Helen yang sekarang sebatang kara harus hidup menumpang di rumah kerabatnya. Ia mengerti bahwa ia hanyalah satu beban bagi kerabatnya tersebut. Namun tidak ada yang dapat dilakukan oleh Helen.
Ia ditempatkan di loteng rumah, ruang kecil dengan satu kasur di atas lantai kayu. Helen tidak protes, itu cukup untuk tempatnya beristirahat.
Helen yang menumpang harus membayar atas roti yang ia makan, air yang ia minum juga kasur tipis yang ia pakai tidur. Ia bekerja dari matahari belum terbit dan semua penghuni rumah masih tidur. Membersihkan dapur dan juga seluruh rumah, menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam, juga mengurus semua kebutuhan seisi rumah. Mulai dari makanan, pakaian sampai menjaga kebersihan seluruh penjuru rumah. Kerja keras Helen menyebabkan ia kelelahan di malam hari, sehingga meskipun kedinginan, Helen tetap tertidur nyenyak di atas kasur tipisnya.
Namun malam ini Helen merasa sangat kedinginan, Ia menggigil dan meringkuk di balik selimut tipis yang diberikan untuknya. Selimut itu tidak membuatnya hangat sedikit pun. Kelelahan yang ia rasakan tidak juga membuat matanya terpejam.
Tepat pukul 11.11 malam, lampu redup yang menerangi ruang kecil tempatnya tidur tiba-tiba padam. Helen yang masih terjaga akhirnya bangkit. Ia takut gelap, gadis lima belas tahun itu tidak pernah bisa tidur bila keadaan gelap gulita.
Dengan cepat Helen bangkit, meraba-raba sambil beringsut di atas lantai kayu loteng, mencari kotak kayu berisi peralatan miliknya. Helen menemukan lilin dan juga korek api yang sengaja ia simpan di sana. Ketakutannya atas kegelapan membuat Helen selalu siap sedia dengan lilin dan korek api.
Setelah menghidupkan lilin, Helen bernapas lega. Ia meletakkan lilin di atas wadah, lalu membawanya ke samping kasur tempat ia berbaring. Waktu berlalu, meski kedinginan dan tidak nyaman, Helen mencoba memejamkan mata.
Ia baru saja akan terlelap ketika satu suara terdengar halus di dekat telinganya.
"Matikan lilinnya," bisik suara tersebut. Suara seorang wanita yang halus dan terasa jauh seperti semilir angin, namun anehnya terdengar dengan amat jelas.
Helen membuka mata, ia bangkit, lalu memandang berkeliling. Tidak ada siapa-siapa.
Helen baru saja akan kembali merebahkan tubuhnya ketika satu bayangan melintas dengan cepat di tengah ruangan kecil tersebut.
"Lilin ... mati ...," bisik suara itu lagi.
"Si-siapa ...," bisik Helen ketakutan. Ia merinding dan merasa tubuhnya makin dingin.
Kembali bayangan melintas, membuat Helen menarik selimut dan menempelkan tubuhnya ke dinding loteng, ia meringkuk ketakutan sambil menutup mata.
"Siapa ... kumohon ... pergilah ...." Helen merintih sambil menarik seluruh selimut tipisnya untuk menutup tubuhnya dari kepala sampai kaki. Gerakan itu membuat ujung selimut terkibas hingga anginnya mematikan cahaya lilin di dekat kasur Helen. Gelap. Helen tidak berani bergerak, tidak berani bersuara. Tubuhnya kaku dibawah selimut yang menutupinya.
Helen hanya bisa memejamkan mata, merapalkan doa dalam hati dan mencoba mengalihkan pikiran dengan mengingat masa-masa indah ketika kedua orang tuanya masih hidup. Pelukan ayahnya, ciuman ibunya, kehangatan kedua orang tuanya ... kenangan ... memori indah bersama ayah dan ibunya sebelum kecelakaan merenggut nyawa keduanya dan menyebabkan Helen harus hidup dengan dititipkan pada kerabat sang ayah.
Kilas kehidupan itu menenangkan Helen. Membuat matanya akhirnya terpejam rapat. Ia tertidur dengan posisi duduk, kepala bertumpu pada lutut dengan selimut menutupi kepala hingga kaki.
Pagi menjelang, suara-suara ribut memasuki pendengaran Helen.
"Helen! Helen!" Suara Bibi Tracy,tetangga sebelah yang kerap menegur Helen dan mengajaknya mengobrol ketika menjemur pakaian terdengar kencang, lalu pintu loteng terbuka. Bibi Tracy menunduk agar bisa masuk, karena atap loteng yang rendah, tidak muat untuk badan Bibi yang tinggi.
Bibi Tracy mendekati Helen, lalu menarik selimutnya hingga terbuka.
"Ya Tuhan! Helen!" Bibi Tracy memeluknya.
Helen yang baru terbangun terkejut dan menyadari hari sudah pagi, cahaya matahari masuk melalu celah jendela kecil di ruangan tersebut.
"Bibi, ah ... sudah pagi. Aku harus bangun Bibi. Aku harus membersihkan dapur. Bibi Anna bisa marah," ucap Helen panik, berusaha melepaskan diri dari Bibi Tracy.
"Sttt ... sttt ... tenanglah Helen. Bibimu sudah tiada Sayang. Di bawah sudah penuh polisi. Untunglah kau tidur di loteng, hingga para perampok yang menjarah rumah pamanmu tidak tahu jika masih ada orang lain yang tidur di rumah ini.
Mata Helen terbelalak. "Maksud Bibi apa?"
"Nak ... keluarga Bibimu semuanya dibantai tadi malam ... saat jaringan listrik seluruh daerah ini mati. Hanya kau yang tersisa Helen ... semuanya dibunuh."
Mata Helen terbelalak makin lebar. Suara riuh dibawah sana memasuki pendengarannya silih berganti, ibarat potongan-potongan bunyi yang tidak jelas apa artinya.
'Matikan lilinnya ....' Suara itu kembali memenuhi otak Helen. Kali ini dengan jelas dan dengan pasti ia tahu artinya.
TAMAT