Sunyi, hanya suara desiran angin senja yang menyapu telinga. Lolongan anjing terdengar beruntun dari rumah di ujung sana. Setiap malam selalu saja menggogong, sudah tidak heran.
Ravita, seorang wanita yang bekerja sebagai penjaga mini market yang kali ini mendapat shift malam. Mamanya terkadang merasa was-was dan tidak setuju jika Vita berangkat kerja malam, mengingat dirinya masih seorang gadis.
"Vit, kamu dapat jatah malam?" tanya Mamanya
"Ya, Ma" balasnya
Wanita paruh baya itu masih setia berdiri di ambang pintu dengan memandangi anak gadisnya yang sedang menyiapkan diri untuk bekerja.
"Kenapa, Ma? Mama khawatir lagi denganku?" tanyanya setelah mendekati mamanya.
Wanita itu hanya mengangguk, kemudian mengelus rambut putrinya itu
"Mama rasa, kamu ngga perlu pergi bekerja malam ini, Nak" ucapnya
"hah? Kenapa begitu?" tanya gadis itu keheranan.
Tidak heran bagi Ravita kalau-kalau mamanya itu mengatakan hal seperti itu. Dirinya sudah terbiasa mendengar mamanya berucap seperti itu. Jadi, dirinya tidak merasa takut ataupun curiga sama sekali.
"Mah, kalau Vita ngga kerja. Lalu kita mau makan apa?" ucapnya
Mamanya menggeleng,
"biar mama saja yang bekerja besok, mencari kayu di tepian hutan itu. Kita bisa menjualnya ke pasar" jelasnya
Ravita menggeleng kemuadian berucap,
"Mah, ngga usah mama bersusah payah begitu. Pekerjaan Vita saat ini baik dan gajinya cukup besar. Nggak bisa kalau Vita ninggalin begitu aja" jelasnya kepada mamanya.
Tak berapa lama keduanya saling berpandangan, kemudian Ravita melirik jam dinding. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam,
"sudah ya Ma, sudah telat ini. Vita pamit" ucapnya seraya bergegas mencium tangan mamanya
Mamanya hanya diam, namun telapak tangannya menggenggam erat telapak tangan putrinya, enggan melepaskannya. Mereka kembali berpandangan.
"Kenapa lagi, Ma?" tanya Sang gadis
"Mama punya perasaan nggak enak. Tolong dengarkan Mama, Vit. Jangan berangkat kerja malam ini" ucap mamanya sekilas memohon
Sang gadis mengembuskan napas kasar
"Mama sering mengucapkan kalimat itu saat aku mau bekerja. Please, Ma. Jangan membuatku khawatir dengan ucapan Mama yang seperti itu" balas Sang gadis.
Tak mendapatkan tanggapan dari Mamanya, Ravita melepaskan genggaman tangan Sang Mama.
"Sudah ya, Vita pergi dulu. Kalau memang terjadi apa-apa, Mama segera telepon aku, begitu pun sebaliknya" ucapnya kemudian pergi berlalu meninggalkan rumah.
Menyusuri jalan desa yang sudah tampak sunyi. Di hari-hari biasa, biasanya masih ada anak-anak yang bermain dengan diawasi orang dewasa. Tetapi, kali ini berbeda. Jalanan desa sudah sepi sunyi, mungkin karena ini malam jumat, sudah menjadi adat dari desa ini jikalau kamis malam, sebagian orang bertirakat atau ada acara ritual lainnya. Tergantung kepercayaan masing-masing.
Ravita menyusuri jalan seorang diri, setapak, sunyi, sepi, hening. Baru dirinya sampai di tengah jalan setapak itu, seketika bulu kuduknya berdiri. Tidak seperti biasanya, biasanya dia tidak mudah merasa takut. Namun, lain rasanya hari ini.
"Ehem!" terdengar suara deheman parau dan keras seorang lelaki. Ketakutannya semakin menjadi.
Terlihat seorang pria di ujung jalan sana, dia tetap berjalan tenang menutupi rasa ketakutannya. Menoleh ke belakang, berpikir sejenak. Terlintas di pikirannya untuk kembali ke rumahnya saja, namun dirinya sudah mencapai setengah jalan.
Penerangan yang minim, lampu jalan di gardu sana tiba-tiba tidak berfungsi, padahal kemarin masih menyala di waktu yang sama.
Kakinya berhenti sejenak, memerhatikan lelaki itu, mengapa dia terus saja berdiri di tepian jalan setapak ini. Lantas, dirinya teringat ucapan Mamanya tadi, Mama bilang mendapat firasat buruk.
"Mah" mulut sang gadis berucap. Namun, dia masih berjalan pelan, lebih pelan dari sebelumnya.
"Gug.. Gug.. Gug...!" gonggongan anjing mengejutkan Vita. Ya, anjing yang berada di rumah besar di ujung sana.
Benar saja, tubuhnya terasa kaku. Pria yang tadi berdiri di ujung sana, lumayan jauh dari tempat berdiri Vita sekarang. Dia berlajan ke arah Ravita, gadis itu ketakutan bukan main.
Matanya terbelalak lebar-lebar, saat pria itu jelas-jelas melangkah mendekat malahan setengah berlari.
Tanpa banyak berpikir, Ravita berlari kencang mencari tempat persembunyian. Dia berlari tunggang langgang terserok-serok masuk di tengah semak.
Rupanya pria tadi semakin mendekat, bunyi langkah kaki semakin terdengar, detak jantung Ravita semakin cepat tidak terkendali.
"Dimana gadis itu?" ucap sang pria. Suaranya sungguh berat.
Ravita memejamkan matanya, harap-harap pria itu tidak menemukannya.
Tiba-tiba,
"Nona" terdengar suara wanita dari belakang tubuhnya, seorang wanita menepuk pelan bahunya. Ravita menoleh seketika, terkejut, dan hampir berteriak.
"Tolong, nyonya. Saya sedang di kejar-kejar oleh pria itu. Tolong selamatkan saya" ucap Ravita memohon
"Baiklah, mari ikut saya. Itu rumah saya" ucap sang wanita paruh baya. Dia menunjuk sebuah rumah panggung, tepat berada dibelakangnya. Sorot terang lampu neon dari rumah itu seakan membawa jalan keluar baginya juga.
"Mari" ajak sang wanita menggandeng tangan Ravita. Sedangkan pria tadi sudah tak terlihat di tempatnya.
Menapaki tangga demi tangga hingga akhirnya sang wanita membukakan pintunya. Mata Ravita mengedar menyusuri setiap inci rumah ini. Tidak terdapat barang apa-apa.
"Nyonya mengapa rumah Anda kosong?" Baru saja Ravita menyelesaikan pertanyaannya, kemudian menoleh ke arah wanita yang berdiri tadi.
Wanita itu tidak ada di tempatnya....
Brak!!!
Pintu rumah itu tertutup kasar, tubuh Vita tersentak. Kemudian dia berlari menuju pintu itu, sebelum akhirnya pintu itu benar-benar menutup.
Sayang beribu sayang, pintu itu kini sudah tertutup rapat, tidak bisa terbuka lagi.
"Mama! Mama!"
Hanya teriakan itu yang terdengar untuk terakhir kalinya. Kalau saja, dia menurut akan perkataan mamanya tadi. Mungkin itu tidak akan menimpanya.
Penyesalan tiada artinya lagi.
TAMAT!