“Asuuu … asu! Gara-gara dosen sialan itu, aku jadi ketinggalan rombongan!”
Aku mengumpat sambil memacu motor RX-King kesayanganku, membelah kesunyian malam. Suara motor yang cukup khas, lumayan juga untuk menemani perjalanan ku malam ini. Yah setidaknya rasanya mirip seperti mendengarkan lagu dari band kesayanganku.
Namaku Rio, aku mahasiswa tingkat akhir dari Fakultas Teknik Sipil. Pengerjaan skripsi yang berlarut-larut cukup membuatku stres. Jadi aku putuskan untuk ikut touring bersama club motor dengan tujuan Kopeng, Magelang.
Padahal persiapanku sudah matang, logistik, tenda, bahkan gitar kesayanganku. Tapi dasar sial seharian aku menunggu dosen pembimbing satu dan dua tapi apa yang kudapat revisi, revisi, dan revisi lagi!
Aaah, brengsek! Aku kesal bukan main.
Apa sih maunya mereka?! Selalu salah hanya karena komponen kecil dalam penghitungan struktur gedung.
Mereka pikir aku ini nggak cari data apa? Nggak turun langsung kelapangan?
Fyuuuh, aku menarik nafas panjang berusaha melepaskan rasa frustasi ku hari ini. Kupacu Si Bono–nama motor kesayanganku sampai batas maksimal.
“Mumpung sepi, nggak ada yang lewat ples nggak ada polisi. Ayo Bon, let's goooo!”
Si Bono kali ini moncer ku bawa ngebut sampai maksimal, ‘heeem, tumben Bon … kamu nggak ngambekan! Maturnuwun Yo udah nemenin aku kemana-mana, sekarang kita refreshing!’
Begitu ucapkan dalam hati, mengajak bicara Si Bono agar tidak ngadat di tengah jalan. Maklum usia Bono sudah tua, motor ini pemberian bapak sewaktu aku SMA dulu dan udah bolak-balik aku ajak touring antar kota bareng temen-temen club.
Tapi sial memang nggak pernah ada di kalender!
Baru beberapa kilometer, sesuatu terjadi sama si Bono. Tarikannya mulai nggak enak dan mesinnya seperti mbrebet nggak karuan.
“Eeh, Bon lah nopo Iki Bon?! Ojo mati sek to Yo, Jik uadoh lho Iki Bon!”
Lalu ‘KLEK!’
Motorku, mati.
“Hoalah asuuuuu tenan … lah kok mati tenanan, pie Iki?!” Aku panik.
Bagaimana tidak, aku sekarang ada di jalanan panjang yang sepi dan berkabut. Penerangan lampu jalan pun tidak ada, hanya ada satu itu pun jauh didepan sana.
“Asem tenan Booon … Bon! Ndadak mati Saiki lho?!”
Aku terus mengumpat sambil berusaha menyalakan motor lagi. Menyelah dengan sekuat tenaga tapi memang sial, sial, dan sial! Bono tak kunjung menyala. Aaah, brengsek!
Aku membuka tasku, mencari headlamp kecil yang selalu kubawa. Mesin mati total, jadi aku terjebak dalam gelapnya malam.
Dengan terpaksa aku menuntun Bono menuju tempat yang lebih terang. Kan nggak mungkin juga aku benerin Bono gelap-gelapan. Malam yang dingin rasanya jadi cukup gerah karena harus berjalan kaki sambil mendorong Bono.
Di kejauhan aku melihat dua bapak-bapak sedang memainkan senter. Mungkin mereka sedang ronda, memantau situasi. Aku bersemangat dan berharap mereka bisa membantuku.
Jujur saja, sedari tadi rasanya aku seperti diperhatikan sesuatu dari balik pepohonan di samping kanan dan kiri ku. Bulu kudukku merinding dan terkadang, ada hembusan angin lembut yang menyentuh tengkuk. Seperti hembusan nafas orang.
Hiiiii … aku ngeri membayangkan jika ada pocong atau mbak Kun yang duduk di motor.
“Lho mas, motornya kenapa? Kok dituntun?” Sapa ramah salah satu bapak tua.
“Mogok pak, apa ada bengkel dekat sini?” Tanyaku sambil menyeka keringat.
“Wah jauh mas, itu juga pasti sudah tutup.” Jawab yang satu sambil memperhatikan motor dan bawaanku. “Masnya mau pergi kemana? Kemping?”
“Nggih pak, mau ke Kopeng. Harusnya bareng sama teman-teman tapi saya ketinggalan. Malah pake acara mogok.” Jawabku dengan senyum masam, dalam hati mengumpat pada Si Bono yang malam ini menambah komplit hati sial ku.
“Oalah, kasian. Gimana kalau masnya nginep aja dulu. Besok pagi-pagi saya carikan montir buat benerin motor.”
Tawaran yang sungguh aku harapkan. Kakiku sudah nggak sanggup lagi berjalan dan jam juga sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
“Ayo mas, kita ke rumah saya aja. Deket kok, itu kelihatan kan dari sini.”
Aku mengangguk, dan mengikuti dua bapak-bapak yang berjalan terlebih dahulu. Selangkah, dua langkah … rasanya, ada yang aneh.
Aku seperti masuk dalam kesunyian yang lebih pekat. Telingaku pengang, merasakan perbedaan tekanan udara seperti di ketinggian. Oksigen rasanya semakin sedikit dan aku mulai sesak nafas.
“Mas bisa taruh motornya disini, aman kok.”
Aku menurut, mengabaikan perasaan tak enak yang mendera. Sesaat aku memperhatikan bangunan megah ala jaman Belanda didepanku. Aku baru melihatnya, padahal aku seringkali melewati jalan ini. Apa aku begitu fokus sampai tak melihatnya?
Dilihat dari jaraknya, seharusnya gedung ini terlihat jelas dari jalanan. Tapi … ah, sudahlah! Aku lagi malas buat berpikir.
“Lho kok malah bengong, ayo masuk! Ini rumah saya baru selesai dipugar. Bagus to?”
“Oh begitu, pantesan nggak pernah lihat kalau lewat sini pak.” Jawabku tak enak hati karena bapak tadi sepertinya membaca pikiranku.
Kakiku rasanya begitu berat saat melangkah masuk. Seperti menerobos medan magnet sedang. Ternyata di dalam rumah ada beberapa kamar yang berjajar dan saling berhadapan, mirip seperti hotel atau losmen kecil.
“Nah ini rumah saya.”
“Kok banyak kamarnya pak?” Tanyaku penasaran.
“Hahahaha, anak saya banyak mas. Ada 12 dan semua saya kasih kamar sendiri. Masnya bisa menginap di kamar tamu. Itu letaknya di ujung sana.”
Aku mengangguk dan berterimakasih. Jujur ini agak ngeri sih, rumah ini rasanya dingin sekali. Bahkan kalau aku ngomong pasti keluar asap dari mulut. Aneh karena tempat ini seharusnya masih masuk dataran rendah.
Aku mengeluarkan ponsel berusaha menghubungi Jaka, ketua tim rombongan. Berkali-kali teleponku tidak diangkat, brengsek memang dia! Teganya ninggalin aku sahabat terbaiknya. Aku memutuskan untuk mengirim pesan padanya.
Jak, jemput aku di titik ini. Si Bono ngadat lagi nih!
Seorang wanita memakai kebaya datang dengan senyum manis. Ditangannya ada secangkir minuman yang masih mengepulkan asap.
“Monggo mas, minum dulu biar hangat badannya.”
Aku mengangguk dan berterima kasih sambil mikir kok bisa ya si ibu cantik ini pake baju kebaya tipis tanpa kedinginan kayak aku?
Tanpa basa-basi, aku meneguk minuman itu. Tapi gelenyar aneh terasa menggelitik tenggorokan. Wangi pandan bercampur kopi pekat sedikit berbau amis. Ah mungkin cangkirnya kurang bersih, bodo amat deh yang jelas badanku sekarang jauh lebih hangat dan … ringan?
“Mari saya tunjukkan kamarnya,” ibu cantik itu melenggang genit didepanku.
Pancen asu tenan, Iki kok malah menggoda!
“Silahkan ini kamarnya,”
Begitu pintu terbuka, sesuatu menerpa wajahku dengan keras. Aku terkejut dan nyaris terjatuh. “Sem! opo kui?!”
Aku mengumpat kasar tanpa sadar hingga ibu cantik itu tersenyum.
“Cuma angin, mas.” Katanya lembut tapi menusuk hatiku.
Aku menoleh padanya, senyumnya terasa aneh bagiku. Tapi entah kenapa, kakiku rasanya ingin terus melangkah masuk ke dalam kamar. Ada sesuatu yang menyedot rasa tertarik ku disana.
Satu tempat tidur ukuran besar, satu lemari dengan ukiran kuno, cermin besar yang memperlihatkan pantulan penuh dan … sesajen?
Eeh, apa-apaan ini?! Kenapa dikamar ini ada sesajen?!
“Maaf Bu, eh mbak tapi itu ..,”
Saat aku memutar tubuhku, pemandangan mengerikan terlihat. Wanita cantik tadi berubah mengerikan!
Ia menatapku tajam dengan senyuman aneh yang sangat lebar seperti merobek wajahnya.
“Selamat datang, penghuni terakhir … kami sudah lama menunggu!”
Seketika pintu tertutup kasar diikuti suara kuncian. Aku berusaha membukanya, mendobrak dan menggedor sekuat tenaga tapi semua itu sia-sia. Pintu itu bak baja kokoh yang mustahil dibuka atau dirobohkan.
“Tolong … tolong, keluarkan aku dari sini!”
Aku berusaha berteriak, menggedor-gedor kaca jendela berharap ada yang mendengar dan menolongku. Aneh tapi nyata, jalanan yang tadi sepi tiba-tiba begitu ramai dipenuhi kendaraan.
Aku terus berusaha berteriak berharap ada pengendara yang mendengarku. Tapi tak ada satupun dari mereka yang mendengar atau menoleh ke rumah ini.
Hingga akhirnya, aku pasrah dan terduduk lemas di sudut kamar. Aku menangis merutuki nasib sial ku hari ini. Dan saat aku menoleh ke cermin, aku terkejut.
Pantulan diriku terlihat begitu mengerikan. Wajahku bersimbah darah. Tanganku berputar ke arah yang tidak seharusnya, dan leherku lebam seperti membentur sesuatu. Seketika aku tak bisa menegakkan kepala meski aku berusaha mencobanya.
“A-apa yang terjadi?” Ucapku terbata karena lidahku terasa begitu kaku.
*******
Keesokan harinya Jaka dan rombongan club menemukanku tepat di titik yang aku kirimkan. Aku mengalami kecelakaan hebat. Motorku remuk dan tubuhku terpental beberapa meter mendekati semak belukar.
Jaka tergugu dalam tangisnya, menatap sedih jasadku yang kini tak bisa lagi menyapanya. Aku bisa melihatnya dari kejauhan, berusaha memanggil namanya dengan menggedor kaca sekuat tenaga.
Sayangnya usahaku sia-sia, aku adalah tamu terakhir yang menjadi penghuni ketiga belas rumah sialan ini. Dan kini aku menunggu kehadiran tamu lain yang bersedia menggantikan ku.