"Secangkir Kopi dan Segelas Susu"
.
.
.
.
.
.
Hujan turun deras sore itu, menghantam genting-genting kafe kecil di sudut kota. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan. Adam, seorang barista muda, berdiri di balik meja kasir, matanya memandangi meja nomor tujuh—meja yang sudah seminggu terakhir menjadi tempat favorit seorang gadis berhijab bernama Ghina.
Ghina selalu datang menjelang hujan, mengenakan sweater oversize, membawa buku catatan kecil yang dipenuhi coretan tinta. Adam memperhatikan bahwa Ghina selalu memesan susu hangat tanpa gula, sesuatu yang membuatnya berpikir: betapa bertolak belakangnya mereka. Dia, seorang pecinta kopi hitam pahit; Ghina, penggemar susu yang sederhana dan manis.
Hari itu, Ghina datang lagi. Hujan masih setia menemani, dan begitu pula Adam. Ia menyeduh susu dengan takaran sempurna seperti biasa, lalu mengantarkannya ke meja nomor tujuh.
“Ini pesanannya, susu hangat tanpa gula,” kata Adam sambil tersenyum kecil.
Ghina mengangkat wajahnya, memandang Adam sekilas, lalu mengangguk. “Terima kasih,” jawabnya lembut.
Adam sudah terbiasa dengan respons dingin itu. Ghina bukan tipe gadis yang banyak bicara, tetapi ada sesuatu tentang dirinya yang membuat Adam ingin tahu lebih banyak. Bukan karena penampilannya, tapi karena aura kesendirian yang selalu dia bawa.
Awal Percakapan
Hari itu, untuk pertama kalinya, Ghina mengajukan pertanyaan.
“Mas Adam, kenapa selalu menyukai kopi hitam?” tanyanya tiba-tiba, membuat Adam yang sedang membersihkan meja terkejut.
Adam tersenyum, menatap cangkir kopi hitam di meja sebelahnya. “Kopi hitam itu pahit, tapi di balik pahitnya, ada rasa yang jujur. Aku rasa, itu seperti hidup. Kita harus menerima pahitnya dulu sebelum bisa benar-benar menikmatinya.”
Ghina terdiam, matanya menatap ke arah luar jendela. Hujan masih turun.
“Kalau susu?” Adam mencoba membalas dengan pertanyaan.
Ghina mengangkat bahu. “Susu itu sederhana, lembut, dan memberikan rasa nyaman. Mungkin hidup yang aku cari nggak serumit kopi hitam. Aku cuma ingin sesuatu yang tenang.”
Adam tersenyum kecil. “Jadi, menurutmu kopi dan susu itu bertolak belakang?”
Ghina mengangguk. “Mereka nggak bisa disatukan. Yang satu terlalu kuat, yang satu terlalu lembut.”
Benih Perasaan
Percakapan itu menjadi awal dari kebiasaan baru. Setiap Ghina datang, mereka berbincang. Adam mulai tahu bahwa Ghina adalah seorang ilustrator yang sedang berjuang menyelesaikan proyek besar. Di balik ketenangannya, Ghina menyimpan banyak kecemasan, terutama tentang mimpinya yang sering dianggap mustahil oleh orang-orang di sekitarnya.
Sementara itu, Adam menceritakan tentang perjuangannya membangun kafe kecil ini setelah ditinggal orang tuanya. Ia membangun semuanya dari nol, menghadapi segala macam kesulitan, tetapi kopi selalu menjadi pelarian sekaligus sumber inspirasinya.
Hari demi hari, kehadiran Ghina bukan lagi sekadar pelanggan. Baginya, Ghina adalah seperti susu yang menyeimbangkan pahitnya kopi hitam. Tetapi Adam tahu, ada batas yang tidak boleh ia lewati.
Dua Dunia Berbeda
Suatu hari, Ghina datang dengan wajah yang sedikit muram. Ia memesan susu seperti biasa, tetapi kali ini, ia menatap Adam lebih lama.
“Mas Adam, aku mungkin nggak akan sering datang ke sini lagi.”
Adam merasa dadanya mencelos. “Kenapa?”
“Aku harus fokus menyelesaikan proyekku. Kalau aku gagal kali ini, aku mungkin akan menyerah.”
Adam mencoba menyembunyikan kekecewaannya. “Aku yakin kamu pasti bisa. Jangan menyerah.”
Ghina tersenyum samar. “Kamu terlalu percaya padaku, Mas. Bahkan aku sendiri nggak yakin.”
Malam itu, setelah Ghina pergi, Adam menemukan secarik kertas yang tertinggal di meja nomor tujuh. Itu adalah sketsa sebuah cangkir kopi dan segelas susu, berdiri berdampingan. Di bawahnya tertulis, “Mungkin, mereka tak harus bersatu untuk saling melengkapi.”
Keputusan Berani
Adam tahu dia tidak bisa membiarkan Ghina pergi begitu saja. Ia mulai merencanakan sesuatu yang sederhana, tetapi penuh makna.
Seminggu kemudian, Ghina kembali ke kafe untuk terakhir kalinya, seperti yang ia janjikan. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Adam menyajikan sesuatu yang tak pernah Ghina pesan sebelumnya—latte art.
Di atas cangkir itu, terlihat gambar secangkir kopi yang di sampingnya ada segelas susu. Ghina memandangnya dengan mata berbinar.
“Aku tahu kita nggak harus sama, Ghina. Tapi aku percaya, kopi dan susu bisa berdampingan tanpa kehilangan identitasnya. Sama seperti kita,” kata Adam.
Ghina terdiam, hatinya bergetar. Ia tahu, kata-kata Adam bukan sekadar tentang kopi dan susu. Itu tentang mereka—dua orang dari dunia yang berbeda, yang saling melengkapi meski tak pernah benar-benar menyatu.
Cinta yang Mustahil, Tapi Nyata
Hari itu, hujan masih turun, tetapi hati mereka terasa hangat. Adam tidak pernah meminta jawaban dari Ghina, tetapi senyuman gadis itu sudah cukup. Ia tahu, kadang cinta tidak harus memiliki. Kadang cinta adalah tentang saling mendukung dari kejauhan, seperti kopi dan susu yang berdampingan di atas meja, masing-masing dengan rasa dan takdirnya sendiri.
Dan sejak hari itu, kafe kecil di sudut kota itu menyimpan kisah cinta sederhana, tetapi penuh makna. "Secangkir Kopi dan Segelas Susu."
.
.
.
.