halo guys namaku aditya Rizki, aku ada cerpen bersambung yang berkaitan dengan novel yang sekarang aku buat.
cerpen ini bagian alternatif dari novel " my name is wanda " karyaku yang masih ongoing.
happy reading guys.
Udara di kawasan PIK masih terasa hangat meski senja telah merayap di balik gedung-gedung kaca. Suara angin yang menyapu pelan permukaan kolam kecil di taman hotel terdengar seperti bisikan pelan. Jang Sora berdiri di balik tirai tipis kamarnya di lantai lima belas, membiarkan sinar jingga memantul di matanya yang berwarna abu kehijauan. Ia baru saja kembali dari pertemuan bisnis ayahnya dengan mitra dari Jakarta, namun pikirannya tak tertambat pada angka atau rencana ekspansi seperti yang seharusnya.
Ia menarik napas panjang, lalu menutup mata. Udara mengalir di sekitarnya—halus, nyaris tak terdengar. Tapi Sora merasakannya, seperti detak jantung kedua yang tak pernah pergi dari tubuhnya. Sejak kecil, ia tahu dirinya berbeda. Ada angin yang selalu tahu ke mana ia pergi. Yang membisikkan arah saat ia tersesat. Yang menenangkan saat hatinya berantakan.
"Sora, kamu udah siap?" suara ayahnya, Jang Woo-jin, terdengar dari balik pintu kamar.
"Sebentar, Appa," jawab Sora pelan. Ia menoleh sebentar ke cermin. Wajahnya teduh, dengan garis rahang lembut khas ibunya yang telah tiada. Rambut hitam lurusnya ia kuncir rendah, membiarkan poni jatuh santai di dahinya. Tak ada riasan berlebihan di wajahnya—Sora selalu merasa paling nyaman saat ia tampil apa adanya.
Pertemuan bisnis hari ini bukan hal baru. Sebagai anak tunggal dari keluarga Jang, ia dilibatkan dalam banyak urusan sejak duduk di bangku SMA. Tapi entah kenapa, sejak mereka pindah ke Indonesia tiga tahun lalu, hatinya terasa lebih berat. Seolah-olah angin tak hanya membisikkan arah, tapi juga beban yang belum mampu ia pahami.
Di lobby hotel, ayahnya masih berbicara dengan seseorang lewat telepon. Sora memutuskan berjalan sendiri ke taman belakang. Sepatu flat yang ia kenakan tak bersuara di atas batu kerikil putih yang menghiasi jalan setapak. Ia duduk di bangku kayu menghadap kolam, membiarkan dedaunan pohon kamboja bergoyang pelan di atasnya.
Angin sore menyapu rambutnya pelan. Dan di saat itulah, ia merasakan sesuatu.
Bukan sekadar angin. Tapi... suara. Gemuruh yang jauh, seperti badai yang tertahan. Sesuatu yang tak biasa.
"Kamu dengar itu juga?" suara berat tiba-tiba terdengar dari belakang.
Sora menoleh cepat. Seorang pria muda berdiri tak jauh, mengenakan kemeja putih dan celana abu gelap. Wajahnya teduh, namun menyimpan sesuatu yang... tua. Lebih tua dari usianya.
Ia hanya mengangguk.
"Kau juga salah satu dari kami?" tanya pria itu. Matanya tajam, namun suaranya tenang.
Sora mengerutkan kening. "Kami...?"