Angin sore menyusup pelan ke sela seragam sekolah. Langit menjingga, seperti biasa. Rooftop sekolah itu sepi, hanya dua pasang sepatu berdiri menghadap pagar besi—satu milik Kael, satu lagi milik Nara.
Mereka berdiri berdampingan, tanpa kata. Seperti sore-sore sebelumnya.
"Masih inget gak, dulu kita pertama kali naik ke sini kelas 2 SD?" Kael membuka suara, tangannya menyentuh pagar yang mulai berkarat.
Nara mengangguk kecil. "Kamu bilang mau ngasih lihat aku awan yang bentuknya kayak kucing. Tapi aku cuma lihat kapas berantakan."
Kael tertawa pelan. “Ya ampun, kamu masih inget itu?”
"Tentu. Itu pertama kalinya aku tahu kalau kamu suka ngomong asal tapi selalu bikin aku penasaran."
Kael terdiam, senyumnya meredup. "Tapi kamu nggak pernah benar-benar nanya lebih jauh…"
“Karena aku takut jawabannya gak kayak yang aku harap.”
Senja mulai pudar. Nara menoleh ke Kael, memperhatikan wajah yang dulu sering ia cubit saat kecil. Sekarang Kael tinggi, suaranya berat, dan matanya… tetap sama. Mata yang diam-diam ia simpan dalam doa.
"Aku bakal pindah minggu depan," ucap Kael, pelan, nyaris tenggelam dalam suara angin.
Nara menghela napas panjang. "Aku tahu."
"Kenapa nggak marah?"
"Aku udah belajar dari kamu, Kael… diam bukan berarti nggak ngerasain."
Kael menunduk. “Kalau aku gak pindah, kamu bakal tetap di sini… sama aku?”
Nara tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, lalu berjalan menuju pintu keluar atap. Kael tetap berdiri, matanya menatap langit yang kini mulai gelap.
"Langit hari ini bagus, ya," gumamnya pelan.
Dari belakang, suara Nara terdengar, hampir seperti bisikan, “Langitnya selalu bagus, Kael. Tapi kita gak pernah benar-benar selesaikan cerita kita di bawahnya.”
Pintu besi tertutup pelan.
Dan Kael tetap berdiri di sana—ditemani langit yang tak pernah menjawab.