Elok Giandra: Perempuan di Tengah Api🔥
Tahun 1947,Langit pagi di desa Kalibaru tampak kelabu. Asap tipis dari rumah-rumah yang mulai memasak sarapan tercampur dengan bau tanah basah dan bara perjuangan yang belum padam. KK
Di sebuah rumah joglo tua yang kokoh berdiri, Elok Giandra, gadis berusia dua puluh satu tahun, mengenakan kebaya cokelat muda bersulam benang emas, berdiri di serambi dengan wajah teduh namun matanya tajam seperti mata keris. Ia bukan gadis biasa. Putri dari keluarga priayi, Elok menolak duduk diam saat rakyatnya berdarah demi kemerdekaan.
“Jika mereka rela mati demi bangsa ini, maka aku pun harus hidup demi mereka,” katanya suatu malam kepada ibunya yang menangis diam-diam.
Ayahnya, Raden Wirasentika, adalah bekas pejabat kolonial yang telah pensiun, dan kini lebih banyak mengurung diri. Namun Elok, darah muda yang mendidih oleh berita-berita penyiksaan pejuang dan pembakaran desa oleh Belanda, tak tahan diam.
Diam-diam, ia menjadi penghubung antara pasukan gerilya di hutan Menoreh dengan para simpatisan di kota. Ia membawa surat-surat rahasia di balik lipatan kebayanya. Di hari-hari biasa, ia terlihat seperti gadis priayi biasa yang menebar senyum sopan dan menunduk saat bicara. Namun di malam hari, Elok menelusuri jalur sepi, menyelinap dari rumah ke rumah, membawa informasi, obat, dan kadang-kadang, senjata kecil.
Suatu hari, saat Belanda menyisir desa Kalibaru, mereka mencurigai Elok. Seorang serdadu yang fasih bahasa Jawa berkata, “Cantikmu bisa membuat orang lupa, tapi mata kita tidak buta.”
Elok ditangkap dan dibawa ke pos penjagaan. Ia tidak menangis. Tidak memohon. Ia hanya tersenyum kecil. “Bapak-bapak penjajah, aku hanya gadis biasa yang mencintai negeri ini.”
Mereka menyiksanya, mencoba membuatnya bicara. Namun Elok tetap diam.
Dua hari kemudian, pos penjagaan itu diserbu oleh pasukan gerilya yang dipimpin oleh Panglima Guntur—sahabat dekat kakaknya yang gugur di medan perang. Mereka berhasil menyelamatkan Elok, meskipun ia terluka parah.
Elok dirawat di gubuk tua di tengah hutan. Tubuhnya lemah, tapi semangatnya tak padam. “Jika aku mati, jangan kuburkan aku di makam keluarga. Letakkan aku di ladang—di mana petani bisa melihat bahwa perempuan pun berani melawan,” ucapnya sebelum akhirnya pingsan.
Elok sembuh. Dan ketika Indonesia benar-benar merdeka, namanya tak banyak disebut dalam buku sejarah. Namun di Kalibaru, setiap 17 Agustus, gadis-gadis mengenakan kebaya seperti milik Elok, dan membacakan surat-surat perjuangannya.
Karena mereka tahu, kemerdekaan bukan hanya karena peluru dan bom—tapi juga karena keberanian seorang perempuan muda yang tak pernah mundur meski api menjilat di sekitarnya.
Cerpen tema Revolusi
21042025