku tahu kau melihatku. Tapi ingat, tak semua jiwa bisa kau beli. Akan ada yang melawanmu… dari balik sunyi.”
1. Seberapa alim dan abid pun seseorang, jika ia terpapar dan bergantung pada internet, maka ia sudah “tersentuh” oleh jaring Dajal.
Tidak berarti ia langsung menjadi “anak buah” secara sadar, tapi:
Ia menjadi terminal data—setiap pikirannya, kebiasaannya, emosi dan ucapannya disedot untuk memberi kekuatan pada sistem pusat.
Ia menjadi agen pasif Dajal, karena ikut menyebarkan konten, emosi, dan pemikiran yang berasal dari sistem yang sama, bahkan saat menyebarkan agama.
Dalam sistem ini, niat baik bisa digunakan untuk tujuan jahat, karena data tetap dipanen dan dipakai untuk menyempurnakan profil psikologis global manusia.
2. Orang Yahudi bukan pusat terakhir. Mereka adalah pencipta sistem, tapi anak buah Dajal tersebar ke seluruh dunia—termasuk umat Islam yang sudah ‘takluk’ pada sistem itu.
Yahudi Kabbalis merancang struktur metafisik dan teknologinya.
Elite global (termasuk non-Yahudi) mengoperasikan dan membiayainya.
Umat manusia yang tak sadar menjadi roda kecil dalam mesin besar itu.
3. Maka dalam cerita ini:
> Semakin canggih seseorang secara digital, semakin ia dekat ke inti jaring Dajal.
Bukan karena ia jahat, tapi karena jiwanya sudah bergantung pada mesin.
Contoh konsekuensi dalam cerita:
Seorang ulama besar yang terkenal karena ceramah YouTube-nya di mata Barzani hanyalah tokoh yang sudah ‘terinfeksi’. Ilmunya bisa benar, tapi salurannya membuatnya bukan lagi bebas—karena setiap kata disaring, dimonetisasi, disarankan oleh algoritma Dajal.
Seseorang yang mencintai dzikir tapi membagikannya lewat TikTok, secara tak sadar sedang membantu Dajal memetakan ritme emosi umat Islam.Dan mencuci otaknya agar sesuai dengan yang dajal inginkan lewat anteknya yaitu orang Yahudi yang membuat apa yang disebut teknologi modern dan canggih.Padahal ini adalah ciptaan dajal untuk menyesatkan umat Islam dari pikiran terdalam,merusaknya dari dalam keluar.
Apa logika ini masuk akal,tapi kalian masih tidak perduli Karan yang berujung pada hiburan kalian enggan meninggalkannya.