Di sebuah desa yang terletak di pinggir hutan, terdapat sebuah rumah tua yang sudah lama kosong. Rumah itu dikenal oleh penduduk sekitar sebagai tempat yang angker, dihuni oleh kisah-kisah yang tak terungkap. Namun, bagi Dika, seorang pemuda yang baru saja pindah ke desa itu, rumah itu bukanlah sesuatu yang menakutkan. Justru, ia merasa penasaran.
Suatu malam, setelah seharian bekerja di kebun milik pamannya, Dika berjalan melewati rumah tua itu. Matanya tertarik pada gerbang yang sedikit terbuka, seakan-akan mengundangnya untuk masuk. Penasaran, Dika memutuskan untuk menelusuri rumah tersebut. Langkah kakinya terasa berat, namun ada dorongan kuat yang membuatnya terus maju.
Begitu memasuki halaman rumah, Dika merasa ada sesuatu yang aneh. Suasana terasa sepi, tetapi entah kenapa ada sesuatu yang mengawasinya dari jauh. Dika mengabaikannya dan melangkah menuju pintu depan yang sudah rusak, membiarkan angin malam yang dingin menyapu wajahnya.
Di dalam rumah, udara terasa lembab dan berbau apek. Lampu-lampu yang sudah pudar terpasang dengan tidak teratur, dan jaring laba-laba menggantung di setiap sudut ruangan. Dika melangkah lebih jauh, dan tiba-tiba sebuah suara gemerisik terdengar dari dalam ruangan. Langkah kakinya semakin cepat, dan matanya semakin terfokus pada lantai kayu yang berderit di setiap langkahnya.
Di ruang tamu, ada sebuah kursi tua yang terletak di tengah ruangan. Di atasnya tergeletak sebuah buku tua dengan sampul yang hampir terkikis. Dika mengambilnya dengan hati-hati dan membuka halaman pertama. Tulisannya samar-samar, namun satu kalimat tertulis jelas di sana: "Hutang janji akan datang untuk menagih."
Tiba-tiba, pintu yang ada di ujung ruangan terbuka perlahan. Dika menoleh, dan di sana berdiri sesosok wanita berpakaian putih, wajahnya pucat, rambutnya panjang mengalir. Matanya kosong, seakan-akan tidak ada kehidupan di dalamnya. Wanita itu berkata dengan suara pelan namun tegas, "Kamu yang berani masuk ke sini, sekarang kamu yang harus menebus hutang janji."
Dika terperanjat dan mundur, tetapi langkahnya terhenti ketika wanita itu mendekat. Dalam sekejap, wanita itu menghilang, meninggalkan Dika dengan jantung yang berdetak kencang. Suara ketukan pintu terdengar, dan Dika merasakan ketakutan yang luar biasa.
Dika berlari keluar rumah, tetapi begitu ia melangkah ke halaman, ia melihat bayangan seseorang berdiri di depan gerbang. Wajah wanita itu kembali muncul, kali ini dengan ekspresi yang lebih marah. "Hutang janji harus dibayar," katanya, sebelum semuanya kembali hening.
Dika tidak tahu apa yang terjadi, tetapi ia tahu satu hal: rumah itu menyimpan banyak misteri yang harus diselesaikan. Dan mungkin, ia adalah orang yang harus menuntaskan hutang janji yang entah siapa yang melunasinya dahulu.
Sejak malam itu, Dika tidak pernah berani mendekati rumah tua itu lagi. Namun, setiap kali ia melintas, ia bisa merasakan pandangan yang tajam mengikuti jejak langkahnya, seakan-akan janji itu belum terlunasi.
Hari-hari berlalu, namun rasa takut yang Dika alami sejak malam itu belum juga hilang. Setiap kali ia melewati rumah tua itu, perasaan cemas menyelinap ke dalam hatinya. Ia mulai mendengar bisikan-bisikan halus saat berjalan sendirian di jalan desa, suara seperti suara wanita yang memanggil-manggil namanya. Meskipun ia berusaha untuk mengabaikannya, bisikan itu seolah semakin dekat dan tak bisa dihindari.
Suatu malam, ketika Dika pulang dari kebun, ia melihat sesuatu yang berbeda. Rumah tua itu tampak lebih terang dari biasanya, dengan cahaya yang tampaknya berasal dari jendela yang retak. Perasaan takut dan penasaran kembali mengguncang dirinya, namun kali ini Dika merasa ia harus mengetahui lebih banyak. Ada yang belum selesai, dan ia merasa jika ia tidak melakukannya, ia tidak akan pernah mendapatkan ketenangan.
Dengan hati yang berdebar, Dika kembali mendekati rumah itu. Namun, kali ini ia tidak hanya melihat bayangan wanita itu, tetapi juga sebuah siluet pria yang berdiri di depan pintu. Pria itu tampak familiar, seakan-akan Dika pernah melihatnya sebelumnya. Matanya kosong, namun ada tatapan yang dalam, seolah memanggilnya.
Dika memberanikan diri untuk mendekat. "Apa yang terjadi di sini?" tanyanya dengan suara terbata-bata.
Pria itu menjawab dengan suara serak, "Ini adalah rumah yang penuh dengan hutang. Hutang janji yang tak pernah terbayar, yang kini terus mengintai jiwa yang datang."
Dika merasa kakinya terhenti, tubuhnya merasa berat seakan-akan terikat oleh sesuatu yang tak kasat mata. "Hutang janji? Siapa yang berjanji?" tanyanya, bingung.
Pria itu kemudian bergerak perlahan mendekat, wajahnya semakin jelas. Dika terkejut, pria itu ternyata adalah wajah yang sudah ia kenali. Itu adalah wajah kakeknya, yang sudah lama meninggal.
"Dulu, kakekmu membuat janji untuk melunasi hutang yang tak terbayar. Tetapi janji itu tak pernah terwujud. Sekarang, giliranmu untuk menuntaskannya," ujar pria itu, suaranya lebih berat dan penuh penyesalan.
Dika merasa dunia seolah berputar. “Tapi saya tidak tahu apa-apa tentang itu, saya tidak tahu janji apa yang kakek buat.”
“Semua orang di sini tahu. Rumah ini, desa ini, terikat oleh janji yang tidak terbayar,” jawab pria itu. "Kamu yang harus menuntaskannya."
Tiba-tiba, suara wanita itu kembali terdengar, lebih keras dan menuntut. "Janji itu harus dilunasi. Hutang ini harus dibayar. Kau tak bisa lari darinya!"
Dika merasa tubuhnya mulai gemetar. Ia tahu, ia tidak bisa menghindar lagi. Dengan suara parau, ia berkata, "Bagaimana caranya?"
Pria itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah ruang tamu rumah tua itu. "Kamu harus menemukan buku itu. Buku yang menyimpan semua cerita tentang hutang janji yang belum terbayar. Hanya dengan menemukannya, kamu akan mengakhiri kutukan ini."
Dika menundukkan kepala, lalu melangkah menuju rumah tua itu dengan langkah yang berat. Dalam hati, ia hanya berharap bisa menemukan jawaban yang bisa membebaskannya dari teror yang tak henti-hentinya.
Saat ia melangkah masuk ke dalam rumah, cahaya dari lampu minyak mulai redup, dan suara langkahnya terdengar mengisi ruangan kosong yang penuh debu. Ruang itu sepi, kecuali suara detak jantungnya yang makin cepat. Di ujung ruangan, sebuah meja tua dengan tumpukan kertas dan buku-buku usang terlihat mencolok.
Dika mendekati meja itu, dan di atasnya terdapat sebuah buku tebal dengan sampul yang hampir hancur. Di atas sampul itu tertulis dengan tinta merah: “Hutang Janji”. Perlahan, Dika membuka halaman pertama.
Di sana tertulis dengan jelas, cerita tentang sebuah janji yang pernah dibuat oleh kakeknya kepada seorang wanita misterius yang datang dari desa itu, janji yang tak pernah terpenuhi dan berakhir dengan kutukan. Dika tahu, ia harus melunasi hutang itu dengan cara yang tidak ia pahami sepenuhnya.
Saat membaca kalimat terakhir di buku itu, sebuah suara menggelegar terdengar, seperti bumi yang bergetar. Wanita itu muncul di depannya, kali ini dengan wajah yang lebih mengerikan, dan berkata dengan suara mengerikan, "Akhirnya, kamu datang untuk menuntaskannya."
Dika terjatuh ke lantai, merasa tubuhnya tak lagi kuat. Semua perasaan takut, cemas, dan bingung bercampur aduk. Ia tahu, untuk mengakhiri semua ini, ia harus membuat sebuah pengorbanan. Tetapi pengorbanan seperti apa yang akan menghentikan kutukan ini?
Suasana menjadi sangat gelap, dan hanya ada suara berat dari wanita itu yang mengisi kesunyian. Dika akhirnya mengerti: untuk menuntaskan hutang janji, ia harus memberikan sesuatu yang lebih berharga dari apa yang pernah ia bayangkan.
Dika merasakan berat di dadanya, seolah seluruh dunia menimpanya. Wanita itu berdiri di depannya, wajahnya penuh amarah, matanya penuh kebencian yang sudah mengakar lama. Ia tahu, apa yang terjadi malam ini bukan hanya tentang sebuah hutang janji. Ini lebih dari itu. Ini adalah kutukan yang telah berlangsung turun-temurun, dan kini dia harus menjadi bagian dari itu.
Wanita itu mendekat, dan Dika merasa tubuhnya kaku, tak bisa bergerak. "Kamu tahu apa yang harus dilakukan," kata wanita itu dengan suara yang dalam dan penuh ancaman. "Tebus janji kakekmu, atau kau akan terperangkap di sini selamanya, menjadi bagian dari kutukan ini."
Dika menelan ludah, tubuhnya mulai berkeringat dingin. Dalam kepalanya, bayangan kakeknya muncul. Ingatannya kembali pada saat-saat ia bersama kakeknya dulu, saat kakek selalu mengingatkan tentang pentingnya menjaga janji. "Tapi... apa yang harus saya lakukan?" tanya Dika dengan suara hampir tak terdengar.
Wanita itu hanya tertawa, suaranya bergema di seluruh ruangan, membuat dinding rumah tua itu bergetar. "Janji itu tak bisa dibayar dengan uang, atau dengan hal-hal biasa. Kamu harus memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi dirimu."
Dika terdiam, hatinya bergejolak. Apa yang bisa dia berikan? Apa yang lebih berharga dari dirinya sendiri? Semua yang ia miliki terasa tak berarti dibandingkan dengan beban yang harus ia tanggung sekarang. Namun, ia tahu satu hal: ia harus menemukan cara untuk mengakhiri semua ini, atau ia akan terjebak selamanya di dalam kutukan ini.
Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. Ia teringat akan kata-kata kakeknya, yang selalu mengajarkan tentang pengorbanan. "Kadang, untuk menebus kesalahan, kita harus memberikan sesuatu yang kita cintai," kata Dika dalam hati. Itu mungkin jawabannya.
Dengan gemetar, Dika membuka mata dan melihat sekelilingnya. Di sudut ruangan, ada sebuah lukisan tua yang menggambarkan seorang pria dengan wajah yang sangat mirip dengan dirinya. Pria itu mengenakan pakaian yang hampir serupa dengan pakaian kakeknya. "Ini dia," pikir Dika, "kakek pernah berkata, ada ikatan darah yang lebih kuat dari apa pun."
Dika berdiri dan berjalan menuju lukisan itu, lalu meraih sebuah kunci yang tergantung di sampingnya. Tanpa berpikir panjang, Dika memutar kunci itu dan membuka sebuah pintu tersembunyi di balik lukisan.
Pintu itu terbuka perlahan, mengungkapkan sebuah ruang gelap dengan sebuah altar kecil di tengahnya. Di atas altar itu tergeletak sebuah buku besar yang terlihat sangat tua, sampulnya telah hampir hancur. Dika merasa nalurinya mengatakan bahwa ini adalah bagian terakhir dari perjalanan ini.
Dengan tangan gemetar, Dika membuka buku itu. Halaman pertama tertulis dalam huruf-huruf yang tak dikenalnya, namun ia merasa ada kekuatan yang mendorongnya untuk melanjutkan membaca. Setiap kata yang dibaca semakin membuat hatinya terasa berat. Buku itu menceritakan kisah seorang pria yang membuat janji kepada roh yang tidak terlihat, sebuah janji yang harus dibayar dengan darah dan nyawa, sebuah pengorbanan yang mengikatnya pada kutukan yang tak akan pernah berakhir.
Ketika Dika membaca halaman terakhir, suara wanita itu terdengar sekali lagi, kali ini lebih mendalam dan mengancam. "Sudah saatnya kamu membayar harga janji itu. Jika tidak, kau akan menjadi bagian dari kutukan ini selamanya."
Dika terdiam, pikirannya berpacu cepat. Ia tidak ingin terjebak selamanya di rumah tua ini, namun ia juga tahu bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri semua ini adalah dengan melakukan pengorbanan terakhir.
Dengan napas tertahan, Dika menutup buku itu dan melangkah mundur, menuju ruang utama rumah yang gelap. Wanita itu masih berdiri di sana, matanya menatap tajam. "Apakah kamu siap?" tanyanya dengan suara rendah.
Dika menatapnya dalam-dalam, hatinya penuh dengan ketakutan dan kebingungan. Namun, ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri semuanya adalah dengan melunasi hutang itu. "Ya," jawab Dika dengan suara yang terdengar jauh lebih tenang daripada yang ia rasakan.
Wanita itu tersenyum, senyum yang penuh kebencian. "Maka pengorbananmu dimulai sekarang."
Tiba-tiba, Dika merasakan sebuah tarikan yang kuat di dadanya, seakan-akan ada sesuatu yang menghisap seluruh energi dari tubuhnya. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya hampir tidak bisa bernapas. Namun, ia tahu ini adalah harga yang harus dibayar. Dengan mata tertutup, Dika berbisik dalam hati, “Aku akan mengakhiri semuanya. Aku akan menebus janji itu.”
Ketika Dika membuka matanya, ia merasa tubuhnya ringan. Wanita itu menghilang, dan suasana di sekitar rumah mulai berubah. Cahaya yang gelap perlahan-lahan terang kembali, dan rumah tua itu tampak berbeda—lebih tenang, lebih damai. Dika merasakan beban berat yang selama ini menghantuinya mulai menghilang. Ia telah menuntaskan hutang janji itu.
Namun, saat ia melangkah keluar dari rumah, ia menyadari bahwa meskipun ia telah mengakhiri kutukan, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia tak lagi sama. Dalam dirinya, ada bagian yang hilang, sebuah pengorbanan yang tak akan pernah bisa ia lupakan.
Dan rumah tua itu, kini, tak lagi mengintainya. Namun, setiap kali Dika melangkah jauh dari desa itu, ia masih bisa merasakan tatapan wanita itu, mengingatkannya bahwa kutukan janji tak pernah benar-benar berakhir.