Berbagai foto dari satu perempuan yang sama terpampang di dinding-dinding kamarnya. Barang-barang milik perempuan itu pun tersimpan rapih, entah yang ada di dalam lemari, laci meja maupun di atas nakas.
Sementara itu, seorang pria duduk di depan layar komputernya, menonton rekaman CCTV yang menampilkan perempuan cantik berambut sebahu.
Di tangan pria itu terdapat segelas es kopi dan beberapa snack.
Seringai tipis muncul di bibirnya tatkala melihat perempuan itu pergi keluar rumah.
Lalu, pria itu memakai hoodie hitamnya.
—————•••—————
Listia Veronica.
Jika ada yang bertanya mengenai nama itu di universitas ini, kemungkinan besar mereka akan menggelengkan kepala tidak tahu.
Meski tidak ingin mengakui, faktanya sangat sedikit sekali orang yang mengenal Listia.
Padahal Listia juga kuliah di universitas ini. Namun, keberadaannya seolah tak pernah ada.
Listia bukan orang introvert yang sulit bergaul. Pada dasarnya Listia pandai bergaul, pintar, cantik dan dari keluarga yang terpandang.
Namun anehnya, Listia tidak bisa berteman dengan satu orangpun di universitas ini.
Setiap kali Listia mencoba bergabung dengan teman-teman sekampusnya, namun mereka justru menjauhi Listia tanpa sebab.
Tidak ada yang mau mendekatinya, baik cowok maupun cewek.
Listia menghela napas kasar, kemudian duduk di bangku taman depan universitasnya.
Orang-orang berlalu lalang, namun tidak ada yang menyapanya.
"Kayaknya gue dikutuk," monolog Listia. Ia mengacak rambutnya frustasi. "Gue salah apa, sih?! Semua orang menghindari gue. Teman nggak punya, pacar juga nggak ada. Minimal kasih tahu kesalahan gue!"
Tak ingin dirinya semakin emosi, Listia sengaja mengalihkan pikirannya dengan membaca sebuah novel yang biasanya tersimpan di dalam tas.
Namun, novel itu menghilang. Meski Listia telah mengobrak-abrik tasnya, novel kesayangannya itu tetap tidak ada.
"Hilang lagi?" Alis Listia mengerut.
Barang-barang kesayangannya selalu saja menghilang. Entah itu bedak, cermin, tas, novel atau hal lainnya. Setiap Listia menaruh perhatiannya pada sesuatu, maka sesuatu itu akan menghilang.
"Listia?"
Listia berjengit kaget mendengar panggilan tak terduga itu.
"Davin? Ngagetin aja lo!" keluh Listia. "Kok, lo ada di sini, sih?"
Davin Arbayiz, teman masa kecilnya Listia.
Setahu Listia, Davin sedang berkuliah di luar negeri. Maka dari itu, ia terkejut melihat kedatangan mendadak Davin di Indonesia.
"Gue izin kuliah selama tiga hari karena nyokap gue sakit."
"Tante Rara sakit? Kok, gue nggak tahu, sih?!"
Davin mencubit hidung Listia pelan. "Mama nggak apa-apa. Itu cuma alasan palsu saja biar gue bisa bolos."
"Dasar tukang bohong!"
Tawa Davin menguar di udara. Tangan kekarnya mengacak pelan rambut Listia. Di matanya, Listia selalu nampak lucu.
"Udah, sana masuk kelas. Dosen lo nunggu tuh."
Sontak, Listia melihat jam tangan silvernya. Matanya melotot menyadari kelasnya sudah dimulai tiga menit yang lalu.
"Duh, mampus! Gue lupa lagi! Gue harus pergi sekarang!"
"Tunggu!" Davin menahan pergelangan tangan Listia. "Gue bawa susu kotak buat lo. Diminum, ya."
Awalnya Listia tidak mengerti alasan Davin memberinya susu kotak. Davin tahu jelas bahwa Listia tidak suka susu.
Namun, ternyata di balik kemasan susu kotak, ada nota kecil beserta tulisannya.
*Ada yang mengikutimu. Hati-hati. Jangan sampai sendirian.*
Itu adalah tulisan di nota kecil itu.
"Ada yang mengikuti?" gumam Listia. "Ternyata dugaan gue nggak salah."
Sebenarnya sudah sejak lama Listia menyadari ada stalker yang terus mengikutinya. Namun, setiap Listia mencoba menyelidiki, dia tidak menemukan hasil.
"Gue harus menyelidikinya lagi," gumam Listia.
—————•••—————
Listia membeli sebuah boneka beruang yang akan dipajang di lemari bonekanya.
Di dalam mata boneka itu, terdapat CCTV kecil yang disembunyikan. Mungkin dengan cara ini, Listia akan menemukan sesuatu.
"Oke, semuanya sudah selesai. Waktunya tidur."
Karena jarum jam semakin menunjukkan waktu malam, Listia bergegas tidur.
Esok harinya Listia langsung memeriksa CCTV bonekanya lewat layar handphone. Namun, CCTV itu rusak. Hanya ada kegelapan saja di sana.
Akan tetapi, hal ini membuat semuanya menjadi jelas.
"Ternyata beneran ada stalker di sini."
Pandangan Listia menjelajah sekitar. Matanya tiba-tiba saja menemukan secarik kertas yang menempel pada pintu kamarnya.
Listia mengambil kertas itu, lalu membacanya.
*AKU ADA DI BELAKANGMU*
Sontak, Listia membalikkan badannya. Betapa terkejutnya Listia melihat sosok laki-laki tampan berahang tegas berdiri di sana.
Laki-laki itu memakai hoodie hitam yang membuatnya terlihat misterius. Salah satu bibirnya terangkat, membentuk senyuman miring.
"Listia Veronica, akhirnya aku bisa menunjukkan wajahku di depanmu."
"S-siapa kamu?!"
Kaki Listia berjalan mundur. Keringat dingin meluncur bebas dan wajah ketakutannya terlihat.
"Ardhan Abercio, itu adalah namaku. Mungkin kamu tidak mengenalku, tapi aku sangat-sangat mengenalmu."
Kaki Ardhan berjalan maju seiringan dengan langkah mundur Listia. Setiap kali Listia memundurkan kakinya, maka kaki Ardhan akan semakin bergerak mendekati.
"Jadi, lo yang selama ini nge-stalk gue? Lo yang mengikuti gue ke manapun gue pergi, membuat orang-orang menjauhi gue, dan mencuri barang-barang gue?" Gurat marah di wajah Listia terlihat.
Rasa marahnya menjadi lebih kuat dibandingkan rasa takutnya.
"Iya," jawab Ardan enteng.
"Berengs*k!" maki Listia. "Kehidupan gue jadi kacau gara-gara lo, Bajing*n! Gue salah apa sampai-sampai lo jadi penguntit di hidup gue dan menghancurkan kehidupan sosial gue?!"
Ardhan tetap tenang walaupun emosi Listia membeludak keluar. Mata kebencian dan amarah milik Listia tidak membuat Ardhan merasa bersalah sedikitpun.
"Kamu nggak punya salah apapun, Listia," ucap Ardhan.
Kaki Ardhan kian berjalan mendekati Listia. Di sisi lain, Listia tidak bisa menghindarinya karena tubuhnya yang sudah terpojok dinding.
"Mau apa lo?!" tanya Listia was-was.
Tangan Ardhan terangkat menyentuh rambut Listia. Dia mencium harum yang menguar dari rambut perempuan itu, membuat Listia tidak nyaman.
"Kamu tahu, Listia?" Ardhan memamerkan senyumnya. "Saat aku melihatmu bersama orang lain, entah itu cowok atau cewek, rasanya seperti hampir gila. Terutama kemarin. Saat aku melihat cowok itu memainkan rambutmu dan menyentuh wajahmu, aku ingin sekali membunuhnya saat itu pula."
Tubuh Listia merinding mendengar kalimat menakutkan Ardhan. Ia sampai kesulitan meneguk ludahnya karena ketakutan yang merayap hati dan pikiran.
"Kenapa lo bersikap kayak gitu? Lo punya dendam ke gue?" Listia bertanya dengan suara yang dibuat setenang mungkin.
"Dendam?" Ardhan tertawa keras. "Sayang, aku tidak bisa marah atau dendam kepadamu. Justru aku sangat mencintaimu seperti orang gila."
"Apa maksudmu?"
"Apa lagi memangnya?" Ardhan mendekatkan bibirnya di telinga Listia, lalu berbisik, "baby, i'm obsessed with you."
Dering tanda bahaya berbunyi nyaring di kepala Listia.
Sontak, Listia mendorong tubuh kekar Ardhan agar menjauh darinya. Namun, usahanya sia-sia. Tenaga Ardhan jauh lebih kuat daripada Listia.
"Lepaskan aku, Bajing*n!" Sorot mata Listia yang tajam justru membuat Ardhan semakin menyukainya.
"Berhenti memberontak, Darling. Because you are mine. Always mine. Kamu akan selalu menjadi milikku selamanya, bahkan jika kamu sudah mati dan hanya tinggal mayat saja."
"Lo gila!"
"Ya, aku memang tergila-gila padamu. Aku selalu memiliki fantasi liar terhadapmu. Kamu milikku, dan aku milikmu."
"Gue bukan milik lo sampai kapanpun!"
Gigi Ardhan bergemelatuk. Tangannya terkepal erat di samping badan. Sorot matanya menajam.
"Kenapa? Apa karena cowok si*lan yang kamu temui kemarin?" tanya Ardhan.
"Kemarin?" Kemungkinan besar cowok yang dimaksud Ardhan adalah Davin.
"Jadi, memang karena cowok itu, ya." Kini, Ardhan tahu langkah selanjutnya untuk dapat memiliki Listia seutuhnya. "Aku memang harus membunuh cowok itu."
"Lo nggak mungkin bisa bunuh dia."
"Why not?" Ardhan menyeringai. Kemudian, dia memperlihatkan rekaman video saat Davin disiksa olehnya. "Aku menculiknya setelah kalian mengobrol kemarin, lalu menyiksanya habis-habisan. Kapanpun aku mau, aku bisa membunuhnya."
Hal ini menimbulkan keterkejutan Listia. Wajah perempuan itu mendadak pucat.
"Jangan ... jangan lakukan apapun padanya."
"Kalau begitu, ikut denganku dan jadilah milikku seutuhnya. Aku akan membebaskan cowok itu, kalau kamu ikut denganku."
"Apa yang terjadi kalau gue ikut sama lo?"
"Kita akan selalu bersama. Ke manapun kamu pergi, aku selalu di sampingmu."
Apapun keputusan Listia, hasilnya akan mengubah kehidupan Listia.
Tetapi yang pasti, Listia tidak mungkin membiarkan orang lain terluka hanya karena dirinya.
"Baik, gue akan ikut lo," putus Listia walau terpaksa.