Aku sering melihatnya di kafe kecil di ujung jalan. Gadis itu selalu duduk di sudut yang sama, dekat jendela, dengan secangkir kopi hitam dan buku di tangannya. Senyumnya sesekali muncul saat ia membaca, tapi lebih sering ia terlihat tenggelam dalam pikirannya.
Aku tidak tahu namanya. Aku tidak pernah berbicara padanya. Tapi aku selalu memperhatikannya.
Awalnya, aku hanya melihatnya dari kejauhan. Lalu, aku mulai mencari tahu kapan dia datang, apa yang dia pesan, bahkan bagaimana ekspresinya saat sedang berpikir. Aku duduk di tempat yang cukup jauh, tetapi cukup dekat untuk mengamati. Aku belajar jadwalnya, memperhatikan detail kecil tentang dirinya.
Lalu, aku mulai mengikuti.
Tidak berlebihan, hanya ingin tahu ke mana dia pergi setelah meninggalkan kafe. Aku melihatnya berjalan pulang, memasuki apartemen tua di ujung jalan. Lampu kamarnya selalu menyala hingga larut malam. Kadang, aku berdiri di seberang jalan, menatap jendelanya yang terbuka sedikit, membayangkan apa yang sedang ia lakukan di dalam sana.
Sampai suatu malam, dia menutup jendelanya.
Aku merasakan ada sesuatu yang berubah. Besoknya di kafe, dia tampak gelisah, sesekali melihat sekeliling. Aku tahu dia mulai merasa ada yang mengawasinya. Tapi aku tidak bisa berhenti. Aku ingin lebih dekat.
Malam itu, aku berdiri di luar apartemennya lebih lama dari biasanya. Aku menunggu dia muncul di jendela. Namun, yang kulihat malah pantulan bayangan seseorang—**di belakangku.**
Sebelum aku bisa berbalik, suara lembut tapi dingin terdengar dari belakang.
"Kenapa kau selalu mengikutiku?"
Aku merasakan jantungku mencelos. Aku tidak tahu sejak kapan dia sadar. Tapi satu hal yang pasti—sekarang akulah yang dia perhatikan.