Aku menyetir sembari melirik ke luar taman kota yang ramai dengan para keluarga dan sepasang muda mudi yang menghabiskan waktu bersama. Semua manusia di dunia ini seakan selalu memiliki pasangan, mereka terlihat harmonis sampai membuat sebagian orang dengan realita sebaliknya akan iri. Aku pun melirik pada anak berseragam batik di sebelahku. Ia tengah asyik menggambar di IPad kesukaannya.
Aku melihat ke depan, mobil kami berhenti karena kemacetan. Aku mulai membuka suara serakku, “Seharusnya kamu bisa berusaha lebih keras lagi, Mar.”
Anak yang disebut tidak menoleh, berkata acuh, “Kakak alergi sama juara dua?”
“Iya, Kakak alergi. Kamu tahu apa kesalahanmu sampe bisa dapet juara 2?” Aku melanjutkan, “Berhenti buat sebuah lukisan abstrak yang nggak punya nilai estetika.”
Anak itu membantah, “Aku lebih suka bikin yang punya makna. Asal kakak tahu, gambarnya si juara satu itu nggak punya makna sama sekali!”
“Justru itu poinnya, Maria!” Aku membentak. Dia menunduk diam dan berhenti memainkan penanya.
Saat itu adalah hari pengumuman lomba melukis, aku mendampingi Maria. Dia mendapat juara dua sekabupaten. Aku menceramahinya bagaimana seharusnya dia yang menjadi nomor satu dibanding temannya.
Artstyle itu sendiri akan berkembang sesuai dengan jati diri si anak. Dan yang lebih berkembang pada Maria adalah kesadaran dari sebuah makna yang ia wariskan pada lukisannya. Aku sangat mengerti cita cita besar itu, dan akan mendorongnya untuk menjadikannya nyata. Dorongan untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik, begitulah prinsip hidup yang selalu kuanut sampai membuatku jauh dari kelaparan.
•••
Malamnya aku masih berkutat di meja kerjaku. Tubuhku membungkuk di hadapan layar laptop, dikelilingi sketsa penuh coretan, dan segelas kopi yang tinggal ampasnya saja. Aku menatap layar dan papan gambar bergantian, mengukur, menggambar ulang, lalu menghapus dengan sedikit geram—lantas mengulang proses yang sama nyaris obsesif. Aku terus menggambar, menggambar dan—
“Kakak.” Maria masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu. Ia datang dengan baju tidur dan boneka beruang di pelukan.
“Boleh aku tidur di sini?” Aku berdehem. Maria gembira merangkak ke atas kasurku, melihatku penasaran dengan mata bulat kecilnya.
“Kakak lebih mirip dengan ayah sekarang.” Pensilku berhenti. Aku memutar kursiku, menghadapnya lekat, tenggorokanku tercekat, “Kau sadar apa yang kau katakan?”
Maria melanjutkan dengan ragu, “Apakah kakak tahu ... makna lukisanku semuanya adalah tentang ayah?” Ia mulai menjelaskan, “Monster dan mimpi buruk abstrak itu sebenarnya adalah perwujudan dari segala yang kakak ceritakan tentang ayah.”
Aku memang selalu menceritakan orang itu pada Maria, berharap bocah kelas satu SMP itu hanya mendengarkan tanpa memahami lebih dalam, namun rupanya aku salah. Rupanya anak itu mendengarkan segala ceritaku dan tenggelam lebih dalam.
“Maaf jika itu mengingatkanmu pada ayahmu.” Suaranya mulai sesak saat melihat bulir jatuh dari mataku. Maria adalah anak manis yang tidak suka menyakiti hati kakaknya, oleh karena itu aku segera menyingkirkan pena dan pekerjaanku lalu memeluknya hangat. Dia menangis dalam dekapanku, bercerita bagaimana hatinya sangat sakit saat diriku terus memarahinya karena gagal meraih juara utama. “Aku selalu berusaha keras agar kau bisa melirikku, tapi rasanya itu semua tidak cukup di matamu.” Aku menyediakan pundakku untuk dia isi pukulan-pukulan kecil. Tanda bahwa ia cukup lelah akan pengharapan tinggi dari kakaknya.
Maria menangis sampai tertidur di pelukanku. Dia memanggil nama ‘Ayah’ namun sadar jika ia tidak pernah bertemu orang tuanya. ‘Ayah’ yang dia bicarakan adalah orang tuaku.
Orang bilang, kau harus terlebih dahulu hidup untuk mencari makna di dalamnya. Agak menyentil hati siapa pun orang yang hidup hanya untuk sekadar mati-matian mencari alasan tidak bunuh diri. Aku menggunakan banyak sekali hobi dan pekerjaan untuk lari dari kekosongan yang merangkap. Sampai akhirnya kepulan asap itu mengantarkanku pada sebuah panti asuhan.
“Saya ingin mengadopsi seorang anak dari panti asuhan ini. Saya ingin membesarkan seseorang yang mungkin juga merasa sendiri di dunia ini.” Itulah kata yang aku ucapkan pada penjaga panti yang menatapku penasaran. Aku terkadang berdonasi di sana. Ibu penjaga panti dan aku lumayan dekat, dan dia tahu bahwa aku orang yang tidak mudah akrab dengan anak kecil. Dari sana pula, aku mengasuh seorang anak yang terlihat ceria dengan baju penuh coretan cat akrilik. Anak polos empat tahun yang baru mengenal dunia.
“Maria. Kamu suka menggambar, ya? Aku akan mengajakmu setiap bulan ke galeri seni dan membelikanmu peralatan yang mahal.” Kala itu Maria langsung bersemangat dan memelukku. Aku menepati janjiku, memperlakukan Maria seakan dia adalah kelinci kecil. Saat hari libur, kami menghabiskan hari dengan bercerita dan menonton serial anak-anak.
Tujuanku mengadopsi tidak sekadar bermain rumah rumahan, aku ingin menunjukkan kalau aku lebih baik dari orang tuaku dalam hal membesarkan anak.
Namun rupanya itu salah, aku segera menghadapi kenyataan bahwa akan ada hari di saat remaja kita berubah menjadi sesuatu yang tidak kita kenal.
Bertahun tahun hidup bersama, sifat temperamentalku sering menyakitinya. Pernah sekali aku mengayunkan tangan saat dia mulai berani membantahku. Aku menyadari jika luka itu diwariskan. Aku bukan orang-orang tua yang belum sembuh dari luka batin di masa lalu sehingga menyalurkannya pada anaknya.
Tidak siap mental dan finansial adalah situasi yang buruk untuk menghadirkan seorang anak dalam keluarga.
Berkeluarga artinya berbagi kutukan. Kekosongan itu kembali hadir dari memoriku paling dalam.
Maria hanyut dari pelukanku, dan dia perlahan tenggelam dalam ingatanku.
Keesokan hari adalah hari libur. Aku membangunkan Maria pagi sekali setelah aku menyelesaikan sebagian revisi. Tidak ada waktu untuk tidur. Kami keluar dari wilayah perkotaan, menuju wilayah pedesaan.
Aku bertemu dengan keluargaku setelah sekian lama. Ibuku menyambut, tapi tidak dengan ayahku. Rupanya dia sedang mencabut rumput di halaman belakang.
Kami mendatanginya. Tubuhnya kurus dibalut tulang, jalannya sedikit tertatih dan setiap kali harus berhenti untuk mengambil nafas sejenak.
“Ayah." Aku menyapanya lembut. Ia berbalik. Matanya menyipit, "Frida?" ia sangat bersemangat saat mengenaliku.
Kami berpelukan, aku agak canggung saat menerima pelukan itu, mengingat kami sudah lama tidak bertemu. Cukup lama untuk dia menyadari kehadiran seorang gadis kecil di sebelahku.
Menyadari ayah yang menatapnya, Maria langsung memperkenalkan dirinya. “Halo, Ayah! Namaku Maria. Hobiku melukis. Jika ayah ingin dilukiskan sesuatu yang bagus, panggil saja aku, ya!” Tawanya menguar, ayah mengelus rambutnya.
Aku, ayah dan ibu mengobrol bersama di sebuah kursi bambu. Kami melihat Maria yang berlarian mengejar kupu-kupu.
“Dia sama sepertimu. Aku ingat saat kau merengek meminta les piano.”
“Memori yang indah,” timpalku.
“Kau beralasan kala itu diminta pelatih teatermu untuk mengisi musik di pentas minggu depan. Tapi ayah menolak karena kau sedang ada di puncak akademikmu.”
“Ayah benar. Hasilnya aku hanya bisa bengong saat teman temanku yang lain tampil di panggung.” Kami bertiga tertawa.
“Apakah kau masih tertarik les piano?”
“Kenapa?” jeda cukup lama sebelum ayah berucap lembut, “Kami tidak mau lagi membatasi keinginanmu.”
Aku tersenyum. Selama ini aku selalu mencari cara untuk mengisi kekosongan dan mengobati luka. Kehidupan yang sibuk menyadarkanku bahwa obat terbaik adalah kembali ke rumah, meminum secangkir teh buatan ayah dan memakan masakan ibu yang lezat.
Tak ada buku panduan untuk menjadi orang tua. Tidak ada anak yang ingin dipaksa menjadi sosok ideal, sebagaimana tidak ada orang tua yang bisa selalu benar.
🥀