Saat peluit tanda berakhirnya babak pertama dibunyikan, aku hanya tertunduk lesu setelah mengetahui pertandingan akan berjalan sekeras ini.
Saat berjalan menuju ruang ganti, aku melihat beberapa rekan setimku malah asyik bercanda di situasi sulit seperti ini. Amarahku menjadi tidak terkendali dan langsung memukul pintu dengan sangat keras Gedubraaaaakkkk…. “KALIAN INI GIMANA… UDAH MAIN NGGA BECUS, ASAL-ASALAN LAGI. LIHAT APA JADINYA… KITA KEBOBOLAN 3 GOL DAN KALIAN MALAH SEMPET-SEMPETNYA CENGAR-CENGIR DISINI. APA KALIAN NGGA MIKIR KALAU INI PERTANDINGAN FINAL?? APA KALIAN JUGA NGGA MIKIR PERASAANNYA ALI??? DIA UDAH RELA DATANG JAUH-JAUH KESINI SEBAGAI BENTUK KEKOMPAKAN MESKIPUN MASIH DISELIMUTI KEADAAN DUKA YANG AMAT MENDALAM. APA KALIAN MAU DIA PULANG DENGAN MEMBAWA KESEDIHAN YANG BERTUBI-TUBI?? APA KALIAN MAU ALI JADI DEPRESI, STRES, DAN PADA AKHIRNYA BUNUH DIRI GARA-GARA INI?? APA ITU YANG KALIAN MAU??? JIKA ITU YANG KALIAN MAU SILAHKAN KELUAR DARI SINI, KARENA AKU TIDAK MAU ADA IBLIS DI DALAM TIM INI.” Ucapku dengan sangat marah.
Seisi ruangan ganti mendadak terdiam seperti di dalam gua dan aku langsung keluar tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Tiba-tiba Ali keluar dari toliet sambil menepuk pundakku.
“Aku ingin main sekarang.” Ucap Ali dengan nada tegas. “Hei stop. Berpikir jernihlah… Jangan paksakan dirimu, ingat perintah ayahmu. Mentalmu belum siap untuk pertandingan sekeras dan sebesar ini.” Ucapku dengan keras.
Tiba-tiba Ali mengucapkan sebuah kalimat yang sangat menggetarkan jiwaku. “Kita sudah tertinggal 3 gol. Dan sudah tanggung jawabku sebagai pemain untuk menyelamatkan tim ini dari keterpurukan. Berhasil atau tidak itu tidak masalah bagiku. Tapi setidaknya aku atau lebih tepatnya kita sudah berusaha semaksimal mungkin.” Ucap Ali dengan mantap.
Aku mulai berpikir jernih dan segera menyuruh Ali bersiap diri di ruang ganti untuk masuk sebagai pemain pengganti di babak kedua.
Peluit dibunyikan wasit, babak kedua dimulai. Kali ini sejak adanya Ali, permainan tim menjadi lebih solid dan teratur di setiap lini posisi dan strateginya. Para pemain mulai bermain dengan semangat membara seperti pertandingan ini adalah pertandingan akhir mereka. Di setiap menitnya aku mulai merasa jika permainan tim ini seperti dibantu oleh para Malaikat yang dikirim langsung dari Tuhan.
Tak kusangka, hanya dalam waktu 25 menit, Sawojajar FC berhasil mencetak 3 gol penyeimbang di babak kedua. Dan yang sangat mengejutkannya lagi, 3 gol itu semuanya dicetak oleh Ali. Ya, itu memang Ali. Anak yang baru lulus 2 tahun dari SMA, yang dulu sempat diremehkan oleh beberapa rekan setimku, sekarang berubah layaknya seorang Messi yang sedang menyelamatkan timnya dari keterpurukan.
Disaat menit terakhir pertandingan, Rudi dilanggar keras oleh pemain lawan tidak jauh dari kotak penalti. Voting cepat segera dilakukan. Lantas 1 tim sepakat menunjuk Ali menjadi penendang.
“Lah kok aku sih, yang bener aja woii?? aku beneran grogi ini lho. Apa ngga ada pemain lain yang lebih cocok dan hebat daripada aku??” Teriak Ali gemeteran. “Kaulah yang paling cocok Ali. Tidak pernah ada pemain yang memiliki nilai 9.5 pada seluruh bidang ujian akademi.” Ali tampak masih gemeteran hebat. Mungkin kali ini rasa groginya sudah memuncak.
“Kalau kau grogi, Ingat ibumu, ingat semua perjuangan yang telah ibumu lakukan demi dirimu. Bayangkan kalo ibumu sekarang berada di tribun penonton demi memberi support kepadamu meskipun harus berdesakan dengan penonton lain.” Ucapku dengan penuh semangat. “Ya, ingat apa sebenarnya tujuan kamu disini. Jangan ingat kabar pacar, gebetan, mantan atau apapun itu.” Sambung semangat dari Ilham.
Ali mulai mengambil ancang-ancang. “Ali bersiap mengambil arah tendangan, kita belum tahu apakah tendangan ini akan berbuah gol atau tidak, owhh Ali berlari, tendangan keras dari Ali daannn goooooooooollllllll.” Teriak komentator dengan keras sekali.
Tendangan Ali langsung melesat cepat ke pojok kanan atas gawang yang nyaris tidak bisa dijangkau oleh kiper lawan. Dan terjadi tepat pada menit 94:45, yang merupakan detik-detik terakhir sebuah pertandingan.
Aku, Anton dan hampir seluruh rekan setimku ternganga, tidak percaya atas kejadian menakjubkan ini. Di babak pertama, kami hanyalah tim kecil yang diobok-obok oleh tim raksasa. Sekarang, kami adalah tim solid yang baru saja membuat perubahan besar.
Seluruh pemain spontan berlari menuju Ali, memeluk bersama erat-erat dengan sangat gembira. Karena Ali adalah ujung tombak dibalik semua kekuatan dari Sawojajar FC.
Permainan kembali dimulai tapi hanya beberapa detik. Dan sesaat kemudian peluit berakhirnya pertandingan berbunyi dengan keras. Seluruh pemain, pelatih, dan staf kepelatihan berlari ke arah sembarangan dengan sangat gembira. Bahwa hari ini, tepat pukul 08.00 WIB, Sawojajar FC berhasil menjuarai turnamen tahunan sepakbola paling bergengsi di Indonesia.
Seluruh pemain dan seluruh staf manajer Sawojajar FC bersorak ria atas kemenangan dramatis di pertandingan final ini. 20 menit berselang, saatnya untuk penyerahan medali dan perayaan angkat piala. Semua pemain dan seluruh staf kepelatihan tampak bersiap untuk ini. Sesaat, aku melihat hal yang janggal. Ternyata Ali sudah tidak ada di lapangan.
“Ton, Ali dimana? Daritadi ngga kelihatan disini.” “Lah kau kan kapten, masa sih seorang kapten ngga tahu dimana para pemainnya.” Ledek Anton dengan tertawa.
Aku mendengus kesal. Lantas langsung berlari menuju ruang ganti. Aku berteriak, mencari di setiap sudut. Ali tetap tidak ditemukan. Sekilas, aku melihat loker Ali yang terbuka dan kutemukan sebuah tulisan kertas. Lantas kubaca isi kertas tersebut.
“Aku minta maaf sebelumnya karena telah pergi lebih awal. Ada kabar mama akan dimakamkan pukul 12 siang ini. Aku harus bergegas pulang untuk menghadiri pemakaman tersebut. Tapi sebelumnya, aku ingin berterimakasih kepada seluruh staf manajer dan seluruh rekan satu tim ini, terutama kepada Mas Rahmat yang telah memberiku ilusi terbaik yang pernah kurasakan di menit 94. Dimana aku bisa melihat Mama yang berada di tribun penonton sedang meneriaki kata-kata semangat kepadaku. Meskipun itu hanya beberapa detik, tapi itu sangat berharga bagiku. Yaa… meskipun mama sudah tidak ada lagi disini, tapi aku yakin sekali mama pasti melihat dan bangga terhadap perjuanganku selama ini. Terakhir, aku harap mama bisa tenang di sisi-Nya untuk selama-lamanya Aamiiin…”
Tak terasa, air mataku sudah mengalir membasahi pipiku. Lantas ikut mengamini doa Ali yang ada di kertas.
“Selalulah menjadi ksatria, Ali. Seorang ksatria bermental baja yang tangguh dan tidak takut terhadap rintangan apapun.” Ucapku dengan penuh bangga.
Cerpen Karangan: Muhammad Raka Harvestya Kautsar Blog / Facebook: Raka
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 3 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com