Aku memiliki seorang sahabat, kami bersahabat sejak kelas 1 SD dan kebetulan kami tinggal di satu kampung yang sama. Di situlah kami tumbuh bersama hingga saat ini. Kami sekarang sudah beranjak SMA dan terdapat perbedaan di antara kami. Aku masih kelas 1 SMA sedangkan dia sudah kelas 2 SMA. Dialah orang yang sangat mengerti kepribadianku. Ketika moodku sedang buruk, dia akan berusaha menghiburku dengan membuat lelucon hingga ahirnya aku tertawa terbahak-bahak dan melupakan masalahku sejenak. Apalagi jika aku sedang marah dengannya, dia selalu mengalah untukku, meskipun aku yang salah. Aku tahu, aku sangat egois untuk hal ini. Untungnya dia jauh lebih dewasa dalam menyikapi dan memahami masalahku. Bagiku dia bukan hanya seorang sahabat. Tapi, dia sudah seperti kakak yang selalu ada di sampingku, menghiburku, memotivasiku, dan dialah orang yang selalu memberi tanggapan di setiap pertanyaanku. Dialah Zhea, seorang sahabat yang tak pernah mementingkan diri sendiri dan selalu mengutamakan kebahagiaan orang-orang yang di sayanginya.
Hingga di suatu hari tanpa sengaja aku menemukan seseorang yang membuatku sangat terkagum-kagum padanya. Setiap hari yang kulewati selalu berharap-harap cemas agar dapat melihat wajahnya. Kurasa aku jatuh cinta untuk kesekian kalinya. Setiap melihat wajahnya, aku bagai menemukan sepotong hati yang baru. Akupun bercerita tentang hal ini kepada Zhea. Zhea sangat antusias menanggapi cerita asmaraku. Aku bertanya hal yang sama yang aku ceritakan padanya. Aku sedikit terkejut saat dia menjawab pertanyaanku, ternyata ia juga sedang menyukai seseorang. Kami berdua tertawa mendengar kesamaan kami. Jatuh cinta bersamaan. Konyol sekali bukan? Jatuh cinta disaat yang bersamaan. Itu sangat aneh. Kami tetap menjaga privasi kami tentang nama orang yang kami sukai. Di sinilah keunikan persahabatan kami berdua. Kami tidak mencampri urusan asmara masing-masing. Jika kehidupan asmara kami sedang menghadapi konflik. Kami akan memberikan pendapat, saran, dukungan dan kritik satu sama lain.
Siang hari yang sangat terik. Aku tidak bisa lagi menahan perasaanku yang menggebu-gebu. Aku membetitahukan pada Zhea nama orang yang kusukai, dan aku mengatakan padanya bahwa orang itu juga menyukaiku. Zhea terdiam beberapa saat setelah mendengar pernyataanku. Aku harus sampai menyentuhnya agar dia sadar dari lamunannya.
“Apa kamu yakin dia orang yang kamu sukai dan dia juga suka padamu seperti apa yang kamu ceritakan Kia?” Tanya Zhea dengan bibir bergetar. Aku menjawab dengan gembira dan meyakinkan. “Yaaa ampun Zhea, tentu saja aku yakin dia orang yang kusukai. Dia sangat perhatian padaku. Memangnya kenapa Zhea?” Zhea terdiam sejenak dan matanya berkaca-kaca. Bulir-bulir kecil mulai menggenangi kelopak matanya. Aku langsung mengerti ketika melihat raut wajah Zhea yang terlihat sedih. “Jangan bilang dia juga orang yang kau sukai Zhea?” aku bertanya dengan hati-hati. Tangis Zhea meledak. Ia terduduk dan menangis tersedu-sedu. “Maaf Kia, aku akan berkata YA untuk pertanyaanmu” jawab Zhea sembari menyeka air matanya.
Aku bagai tertimpa langit yang runtuh ketika Israfil meniup sangkakalanya. Aku terduduk lemas beberapa langkah dari Zhea. Hatiku porak-poranda. Aku kecewa mengetahui kami menyukai orang yang sama.
Aku berkata ketus pada Zhea. “Kenapa kamu tidak mengatakannya?” aku mencengkram erat rumput yang ada di sampingku. “Bagaimana aku bias mengatakaannya Kia? Kau tau kita tidak ikut campur dalaam urusan asmara kita masing-masing.” “What? I don’t care Zhea. Kau seharusnya tau dia orang yang aku tuju. Bukankah aku sering memperhatikannya ketika kita bersama. Sudahlah, aku tidak lagi butuh penjelasanmu.” Aku berlalu meninggalkan Zhea. Zhea meneriakiku beberapa kali. Aku tidak mengubris panggilannya. Aku tetap melangkah menjauh darinya. Meninggalkan Zhea terpaku sendirian menatap kepergianku.
Beberapa hari kemudian, aku tetap tidak bertegur sapa dengannya. Meskipun Zhea beberapakali berusaha mendekatiku. Aku tidak mempedulikannya. Aku sangat kecewa padanya. Kenapa kami harus menyukai orang yang sama, Tanyaku dalam hati. Aku menuju ke pojok sekolah. Duduk sendiri di bawah pohon linden yang sangat rindang di pojokan sekolah. Aku menatap kosong kedepan, pikiranku menerawang jauh. Saat aku sedang asik dengan kesendirianku. Seseoreng datang dan duduk menghampiriku. Aku terkejut ketika menoleh kesamping. Abi sedang duduk santai merentangkan tangannya. Dialah orang yang menjadi biang masalah antara aku dan Zhea.
“Hai Kia, sedang apa?” Tanya abi dengan santai. “Kenapa kemari? Mau apa?” Tanya kia kembali tanpa menoleh sedikitpun pada Abi. “Maaf Kia, aku dengar kau bertengkar dengan Zhea gara-gara aku. Aku tidak bermaksud memberi harapan ke pada kalian berdua. Zhea sudah menceritakan semuanya padaku. Harus kau tau kia, Aku memang care pada semua orang. Dan aku sangat-sangat minta maaf. Aku benar-benar tidak menaruh perasaan pada kalian berdua. Semua yang kulakukan padamu dan pada Zhea murni hanya karna aku peduli sama kalian dan juga pada semua orang. Jadi seharusnya kau tidak menganggap kepedulianku adalah perlakuan istimewa buatmu. Aku benar-benar minta maaf Kia.”
Aku tidak bisa berkata-kata. Mendung di mataku sudah turun deras sedari Abi memulai penjelasannya. Ia menyapu lembut bahuku. Mencoba menenangkanku. Saat itulah Zhea datang menyeka air mataku, menyapu lembut pipiku dan memelukku dengan hangat. Aku mencair di pelukan Zhea. Zhea saja bisa mengikhlaskannya, kenapa aku tidak?. Kami sudah lama bersahabat. Tidak seharusnya kami bertengkar hanya karna seseorang yang sedikit pun tidak menaruh perasaan pada kami berdua. Aku sadar, aku memang selalu egois dan gegabah dalam hal apapun. Aku melepas pelukan Zhea dengan hati-hati. Sembari menyeka air mataku, aku meminta maaf pada Zhea.
“Zhea, maaf aku tidak mempedulikamu beberapa hari ini. Maaf, aku selalu bertindak bodoh sebelum befikir. Maafkan aku Zhea, tidak seharusnyacinta monyet seperti ini memecahkan kita berdua.” “Iya Kia…” Saat itulah Abi menyela pembicaraan kami “Maaf girls, sepertinya kalian berdua sudah berbaikan. Aku harap kita bias menjadi teman. Dan ingat! Jangan bertengkar hanya karna seseorangyang kalian anggap istimewa. Usahakan kalian lebih mementingkan persahabatan kalian dari seseorang yang kalian anggap istimewa. Baiklaaaah aku tiggalkan kalian berdua. Berbaikanlah, dan ingat pesanku.” Abi berlalu meninggalkan aku dan Zhea.
Kami berdua mengulum senyum mendrngar perkataan Abi. Zhea duduk di sampingku, menatap lurus kedepan dan melanjutkan kata-katanya. “Kia, aku juga minta maaf atas sikapku padamu. Abi benar kita harus lebih mengutamakan persahabatan.” “Kau benar Zhea, persahabatan kita lebih penting dari perasaan kita. Daaan, bila kita menaruh hati pada seseorang. Kurasa kita harus mengatakan namanya. Agar kita tidak berselisih paham seperti ini.” Ungkapku dengan tulus. “Yah, benar juga. Tentunya agar kita tidak menyukai orang yang sama lagi. Oleh sebab itu kita harus jujur untuk masalah hati. Seperti Pepatah Arab “Hakku Waalau Kana Murran” kau tau bukan?”. Tanya Zhea padaku. “Tentu saja Katakanlah Kebenaran Sekalipun Pahit” Benarkan?.”
Kami berdiri bersama dan berlalu meninggalkan pohon linden di pojokan sekolah dengan bergandengan tangan.
The end
Cerpen Karangan: Kanema @kanema30
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 30 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com