Setiap Minggu pagi, keluarga Bu Sari selalu berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Tapi hari ini, kursi sebelah kanan—tempat biasa duduk Ayah—kosong. Sudah tiga bulan sejak kepergiannya, namun rasanya seperti baru kemarin.
Ibu masih memasak nasi goreng kesukaan keluarga, tapi porsi yang biasa ia taruh di piring Ayah sekarang dibiarkan kosong. Adik kecil, Rara, sesekali mencuri pandang ke arah kursi itu, seolah berharap sosoknya tiba-tiba muncul lagi seperti dulu.
"Kenapa kita masih menyiapkan piring untuk Ayah?" tanya Rara tiba-tiba, suaranya kecil.
Kakaknya, Dika, menatapnya lalu menghela napas. "Agar kita tidak lupa," jawabnya pelan.
Bu Sari mengusap air matanya yang jatuh ke wajan. "Ayah pasti ingin kita tetap makan bersama," bisiknya.
Di tengah kesunyian itu, Dika teringat bagaimana Ayah selalu memotong dadar gulung untuk mereka berdua, atau bagaimana ia tertawa saat kopinya terlalu pahit. Kini, yang tersisa hanya kenangan dan sepi yang terasa berat.
Tiba-tiba, Rara mengambil sendok dan mulai mengisi piring kosong itu dengan sedikit nasi goreng. "Ayah pasti lapar di surga," katanya polos.
Bu Sari tersenyum getir, lalu memeluk anak-anaknya erat. **Mereka sadar: kehilangan itu seperti lubang di hati, tapi cinta yang tersisa adalah benang yang menjahit mereka tetap utuh.**
Meja itu tetap ada, kursi itu tetap terisi—tidak oleh raga, tapi oleh segala hal yang Ayah tinggalkan: kasih sayang, tawa, dan pelajaran bahwa keluarga tak pernah benar-benar terpisah, meski oleh maut sekalipun.