Jalur yang Lurus
Saat aku masih kecil, dunia terasa seperti taman anugerah—penuh keajaiban dan janji manis kehidupan. Suatu hari, ibuku bertanya tentang cita-citaku. Dengan mata berbinar dan semangat membuncah, aku menjawab lantang, “Aku mau jadi astronot! Polisi! Pemadam kebakaran!” Ibu tersenyum, mengelus rambutku dengan lembut. “Memangnya bisa sebanyak itu?” tanyanya sambil terkekeh kecil.
Saat itu, aku belum mengerti logika di balik jawabanku sendiri. Yang kutahu hanyalah keinginan untuk menjadi luar biasa. Lebih dari segalanya, aku mendambakan kebebasan—bebas dari siapa pun, bebas memilih jalanku sendiri. Kupikir, menjadi dewasa berarti punya kendali penuh atas hidup. Dunia tampak sederhana, dan impian seperti buah matang yang tinggal dipetik.
Namun, waktu terus berjalan. Realitas datang perlahan, seperti kabut yang menyelimuti pandangan. Di bangku sekolah dasar, aku masih percaya bahwa aku bisa menjadi semuanya sekaligus. Tapi dunia mulai berbisik pelan: tidak semua mimpi bisa bertahan. Impian-impian itu perlahan pudar, tergantikan oleh keraguan dan tekanan tak bernama yang mulai menghimpit dadaku.
Suatu malam, aku mendengar berita di televisi: “Pemerintah sedang memberikan penjelasan mengenai kasus korupsi di kalangan kepolisian. Diduga Kepala Polisi—” Sebelum kalimat itu selesai, ayah mematikan televisi dengan kasar. Wajahnya muram, sorot matanya redup. Tombol daya itu seolah memutuskan hubungan antara kenyataan dan rasa takut yang tak sanggup ia hadapi.
Aku terdiam. Apa yang membuatnya begitu marah? Mengapa kata-kata seperti "korupsi", "suap", dan "tidak jujur" terasa seperti luka yang dalam baginya? Negeri ini, yang dulu kupikir penuh harapan, kini tampak lusuh—dicekik sistem yang beku. “Bodoh,” gumam ayah. Bukan kepadaku, tapi kepada dunia. Dunia yang telah menghancurkannya.
Saat itu, aku mengira ayah hanya lelah. Tapi kini aku tahu—kelelahan itu berasal dari luka yang jauh lebih tua dan dalam. Impian yang dahulu bersinar kini tersembunyi di balik bayangan pahit. Dan kebebasan yang dulu kuimpikan... kini menjadi pertanyaan yang tak kunjung kutemukan jawabannya: Apa arti sebenarnya dari kebebasan dalam dunia yang dikuasai sistem yang tak peduli pada manusia kecil sepertiku?
Di balik semua bayangan itu—ada aku. Aku, yang kini hanyut di antara nyata dan mimpi, terapung di batas samar yang tak kupahami. Ketenangan semalam yang terasa begitu nyata kini lenyap, digantikan pagi yang hampa dan dingin.
Tanganku menyarung kemeja yang tergantung dengan gerakan lamban. Tubuh terasa letih. Dari jendela, kudengar suara klakson, langkah kaki, dan hiruk pikuk dunia yang terus berjalan—tanpa pernah menoleh ke arahku. Semuanya sama. Hari ini seperti kemarin. Seperti minggu lalu. Tapi… apa yang sebenarnya berubah? Apakah ketenangan semalam hanya mimpi? Atau pertanda bahwa aku perlahan kehilangan kendali atas hidupku?
Aku, seorang pria di awal usia 40-an, hidup dalam kehampaan yang membeku. Dulu, aku bangga akan pekerjaanku. Meluluskan. Menolak. Memutuskan. Ada kekuasaan di genggamanku. Tapi kini... semua terasa hampa. Semangatku telah menjadi abu. Hari-hari dijalani dengan wajah letih, disindir rekan kerja. Aku hanya bertahan.
Selesai mandi dan berganti pakaian, aku kembali rebah di ranjang kecil—lagi. Menatap langit-langit yang sama, malam demi malam. Menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Lampu kamar yang redup menciptakan bayangan kusam di dinding, dan setiap napasku membawa beban yang tak mampu kusebutkan.
Pekerjaan yang dulu memberiku makna kini terasa seperti rantai; rutinitas yang mengubahku jadi mesin. Aku hidup tanpa jiwa, tanpa arah. Aku menoleh ke sisi ranjang. Jam kecil menunjukkan angka yang sudah sangat akrab: 10.47 malam. Detik yang sama. Kebiasaan yang sama. Esok… segalanya akan terulang.
Namun di sudut terdalam hati, pertanyaan itu belum mati: Apakah sudah saatnya berubah? Masih adakah harapan untuk keluar dari siklus ini—dan mengejar mimpi yang dulu kutinggalkan di persimpangan bernama hidup?
Aku meraih diari yang tergeletak di meja dan menulis satu kata: Semangat. Dewasa bukan lagi tentang permainan atau mimpi yang melangit. Ini adalah kenyataan—pahit, kelam, dan melelahkan. Siklus hidup yang berulang dari hari ke hari, melilit seperti tali yang tak terlihat. Kadang, aku merasa muak. Lelah bukan hanya di tubuh, tapi juga pada harapan yang perlahan-lahan memudar.
Namun entah mengapa, masih ada secuil keinginan… agar esok bisa sedikit lebih baik. Meski samar, mimpi lama itu masih bernapas di sudut hati. Mimpi yang tertanam sejak kecil—yang kini terkubur oleh rutinitas dan tuntutan.
Aku menatap langit. Tapi yang kulihat hanya langit-langit kamar yang kelabu. Mungkin aku perlu lebih sering keluar. Terlalu lama terkurung di antara empat dinding rumah dan kantor membuat dunia terasa begitu sempit. Aku memejamkan mata. Biarlah malam ini berlalu tanpa beban yang memaksa terus kupikirkan.
Pagi pun datang. Alarm meraung tepat pukul 05.00 pagi, menandai awal hari yang tampaknya tak pernah benar-benar berubah. Aku harus bersiap. Hari ini ada rapat penting dengan klien.
Seperti biasa—sarapan, cuci muka, kenakan pakaian, masak nasi goreng dan seduh secangkir kopi, tulis sedikit diari, pakai jas dengan rapi, semprot parfum lima kali, dan jangan lupa habiskan roti. Semuanya terasa seperti ritual yang sudah tertanam dalam otot dan ingatan.
Aku melirik jam tanganku. Jarum pendek menunjuk ke angka 6.12 pagi. Segera kupesan Gojek—motor lebih cepat dibanding mobil di tengah kemacetan pagi. Tujuanku: stasiun kereta terdekat. Perjalanan ke kantor bisa memakan waktu satu jam jika naik motor, apalagi bila lalu lintas sudah padat. Untungnya, ada kereta cepat… meski bukan kecepatannya yang paling kusyukuri.
Yang paling berharga adalah jalurnya. Lurus. Bebas hambatan. Tanpa kemacetan. Tidak seperti hidupku, pikirku sambil tersenyum kecut. Lucu—bagaimana mungkin dua kereta bertabrakan di jalur yang sama? Mustahil, bukan?
Pandanganku tertuju ke luar jendela gerbong. Terhampar di sana barisan rumah-rumah reyot, beratapkan seng karat, tembok-tembok berlumut, dan anak-anak yang bermain di pinggir selokan kecil. Perkampungan kumuh.
Mataku terpaku. Bukankah itu… lokasi yang akan dibahas dalam rapat hari ini?
Kurang dari tiga puluh menit kemudian, aku tiba di tujuan. Langkahku cepat meninggalkan gerbong, menyusuri stasiun, menuju kantor. Aku harus segera. Semakin banyak pekerjaan tertunda, semakin berat akibatnya. Dan aku tak ingin melihat amarah atasan hari ini.
Dari stasiun, perjalanan kaki memakan waktu sekitar sepuluh menit. Di kejauhan, tampak gedung besar itu—tegak menjulang seperti benteng yang tak pernah runtuh. Perasaan tertekan ini… berharap semuanya berjalan lancar.
Akhirnya aku sampai ke kantor… dan wajah itu, atasan menatap tajam ke arahku. “Mengapa kamu lambat sekali! Meeting kita akan bermula!” Kata-kata itu meruntuhkan semangat… sedang waktu pertemuan belum tiba masanya, masih ada waktu 50 menit dari sekarang, dan atasan sudah marah…
Wanita ini… tapi, aku tidak punya kuasa untuk melawan kembali. Kalau dia lambat, maka aku lambat. Mereka memiliki kuasa di atas aku… dan siapa aku?
“Kembali ke tempat kamu!” “Bagaimana dengan…” “Diam! Apa kamu melawan arahan aku!?” “B-baik…” Aku mengangguk, tidak mampu melawan.
Aku berjalan, menuju ke tempat aku… melihat tumpukan kertas. Benar-benar membosankan, buat sahaja terus kerja membosankan seperti ini…
"Err... T-tuan..." Suara itu memecahkan lamunan, seorang gadis, menatap wajah aku dengan canggung... "...Mengapa?"
"Atasan suruh saya beritahu anda kalau meeting akan bermula." "Eh... Oh meeting... Eh—"
Benar juga. Kami akan berjumpa klien kami hari ini!
"Terima kasih beritahu saya!" "Eh. Ya."
Aku langsung bergegas menuju ruang meeting. Dan... Atasan itu sudah menunggu dengan wajah masam. "Maafkan saya. Maafkan saya."
"Hmm..." Ya, dia tak menoleh langsung.
Ya... Kami semua duduk di kerusi yang telah disediakan masing-masing. Di meja bundar itu, semua sudah menunggu. Lelaki itu, pimpinan kami, menatap aku, kemudian mendekat sambil menepuk bahu kanan aku. Dia kemudian berbisik, "Jangan lambat lagi, faham? Jadwal kita ketat akhir-akhir ini, dan klien kita sudah menunggu kita..."
Di ruang rapat yang ber-AC, suasana sunyi membeku. Hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan. Klien kami duduk di ujung meja, berpakaian rapi dengan senyuman sopan yang tidak sampai ke mata. Di sampingnya, seorang asisten mencatat sesuatu di tablet.
Aku menatap layar di depanku, menyusun kembali berkas-berkas dalam kepala, berusaha bersiap. Atasan membuka rapat. Suaranya dingin, formal, namun tegas.
“Kita di sini hari ini untuk membahas proyek pengembangan kawasan Sektor 9, seperti yang telah direncanakan. Ini adalah peluang investasi yang besar untuk semua pihak.”
Klien mengangguk. “Kami sudah melihat rencana awal. Namun... kami ada beberapa kekhawatiran.”
“Silakan,” ujar atasan. Klien menghela napas, lalu menatapku, bukan atasan.
“Kami ingin tahu, bagaimana pihak Anda akan menangani masalah komunitas setempat yang akan dipindahkan? Kami melihat lokasi itu masih dihuni banyak keluarga.”
Aku diam sejenak, lalu membuka berkas. “Kami telah menyusun rencana relokasi. Setiap rumah tangga akan diberikan kompensasi dan tempat tinggal alternatif.”
“Tapi apakah mereka setuju?” tanya klien, nada suaranya semakin tajam. “Kami tidak ingin insiden seperti yang terjadi bulan lalu—demonstrasi, media, reputasi perusahaan kami—terganggu lagi.”
Aku menatap atasan, berharap dia yang menjawab. Tapi dia hanya bersandar, membiarkan aku tenggelam dalam tekanan itu. Aku mencoba tenang. “Kami... sedang dalam proses mendapatkan persetujuan akhir. Negosiasi masih berjalan.”
Klien menggeleng perlahan, kecewa. “Kami memerlukan jaminan, bukan kemungkinan.” Aku membuka mulut ingin membalas, tetapi atasan menyela dengan suara tinggi, “Dia akan pastikan semuanya selesai. Benar, Encik?”
“...Saya akan coba yang terbaik,” kataku pelan. “TIDAK,” bentak atasan, suaranya menggema di dinding kaca ruang rapat. “Bukan coba, tapi akan.”
Suasana beku. Semua mata tertuju kepada kami. Klien bersandar, diam, namun jelas tidak puas hati. Aku menelan ludah. “Ya, saya akan pastikan semuanya selesai.”
Klien mengangguk perlahan, lalu menoleh kepada asisten. “Kita akan lihat perkembangan minggu depan. Kalau masih tidak ada penyelesaian, kami akan pertimbangkan kontraktor lain.” Suasana kembali hening. Jantungku berdetak kencang. Rapat dilanjutkan dengan pembahasan teknis, tetapi aku hanya mendengar gema suara atasan tadi di kepalaku.
“Bukan coba, tapi akan.” Suasana rapat semakin tegang. Klien masih menatapku dengan mata yang tajam, sementara aku merasakan wajahku panas, tubuhku semakin tegang. Atasan tetap diam, seolah-olah dia mengharapkan aku untuk menyelesaikan masalah ini sendiri. Suara jam dinding semakin jelas, seperti detakan yang menghitung mundur menuju sesuatu yang buruk.
“Jadi, kita masih tidak memiliki penyelesaian yang jelas untuk masalah ini?” tanya klien, suara mereka semakin tajam, seakan menuntut jawaban pasti. Aku merasakan tekanan itu semakin berat di dadaku. Aku menghela napas, berusaha mengatur kata-kata. “Kami... Kami sedang berusaha mencari jalan terbaik untuk komunitas tersebut,” kataku, suaraku pelan namun tegas.
“Tapi itu belum cukup!” Klien berkata sambil membetulkan duduk, tampak kecewa. “Pihak kami tidak bisa terus menunggu, Encik. Ini soal reputasi, bukan hanya tentang investasi. Jika kami terus terlibat dengan proyek yang tidak ada jaminan, kami akan menghadapi risiko besar.” Atasan yang duduk di sebelahku mengerutkan dahi, memberi isyarat agar aku terus bicara, tetapi nada suaranya semakin keras. “Kenapa kamu masih bicara tentang kemungkinan? Klien ini tidak mau mendengar kata-kata mungkin,” katanya, menyisipkan kata-katanya dengan tajam. “Kamu perlu memberikan mereka sesuatu yang pasti, bukan alasan atau negosiasi yang tak ada habisnya!”
Aku merasa seperti tubuhku diselimuti panas yang menusuk. Semua mata tertuju padaku—mata atasan yang penuh dengan tekanan dan mata klien yang mengharapkan jawaban tegas. “Apa yang sebenarnya kamu harapkan?” tanya klien, suara mereka lebih lembut namun penuh makna. “Kami perlu tahu jika proyek ini akan berjalan, jika tidak, kami akan mempertimbangkan pilihan lain.”
Atasan menoleh kepadaku dengan ekspresi dingin, seakan memberi peringatan. “Kami tidak ada pilihan lain. Kamu akan pastikan ini selesai.” Sementara itu, perasaan buntu semakin menyelimuti. Aku tahu aku harus mengatakan sesuatu yang lebih pasti, tetapi kenyataannya—semuanya tidak begitu pasti. “Kami akan pastikan segala-galanya berjalan lancar,” jawabku, namun aku tahu itu terdengar seperti janji kosong.
Klien mengangkat kening. “Itu bukan jawaban yang kami cari, Encik. Kami memerlukan bukti, kami memerlukan sesuatu yang konkrit.” Dia menoleh kepada asistennya. “Beri kami waktu dua hari untuk mempertimbangkan kembali. Jika tidak ada keputusan yang pasti, kami akan menunda proyek ini.” Suasana dalam ruang rapat semakin tegang. Wajah atasan mulai berubah, namun dia tetap diam. Aku mencoba menahan rasa kecewa yang menyelimuti diriku, tetapi bibirku terasa kering, dan aku hanya bisa mengangguk perlahan.
Ketegangan itu memuncak seiring dengan berakhirnya rapat, dan klien bersama asistennya meninggalkan ruang rapat tanpa sepatah kata pun. Semua orang di dalam ruangan itu terdiam, dan aku tahu, aku baru saja gagal dalam tugas yang seharusnya aku kuasai.
Setelah klien keluar, atasan menoleh kepadaku, wajahnya keras. “Apa yang kamu lakukan tadi? Kamu harus lebih tegas! Mereka tidak akan menunggu kita untuk menyelesaikan masalah. Kamu punya satu minggu untuk menyelesaikan masalah ini. Jangan buat saya malu!”
Suara atasan terdengar seperti gemuruh yang memecah keheningan, setiap kata-katanya seperti memukul wajahku. Aku hanya berdiri tegak, menelan amarah yang menggelegak di dalam dada. Seolah-olah aku bukan lagi manusia—hanya alat untuk memenuhi kehendak sistem yang semakin menekan.
“Apa yang harus saya lakukan? Mereka sudah tidak percaya pada kita!” jawabku, suara mulai bergetar. Aku mencoba menahan emosi, tetapi tekanan ini terlalu besar.
Atasan memandangku dengan tajam. “Kamu cari jalan keluar! Kalau tidak, saya yang akan mencari pengganti untuk posisi kamu!” Aku terdiam. Tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulutku. Dunia terasa sepi. Terdengar bunyi jam dinding yang memecah kesunyian. Setiap detikan itu seperti menambah berat pada hatiku, membebankan aku dengan tuntutan yang semakin tidak tertanggung.
Aku melangkah perlahan, keluar dari ruang rapat. Hari ini benar-benar melelahkan… terlalu banyak beban yang harus kutanggung. Apa yang akan terjadi setelah ini? Mengapa bisa begini? Tak pernah terlintas dalam benakku bahwa pekerjaan ini akan seberat ini. Dulu aku bercita-cita menjadi tentara… tapi tinggi badanku tak mencukupi. Padahal aku sudah mencoba berpikir realistis, memilih jalan yang masuk akal. Tapi nyatanya, tetap saja jalan itu tertutup.
Aku menarik napas panjang. Negaraku… entah mengapa terasa begitu berat. Terlalu banyak yang tak selesai, terlalu banyak yang sulit dipahami—masalah di kampung halaman, peraturan yang terasa asing, dan kenyataan yang sering tak berpihak.
LKeluar dari kantor, pandanganku tertumbuk pada pemandangan yang sudah sering kulihat—atasanku berbincang akrab dengan sang manajer. Ya, ini sudah biasa. Tapi tetap saja menusuk. Aku yang bersusah payah mengejar prestasi, mengorbankan waktu dan tenaga, harus melihat posisi itu direbut dengan mudah oleh orang lain.
Nasibku... sungguh muram. Lelah rasanya... aku hanya ingin pulang. Lalu muncul satu pertanyaan sunyi di benakku—bagaimana kabar Ayah? Sudah berapa lama aku tak menjenguknya?