“Bisa nggak sih sehari aja jangan nyusahin?"
Aku hanya diam. Melawan sama sekali tidak ada dalam pilihan yang bisa kupilih sekarang karena pilihannya hanya diam dan diam. Iya, lebih tepatnya tidak ada pilihan sama sekali. Bukahkah melawan orang tua itu tidak boleh? Nanti kita sendiri yang dicap sebagai anak pembangkang.
Hanya karena aku tidak sengaja menumpahkan air dari dalam gelas di atas meja. Anak kecil berusia sepuluh tahun dengan tangan yang diperban karena melepuh akibat tersiram air panas ketika membantu ibunya di dapur, bukankah wajar kalau tidak bisa memegang gelas dengan baik? Tangannya sakit.
"Maaf, Bu." Hanya itu yang bisa aku katakan sambil menunduk dalam.
"Maaf maaf terus bisanya, beresin semuanya!" Perempuan yang dipanggil ibu tapi sepertinya tidak pantas mendapatkan gelar mulia itu pun beranjak meninggalkan meja makan, meninggalkan putrinya yang sedang mengelap meja menggunakan tangan kiri, tangan yang tidak sakit.
Aku tidak tahu letak salahku, aku tidak tahu penyebab ibu selalu marah-marah bahkan untuk hal yang sangat sepele. Tolong, jangan sampai aku membenci sosok yang seharusnya dimuliakan itu.
Prang!
"Nara!"
"Bukan aku, Bu!" balasku berteriak karena kalau dari suara yang meneriakinya, ibu berada di dalam kamar. Aku menoleh pada gelas yang yang tadinya hanya terguling di atas meja, kini sudah pecah dan berserakan di lantai.
"Kenapa kamu masuk lewat jendela, liat-liat dulu kalo mau lompat," omelku pada kucing berbulu oren yang kini tengah asyik memakan sisa tulang ikan di piring bekas ibu. Kucing itu yang memecahkan gelas, yang membuatku harus diomeli lagi oleh ibu.
Seperti biasa, aku hanya diam saat ibu sudah mulai mengomeliku. Tidak ada keberanian untuk melawan, menangis pun ditahan agar tidak semakin dimarahi. Aku hanya membereskan pecahan gelas itu dengan hati-hati walau pada akhirnya tergores juga. Lengkap sudah, kedua tangannya sama-sama terluka, termasuk hatinya juga.
Aku berlari ke halaman belakang rumah setelah telingaku panas karena ceramah ibu dilengapi dengan jeweran juga, satu-satunya tempat yang membuatku nyaman selain di dalam kamar. Di sini, aku suka sekali menggelar sebuah kardus bekas kulkas guna dijadikan alas untuk tiduran, menghalau punggung kecilku bersentuhan langsung dengan rumput. Aku selalu suka menatap langit, menyaksikan awan yang terus berjalan seiring dengan angin yang meniupnya.
"Awan, aku disalahin lagi," curhatku seperti biasa. Aku bukan tidak punya teman tapi bercerita pada orang yang tidak mengerti kita lebih menyakitkan, bukannya didengar dengan baik, yang ada tambah disalahkan.
Kenapa harus awan? Padahal masih ada matahari, bulan, atau bintang. Karena bagiku, awan punya nasib yang sama. Awan sama sepertiku yang selalu disalahkan tanpa tahu kesalahan kita. Awan akan terus disalahkan akan cuaca, padahal tidak punya kuasa apapun atas hujan yang turun, tidak punya kehendak atas panas yang menyengat, dan tidak pernah ikut campur atas datangnya badai dan gemuruhnya langit.
Aku merasa senasib dengan awan, makanya aku nyaman setiap bercerita dan mengadu pada benda putih bergerak di atas langit sana. Anggap saja aku gila karena berbicara pada benda yang tidak akan membalas ucapanku, aku tidak masalah.
"Padahal kita nggak tau apa-apa ya, tapi kita selalu salah di mata manusia," ucapku sambil mengusap air mata yang jatuh dari pelupuk mata.
Seakan merasakan hal yang sama, langit juga meneteskan airnya padahal awan tidak mendung sama sekali. Aku tidak akan menjadi manusia yang menyalahkan awan, aku tahu ia tidak bersalah atas turunnya gerimis ini.
"Awannya nggak mendung sama sekali kok tiba-tiba hujan," gerutu tetangga yang sedang mengangkat jemurannya dengan buru-buru.
Kan! Semakin aku merasa kalau awan adalah teman terbaikku.
Aku masih bertahan berbaring di sini, membiarkan rintik gerimis menerpa tubuh mungilku. Tidak akan sampai basah, karena setelah hujan semakin deras aku memutuskan untuk beranjak dan berhenti bercerita pada awan. Bukan karena ceritaku sudah habis tapi menghindari omelan ibu karena aku bajuku basah oleh hujan.
Dari teras rumah, aku masih betah memandangi awan yang sekarang sudah menghitam seiring semakin derasnya hujan. Awan hanya mengikuti alur, hanya menjadi saksi bisu atas semua yang terjadi di langit, tetapi selalu disalahkan tanpa alasan yang jelas, hanya karena keberadaannya dalam keadaan yang tidak bisa dikendalikan.
Aku belajar dari awan yang terus bergerak, meski disalahkan pun mereka terus melaju. Dengan harapan, mungkin suatu saat hujan akan reda dan kebenaran akan bersinar layaknya mentari. Kebahagiaan itu akan datang seperti pelangi selepas hujan.
"Awan, nasib kita sama. Disalahkan tanpa salah."
Kedua sudut bibirku terangkat membentuk sebuah senyuman manis, perasaanku sudah membaik setelah mencurahkah segalanya pada awan.
"Hai."
Aku terperanjat dan menoleh ke arah sumber suara. Aku terdiam dengan bola mata yang membesar, aku terkejut. "Kamu ...?"
"Iya, aku Awan."