Senja selalu menjadi waktu yang dinanti oleh Sinta. Duduk di beranda rumah kayu tua milik neneknya, ia memandangi langit yang perlahan berubah warna dari biru cerah menjadi jingga keemasan. Ada kedamaian tersendiri yang selalu ia rasakan setiap kali menikmati senja di desa kecil ini.
Sinta sudah tinggal bersama neneknya sejak kecil. Orangtuanya meninggal dalam kecelakaan tragis ketika ia masih berusia lima tahun. Dari saat itu, neneknya yang dengan penuh kasih merawat dan membesarkannya. Nenek adalah sosok yang kuat, meskipun usianya sudah lanjut, ia tetap bekerja keras mengurus kebun kecil mereka dan menjual hasil panen di pasar.
"Senja ini indah sekali, Nek," kata Sinta sambil duduk di samping neneknya yang sedang merajut. Nenek tersenyum lembut, keriput di wajahnya semakin terlihat saat ia tersenyum.
"Senja selalu indah, Sinta. Senja mengingatkan kita bahwa meski hari hampir berakhir, masih ada keindahan yang bisa kita nikmati," jawab neneknya dengan suara lembut yang penuh hikmah.
Sinta selalu mengagumi kebijaksanaan neneknya. Di balik senyuman dan kelembutannya, ia tahu nenek menyimpan banyak kesedihan. Setiap kali nenek bercerita tentang masa mudanya, Sinta bisa merasakan ada banyak cerita yang tak pernah terungkap. Nenek kehilangan suaminya dalam perang, dan harus membesarkan ayah Sinta seorang diri. Namun, nenek tak pernah mengeluh, selalu tabah dan penuh kasih.
Hari-hari mereka di desa itu selalu berjalan dengan sederhana. Pagi hari diisi dengan bekerja di kebun, siang hari memasak dan mengurus rumah, sementara sore hari mereka duduk di beranda menikmati senja. Nenek selalu mengajarkan Sinta tentang kehidupan, tentang bagaimana bersyukur dengan apa yang dimiliki, dan tentang bagaimana tetap kuat meski dihantam berbagai cobaan.
Suatu hari, saat Sinta pulang dari pasar, ia menemukan nenek terbaring lemah di tempat tidurnya. Wajah nenek pucat, dan napasnya tersengal-sengal. Dengan panik, Sinta memanggil dokter desa yang segera datang dan memeriksa nenek.
"Usia nenekmu sudah sangat tua, Sinta. Jantungnya sudah sangat lemah. Aku akan memberikan obat, tapi yang paling penting sekarang adalah memberinya ketenangan dan kebahagiaan," kata dokter itu dengan nada prihatin.
Malam itu Sinta duduk di samping tempat tidur neneknya, menggenggam tangan keriput yang selalu penuh kasih itu. Air mata mengalir di pipinya, namun ia berusaha kuat, seperti yang selalu diajarkan neneknya.
"Nek, terima kasih untuk semua yang telah nenek lakukan untukku," bisik Sinta dengan suara bergetar. Nenek membuka matanya perlahan dan tersenyum lemah.
"Kau adalah anugerah terindah dalam hidup nenek, Sinta. Jangan bersedih. Nenek sudah menjalani hidup ini dengan penuh, dan nenek bahagia bisa melihatmu tumbuh menjadi gadis yang kuat dan baik hati," jawab nenek dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Hari-hari berikutnya Sinta merawat neneknya dengan penuh kasih. Setiap senja, meski nenek tak lagi bisa duduk di beranda, Sinta selalu membawakan cerita tentang keindahan senja yang mereka nikmati bersama. Hingga pada suatu senja yang indah, nenek berpulang dengan damai, dengan senyuman di wajahnya.
Sinta merasa kehilangan yang amat dalam. Namun, setiap kali senja tiba, ia selalu teringat pada kata-kata neneknya. Senja mengajarkan bahwa meski hari hampir berakhir, selalu ada keindahan yang bisa dinikmati. Dan meski nenek sudah tiada, kenangan indah bersama nenek akan selalu hidup dalam hati Sinta, memberikan kekuatan dan ketenangan.
Senja di desa kecil itu tak pernah lagi sama, namun bagi Sinta, setiap senja adalah pengingat akan kasih sayang dan kebijaksanaan neneknya. Seiring berjalannya waktu, Sinta belajar menerima kehilangan itu dengan lapang dada, dan menemukan kedamaian dalam kenangan yang selalu hadir di setiap senja.