Langit senja itu indah sekali, perpaduan warna merah jambu dan oranye menciptakan nuansa yang begitu hangat. Di sebuah taman kecil di pinggir kota, Daniel duduk sambil menatap cakrawala yang perlahan berubah gelap. Di sebelahnya, sebuah kursi kosong menunggu, namun tak ada seorang pun yang duduk di sana. Tak ada yang pernah duduk di kursi itu, kecuali satu orang—Darlin.
Daniel tersenyum kecil mengenang hari-hari mereka dulu. Darlin, gadis yang selalu bisa membuatnya tertawa meski dunia di sekitar terasa berat. Mereka bertemu di taman ini lima tahun yang lalu, saat Daniel merasa dunia sedang menundukkan kepalanya. Darlin datang dengan tawa yang ceria, mata yang penuh rasa ingin tahu, dan suara yang selalu bisa menenangkan. Sejak saat itu, taman ini menjadi tempat yang selalu mereka kunjungi bersama, menjadi saksi bisu dari cinta mereka yang berkembang.
Namun, seperti senja yang selalu berakhir dengan malam, cinta mereka pun harus berakhir. Darlin harus pergi ke luar kota untuk melanjutkan pendidikan, dan Daniel, meski berat, tahu bahwa mereka tak bisa terus bersama. Mereka berjanji untuk tetap berhubungan, namun kenyataannya, jarak dan waktu perlahan mengikis apa yang dulu ada. Daniel masih mengingat pesan terakhir Darlin sebelum keberangkatannya, "Jangan khawatir, Daniel. Cinta ini akan selalu ada, meski kita terpisah oleh jarak."
Tapi, kenyataannya tidak semudah itu.
Beberapa bulan setelah Darlin pergi, Daniel mulai merasakan kesendirian yang mencekam. Taman yang dulu penuh dengan tawa dan cerita mereka kini terasa sunyi. Semua itu berubah menjadi kenangan yang tak bisa digapai. Daniel sering datang ke tempat ini, berharap bisa merasakan kehadiran Darlin, meskipun hanya dalam bayangan.
Hari itu, Daniel datang lagi ke taman. Udara sore terasa sedikit lebih dingin dari biasanya, dan senja tampak lebih kelabu. Ia duduk di kursi yang biasa mereka duduki bersama, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, memejamkan mata. Seperti biasa, ia merasa Darlin ada di dekatnya, meskipun ia tahu, itu hanya perasaan semata.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di belakangnya. Daniel menoleh, dan matanya langsung membelalak. Di hadapannya, berdiri seorang wanita dengan rambut panjang yang tergerai, mengenakan jaket biru yang familiar. Wajahnya tersenyum, dan mata itu, mata yang selalu Daniel kenal, menatapnya dengan lembut.
"Darlin?" suara Daniel tercekat, tak percaya.
Darlin mengangguk perlahan, lalu duduk di samping Daniel. Ada ragu yang tersirat di matanya, namun senyuman yang hangat tetap menghiasi wajahnya.
"Aku... Aku merindukanmu, Daniel" ujar Darlin pelan, suaranya serak.
Daniel hanya bisa terdiam, perasaan yang bergejolak dalam dadanya seperti ombak yang datang tiba-tiba. Ada kebahagiaan yang tak bisa ia ungkapkan, namun ada juga rasa takut—takut kehilangan lagi, takut bahwa ini mungkin hanya mimpi.
"Kamu sudah lama sekali tidak menghubungiku," Daniel akhirnya membuka suara, meskipun hatinya dipenuhi banyak pertanyaan.
Darlin menunduk, kemudian menghela napas panjang. "Aku... aku tahu aku salah, Daniel. Aku pikir, semakin lama kita terpisah, semakin mudah untuk melupakan semuanya. Tapi kenyataannya, aku malah merasa semakin kehilanganmu."
Daniel menggenggam tangan Darlin dengan lembut. "Jadi, kamu datang ke sini untuk...?"
Darlin menatap Daniel dengan mata yang berkaca-kaca, "Untuk mencari tahu apakah masih ada ruang untuk aku kembali."
Daniel menatap Darlin dalam-dalam. Semua kenangan yang dulu, semua tawa mereka yang pernah menghiasi setiap detik bersama, tiba-tiba terasa begitu dekat, begitu nyata. Di dalam hatinya, ia tahu, meskipun perjalanan mereka penuh liku, cinta itu masih ada—tak pernah hilang, hanya tertunda.
"Selama ini, aku selalu menunggu," jawab Daniel akhirnya, suara penuh kehangatan. "Dan aku masih ingin menunggu."
Darlin tersenyum, dan senyumnya itu membuat Daniel merasa seolah-olah dunia ini milik mereka berdua saja. Tak ada lagi jarak, tak ada lagi waktu yang bisa memisahkan mereka. Hanya ada mereka, dan cinta yang tak pernah pudar, meskipun sempat terhalang oleh kenyataan.
Saat senja benar-benar berakhir dan langit berubah menjadi malam, mereka duduk berdua, menikmati keheningan. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan lagi. Mereka tahu, cinta mereka akan selalu ada—meskipun harus menunggu, meskipun harus melalui waktu yang tak mudah.
Dan di bawah langit yang penuh bintang, mereka merasakan kehangatan cinta yang kembali menyatu, seperti senja yang selalu datang dan pergi, namun tetap indah dalam setiap detiknya.