Hujan turun perlahan di luar jendela ruang makan. Di dalam, lima orang duduk mengelilingi meja bundar yang diterangi lampu gantung tua. Bau kopi hitam yang pekat memenuhi udara—aroma yang hangat, namun malam itu terasa ganjil.
Suryo, pria tua dengan tangan gemetar, menuangkan kopi dari teko porselen antik. "Ini tradisi keluarga," katanya, suaranya serak. "Kita selalu minum kopi bersama setiap tanggal lima belas."
Di seberangnya, Ratna menyesap cangkirnya dengan tenang. Wanita karier berusia tiga puluh lima tahun itu memiliki ekspresi yang sulit ditembus. Di sampingnya, ada Bima, pria muda dengan rahang keras dan tatapan tajam. Ia menggoyangkan sendok kecil, membiarkan kopi berputar perlahan.
Lalu ada Dina—putri bungsu keluarga itu. Gadis berambut sebahu itu menggigit bibirnya, tangan mungilnya memegang cangkir seolah takut sesuatu akan keluar darinya. Terakhir, ada Pak Damar, kakak sulung yang baru kembali setelah bertahun-tahun menghilang. Wajahnya dingin, nyaris tanpa ekspresi, tetapi matanya tajam mengawasi setiap gerakan.
"Lima cangkir kopi," gumam Suryo. "Seperti lima orang di meja ini... seperti lima tahun lalu."
Ruangan terasa lebih dingin. Tidak ada yang berbicara. Semua mengingat hari itu—hari di mana ibu mereka meninggal mendadak di meja yang sama, dengan cangkir kopi di tangannya. Dokter menyebutnya serangan jantung, tapi tidak ada yang benar-benar percaya.
"Kurasa sudah saatnya kita bicara jujur," kata Damar tiba-tiba. "Ibu tidak mati karena serangan jantung. Seseorang di antara kita membunuhnya."
Ratna mendesah. "Omong kosong. Kenapa kita membunuh ibu sendiri?"
"Apa kau lupa, Ratna?" kata Damar pelan, tetapi tajam. "Ibu mengancammu akan mencabut namamu dari wasiat karena kau menikah tanpa persetujuannya."
Ratna menyipitkan mata, tapi tidak membantah.
"Tapi kalau aku ingat benar," Bima menyela, "Ibu pernah bilang dia ingin memutus warisan untukmu, Mas Damar. Kau pergi dan tidak pernah kembali sampai warisan dibicarakan."
Damar tersenyum kecil. "Kau lupa satu hal, Bima. Ibu paling menyayangi Dina. Bukankah kau satu-satunya yang tinggal bersamanya malam itu?"
Dina tersentak. Jari-jarinya bergetar di atas cangkir. "Aku tidak membunuh Ibu," bisiknya. "Aku... aku mendengar suara seseorang di dapur sebelum ibu meninggal..."
Semua menoleh.
"Siapa?" tanya Suryo.
Dina menggigit bibirnya, matanya berair. "Aku tidak tahu. Tapi... aku ingat suara sendok beradu dengan cangkir."
Keheningan jatuh lagi.
Lalu Bima tertawa kecil. "Lucu sekali. Kita saling menuduh, padahal kenyataannya Ibu mungkin mati karena kebetulan."
"Sungguh kebetulan yang menarik," kata Damar dingin. "Karena aku menemukan ini di lemari obat." Ia mengeluarkan botol kecil. Sianida. "Dan hanya satu orang di rumah ini yang tahu cara menggunakannya tanpa ketahuan."
Mata semua orang beralih ke Suryo.
"Aku?" Pria tua itu tergagap. "Kalian pikir aku meracuni istri sendiri?"
Damar menyeringai. "Ibu pernah bilang dia tahu rahasiamu. Tentang anak di luar pernikahan itu. Dia ingin menceraikanmu, bukan?"
Tuan Suryo membanting cangkirnya. "Cukup! Aku tidak membunuhnya."
Tiba-tiba, Dina tersentak. Ia memegangi tenggorokannya, terbatuk keras hingga wajahnya memerah. Semua orang terkejut.
"Dia keracunan!" seru Bima, berdiri.
Dalam kekacauan itu, hanya Damar yang tetap tenang. "Seperti ibu lima tahun lalu," katanya pelan.
Dina jatuh ke lantai. Tubuhnya kejang-kejang sebelum akhirnya diam.
Ratna menjerit. "Kita harus panggil ambulans!"
Namun Damar tidak bergerak. Ia menatap adiknya yang sudah tak bernyawa, lalu menoleh ke Bima. "Kau mencampurnya di kopi, bukan?"
"Apa maksudmu?" suara Bima bergetar.
"Kau pikir aku bodoh?" Damar bersandar di kursinya. "Kau tahu aku kembali untuk mengambil hak waris. Kau ingin aku mati malam ini."
Bima mundur perlahan, wajahnya pucat. "Aku... aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."
Tuan Suryo memejamkan mata, seolah tak sanggup menghadapi kenyataan.
Lalu, Damar tertawa pelan. "Lucu, ya? Kita mengelilingi meja ini, semua ingin orang lain mati agar rahasia tetap terkubur." Ia mengangkat cangkirnya dan meminumnya.
Ratna gemetar. "Apa yang kau lakukan?"
Damar meletakkan cangkirnya. "Tidak perlu khawatir. Kopiku aman. Aku yang menuangkannya sendiri."
Hujan di luar semakin deras. Di meja bundar itu, empat cangkir kopi tersisa—dan hanya satu yang kosong.
Di rumah ini, rahasia tidak pernah benar-benar terkubur. Kadang, ia kembali… dalam cangkir kopi yang terakhir.