Aku duduk di pojok lorong perpustakaan, tempat favorit kami yang selalu menunggu. Sudah sejak satu jam yang lalu aku duduk di sini. Membaca beberapa buku yang harus aku kuasai isinya. Jikalau ada cara cepat agar aku bisa mencernanya tanpa membaca, mungkin aku sudah memakai cara itu.
Kami selalu menghabiskan waktu berjam-jam di tempat ini. Membaca, diskusi, ataupun sekedar bercerita. Semua itu mengalir begitu saja, hingga akhir dari cerita ini hanya aku yang tersisa.
***
Satu bulan yang lalu....
Dua buku telah diselesaikan sejak tadi. Bahkan musik yang kudengarkan telah berkali-kali berputar. Entah dimana dia yang akan membuatku menceritakan ini dengan kata ganti kami. Seharusnya ia telah datang dua jam yang lalu.
Dering ponselku berbunyi. Disana tertera nama kontaknya. Benakku berkata bahwa aku jangan mengangkatnya. Itu akan membuatku kecewa sama seperti berbulan-bulan terakhir. Namun, hatiku memaksa mengangkatnya. Ia bertarung dengan benakku dan hasilnya ia yang menang.
"Halo!" Jawabku dengan suara bergetar.
Lengang, tak ada jawaban. Sebenarnya aku sudah bisa menebak apa yang akan ia katakan, tapi aku hanya menunggunya mengatakan dengan terang.
"Aku.." ia tercekat, diam dan hanya aku tunggu hingga ia benar-benar mengatakannya. "Aku pingin break."
Aku menarik napas dalam-dalam. Menenangkan diriku yang aku yakin sedang tidak baik-baik saja. Seolah ada yang menyerap oksigen di sekitarku. Napasku begitu sesak.
"Nggak usah nanggung. Putus aja," balasku berusaha tenang dan sedatar mungkin.
"Ya udah. Kita selesai sampe disini." Putusnya langsung mematikan telpon.
Aku hanya menatap riwayat telponnya. Mungkin telpon untuk terakhir kalinya. Mataku begitu panas, kutahan dobrakan air mata yang telah siap keluar. "Jangan nangis buat cowok kayak dia!" Camku pada diriku keras-keras.
***
Dua tahun yang lalu....
Aku menyeka airmataku setelah mereka berseluncur keluar dari mataku. Aku menatap orang yang sedari tadi berada di sampingku. Merengkuh pundakku dan mengelusnya, menyalurkan energi positif hingga aku tenang.
"Kau tau? Bahkan seorang dokter butuh orang lain untuk menyembuhkan dirinya." Ujarnya sembari menepuk punggung tanganku. Membuat aku percaya padanya, tak sadar bahwa ialah yang akan memberiku pereda nyeri saja. Bukan memberi obat dan menghilangkan lukanya pada dua tahun yang akan datang.