Bagian 1: Awal dari Mimpi Buruk
Hidupku dulu biasa saja—tidak terlalu bahagia, tapi juga tidak terlalu menyedihkan. Aku, Alisa, seorang gadis berusia 18 tahun yang baru saja lulus SMA. Aku tinggal di rumah yang cukup besar bersama ayah, ibu, dan kakak tiriku, Arfan.
Arfan bukan saudara kandungku. Dia adalah anak dari istri pertama ayah sebelum menikahi ibuku. Karena perbedaan usia kami yang terpaut lima tahun, aku tidak terlalu dekat dengannya. Arfan selalu dingin dan pendiam, tapi di sisi lain, dia juga sangat bertanggung jawab. Sejak kecil, aku lebih sering menghindarinya karena dia terlalu serius dan nyaris tidak pernah bercanda seperti kakak-kakak lain.
Namun, meskipun jarang berbicara, Arfan selalu ada untukku dalam diamnya. Jika aku membutuhkan sesuatu, dia akan memberikannya tanpa banyak bertanya. Jika aku merasa sedih, dia akan menemaniku meski tanpa kata-kata. Aku pikir, hubungan kami akan selalu seperti itu—hanya sebatas saudara tiri yang tidak terlalu dekat, tetapi tetap peduli.
Aku tidak pernah menyangka bahwa hidupku akan berubah begitu drastis dalam satu malam.
Malam yang Menghancurkan Hidupku
Malam itu, ayah dan ibu harus pergi ke luar kota untuk menghadiri pernikahan saudara jauh kami. Aku tidak ikut karena alasan yang dibuat-buat—aku bilang aku harus mengerjakan tugas kuliah padahal sebenarnya aku hanya malas bertemu dengan orang-orang yang tidak kukenal.
"Kalian jaga rumah baik-baik," pesan ibu sebelum pergi. "Jangan lupa kunci pintu sebelum tidur, ya."
Aku mengangguk. Aku tidak terlalu memikirkan kepergian mereka karena toh ini bukan pertama kalinya aku ditinggal sendiri di rumah. Aku pikir aku akan menghabiskan malam dengan santai, menonton film sambil makan camilan. Tapi takdir berkata lain.
Sekitar pukul sebelas malam, aku mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Aku mengintip dari jendela dan melihat Arfan turun dari motornya dengan langkah sempoyongan. Dari cara jalannya yang tidak stabil, aku tahu dia sedang mabuk.
Aku menghela napas. Ini bukan pertama kalinya Arfan pulang dalam keadaan seperti itu. Belakangan ini, dia sering pulang larut malam dengan bau alkohol yang menyengat. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, tetapi aku tidak ingin ikut campur.
Aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan mengabaikannya. Namun, beberapa menit kemudian, aku mendengar suara pintu diketuk keras.
"Lisa…" Suaranya terdengar berat dan serak. "Bukain pintu…"
Aku menggigit bibir, ragu apakah aku harus membukakan pintu atau tidak. Tapi aku juga tidak bisa membiarkannya di luar begitu saja. Dengan hati-hati, aku melangkah ke pintu dan membukanya sedikit.
"Kakak kenapa?" tanyaku pelan.
Dia tidak langsung menjawab. Matanya terlihat sayu, napasnya berbau alkohol yang kuat. Lalu, tanpa peringatan, dia meraih bahuku dan menarikku ke dalam pelukannya.
"Lisa… kamu cantik sekali," bisiknya.
Aku membeku. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku ketakutan.
"Kakak mabuk. Istirahat saja di kamar," ujarku, mencoba menghindar.
Namun, genggamannya semakin erat. "Jangan pergi…"
Aku mulai panik. "Kak, tolong jangan begini," pintaku, berusaha melepaskan diri.
Namun, Arfan tidak mendengarkan. Tangannya mencengkeram lenganku dengan kuat, dan sebelum aku bisa bereaksi, dia mendorongku ke sofa. Aku mencoba melawan, menendangnya, meronta sekuat tenaga, tetapi tubuhnya jauh lebih kuat dariku.
"Jangan, Kak… Tolong…"
Tangisanku memenuhi ruangan, tapi Arfan tidak berhenti. Aku hanya bisa berteriak, memohon, dan berharap seseorang datang menolongku. Tapi rumah ini kosong, hanya ada aku dan dia.
Aku tidak tahu berapa lama semua itu berlangsung. Aku hanya ingat rasa sakit yang menyiksa, air mata yang tidak berhenti mengalir, dan ketakutan yang memenuhi setiap bagian tubuhku.
Setelah semuanya selesai, Arfan duduk di lantai dengan ekspresi kosong. Tangannya gemetar saat dia menyentuh kepalanya.
"Maaf…" bisiknya.
Aku tidak menjawab. Aku tidak bisa. Aku hanya terbaring, tubuhku terasa mati rasa, pikiranku hancur berkeping-keping.
Aku ingin percaya bahwa ini hanya mimpi buruk. Bahwa aku akan bangun dan menyadari semuanya hanyalah ilusi. Tapi rasa sakit yang masih terasa di tubuhku adalah bukti bahwa ini nyata.
Dan saat itu, aku tahu—hidupku tidak akan pernah sama lagi.
Rahasia yang Kusimpan Sendiri
Malam itu, setelah Arfan pergi ke kamarnya, aku meringkuk di kamar mandi selama berjam-jam. Aku menggosok tubuhku dengan sabun berulang kali, berharap bisa menghapus kotoran yang melekat di kulitku. Tapi tidak peduli seberapa keras aku menggosok, aku tetap merasa kotor.
Aku ingin berteriak, menangis, dan melaporkannya kepada orang tuaku. Tapi kemudian, ketakutan menyerangku.
Apa yang akan terjadi jika aku melaporkannya?
Ayah sangat menyayangi Arfan meskipun dia bukan anak kandung ibu. Jika aku mengatakan yang sebenarnya, apakah ayah akan mempercayaiku? Atau justru menganggap aku yang menggoda Arfan?
Bagaimana dengan ibu? Akankah dia membelaku atau malah merasa malu memiliki anak sepertiku?
Dan yang paling kutakutkan… bagaimana jika Arfan menyangkal semuanya? Aku tidak punya bukti. Aku hanya punya luka di hati dan tubuhku.
Akhirnya, aku memilih diam.
Aku mengunci mulutku rapat-rapat, berpura-pura bahwa malam itu tidak pernah terjadi. Aku menghindari Arfan sebisa mungkin, tidak berani menatap matanya. Setiap kali aku mendengar langkahnya di dekatku, tubuhku langsung gemetar.
Arfan juga berubah. Dia menjadi lebih pendiam dari sebelumnya. Dia tidak pernah lagi menegurku atau menatapku lama-lama. Mungkin dia juga merasa bersalah. Tapi bagiku, tidak ada maaf yang cukup untuk menggantikan apa yang telah dia lakukan.
Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan aku mencoba menjalani hidupku seperti biasa. Aku tertawa bersama teman-temanku, tersenyum di depan orang tua, dan berpura-pura bahwa aku baik-baik saja.
Tapi setiap malam, aku menangis dalam diam.
Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa menyimpan rahasia ini. Yang aku tahu, aku tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu.
Dan aku tidak pernah menyangka bahwa ini baru awal dari mimpi buruk yang lebih besar.